Chereads / Raja Kerajaan Air / Chapter 8 - Tidur Bersama

Chapter 8 - Tidur Bersama

Taishi sangat puas melihat kemajuan Teratai. Setiap hari ia mengajari satu atau dua huruf kepada gadis itu, dan dalam waktu beberapa bulan saja Teratai sudah mulai bisa membaca tulisan-tulisan sederhana yang dilihatnya saat mereka melewati kota. Sebagai seorang guru, ia merasa sangat bangga.

"Kau ini pintar sekali," pujinya ketika Teratai membacakan isi pengumuman yang ditempel di tembok sebuah penginapan. "Semua pengucapanmu benar. Hebat!"

Ia gembira dengan kemajuan Teratai, tetapi pengumuman itu membuat dadanya terasa sesak. Pajak kembali dinaikkan sebesar 10 persen dan setiap desa wajib memilih sepuluh orang pemuda untuk dikirimkan ke lokasi pembangunan tembok di selatan sebulan sekali.

Pangeran Tua masih mengatasnamakan dirinya saat membuat aturan-aturan dan pengumuman jahat seperti itu. Selama beberapa bulan ini Taishi telah berusaha menebalkan telinga dan tidak mempedulikan apa yang terjadi di istana, tetapi semakin lama hal itu semakin sulit dilakukan.

Jeritan hati rakyat yang hidup menderita dapat didengarnya kemana pun ia pergi dan hal itu membuatnya sangat sedih.

"Kenapa kau kelihatan murung?" tanya Teratai. Ia sudah sangat mengenal Taishi selama hampir setahun mereka bersama. Keduanya selalu berbagi suka dan duka di dalam perjalanan dan hubungan di antara mereka sudah menjadi sedemikian dekat.

"Tidak apa-apa," Taishi berbohong. Biarlah kegundahannya menjadi miliknya sendiri. Ia tak mau melihat wajah cantik Teratai diliputi kemurungan juga. Gadis itu sudah cukup menderita seumur hidupnya, pikir Taishi.

Mereka sudah berkelana ke seisi negeri. Menghadapi panas dan terik bersama, tidur di gubuk reyot ataupun di padang belantara, berbagi sedikit makanan yang berhasil mereka peroleh dan bersenang-senang jika mereka mendapatkan uang lebih.

Bersenang-senang di sini maksudnya Taishi akan memaksa membelikan gula-gula atau buah bersalut manisan untuk Teratai. Ia sangat kaget ketika pertama kali mendengar pengakuan Teratai bahwa ia belum pernah memakan gula-gula seumur hidupnya.

Taishi yang dulu selalu menganggap remeh makanan mewah di istana merasa sangat terpukul karena ada rakyatnya yang bahkan belum pernah mencicipi gula sama sekali, karena menganggapnya sebagai barang mewah.

Sejak itu, setiap kali mereka mempunyai uang lebih, ia akan memanjakan Teratai dengan membelikannya manisan.

Seandainya saja ia kembali ke istana, Teratai tentu akan dibawanya dan gadis itu bisa menikmati semua makanan manis yang ia inginkan, kapan pun. Namun karena Taishi sudah bertekad tidak akan pernah kembali ke istana, ia sedikit merasa bersalah kepada Teratai, seolah ia mengambil hak Teratai untuk hidup enak di istana hanya karena Taishi tidak mau menjadi raja.

Selama setahun hidup mengembara bersama Teratai dan Kakek Han, diam-diam Taishi memendam perasaan sayang kepada Teratai. Kadang-kadang kalau ia sedang merenung sendiri, ia akan membayangkan masa depannya bersama gadis itu.

Memang Taishi masih sangat muda, umurnya belum 16 tahun, dan Teratai belum 15 tahun, tetapi dalam hatinya ia berharap jika kelak ia tumbuh dewasa ia akan dapat menikah dengan Teratai dan hidup tenang bersamanya di tempat yang indah, mungkin di sebuah lembah atau kaki bukit yang subur dan ditumbuhi bunga-bunga liar.

Ia akan menabung untuk membeli sedikit tanah dan bertani, lalu bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Ia dan Teratai akan hidup bahagia bersama, mungkin sambil membesarkan satu atau dua orang anak di rumah mereka, dan mengurusi Kakek Han.

***

Sore itu mereka tiba di sebuah kota yang bernama Kota Angin. Seperti namanya, angin di kota itu selalu bertiup sangat kencang dan membuat udara terasa lebih dingin dari yang sebenarnya.

Kakek Han, Taishi, dan Teratai sedang beristirahat di depan gudang sayuran setelah seharian berjalan kaki ke kota itu. Mereka mendengar bahwa di Kota Angin akan diadakan festival besar dan akan ada banyak orang berkunjung ke sana.

Ini merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk mengamen dan mendapatkan banyak uang dari penonton pertunjukan mereka. Uang di kantung uang mereka saat ini masih tersisa sedikit dan, setelah membeli makanan, Taishi merasa bahwa mereka masih memiliki cukup uang untuk menyewa satu kamar di penginapan yang murah.

"Kita pantas beristirahat di tempat tidur sungguhan malam ini, karena kita sudah bekerja keras dan berjalan jauh," katanya. "Besok kita bisa mencari uang lagi."

Wajah cantik Teratai tampak sangat lelah, tetapi ia tidak dengan serta-merta menyetujui usul Taishi untuk menyewa kamar di penginapan.

"Kamar paling murah di penginapan biasanya mencapai 50 wen. Uang kita hanya tersisa 60 wen... Apa tidak lebih baik uang itu kita simpan saja? Aku pikir di kota sebesar ini pasti ada gudang atau gubuk yang bisa kita gunakan untuk beristirahat. Atau kuil... apa saja yang gratis," katanya pelan.

"Jangan kuatir. Aku yakin besok kita akan mendapatkan banyak uang. Aku mendengar dari tukang nasi tadi bahwa festival di kota ini selalu sangat ramai," bujuk Taishi.

Setelah berbulan-bulan tidur di luar, ia sebenarnya sangat merindukan tempat tidurnya yang empuk di istana. Ia juga tidak tega melihat Teratai demikian kelelahan.

Dalam hati ia bertekad akan segera tumbuh besar dan menjadi kuat agar ia dapat melakukan pekerjaan fisik yang menghasilkan uang lebih banyak dibandingkan mengamen.

Setelah keduanya lama saling bertatapan dan saling meyakinkan, akhirnya Teratai yang mengalah. Ia percaya kepada Taishi bahwa mereka akan dapat memperoleh uang di festival kota besok.

Mereka bertiga segera masuk ke dalam penginapan dan menyewa kamar paling murah. Kamar itu ternyata sangat sempit dan hanya berisi satu tempat tidur besar dengan sebuah kursi kecil.

Ketika mereka masuk ke dalamnya Taishi segera menjadi bingung karena ia tidak melihat tempat untuknya berbaring. Kursinya sangat kecil, dan ruang lantai yang kosong juga sangat sempit.

"Apa tidak ada kamar lain?" tanyanya kepada pelayan penginapan.

Laki-laki itu segera menggeleng. "Maaf, kamar yang seharga 50 wen tinggal yang ini saja. Penginapan ini sangat ramai karena festival besok. Kalau kalian punya uang, kami masih ada kamar yang lebih besar seharga 100 wen."

"Uhm... tidak, terima kasih. Kami ambil ini saja," kata Taishi cepat. Uang mereka tidak cukup. Pelayan itu mengangguk lalu pergi meninggalkan mereka. Taishi kemudian mempersilakan Teratai dan Kakek Han masuk. "Kalian tidurlah... aku akan mencari tempat beristirahat di luar."

"Kenapa?" tanya Teratai keheranan.

Setelah masuk, ia baru menyadari alasan Taishi ingin tidur di luar. Kamar itu memang kecil sekali, tetapi tempat tidurnya cukup besar, sebenarnya malah bisa menampung mereka bertiga. Ia mengerti bahwa Taishi merasa tidak enak berbagi tempat tidur dengannya.

Gadis itu hanya menggeleng-geleng dan menarik tangan Taishi dengan lembut, "Kakak, kita biasa tidur berdampingan di padang dan di gudang... apa bedanya dengan ini? Kakak tidak usah pergi. Kita bisa berbagi tempat tidur."

Taishi tertegun mendengar kata-kata Teratai yang diucapkannya dengan kalem. Teratai sama sekali tidak mengerti dampak dari kata-katanya pada Taishi. Pemuda itu seketika merasakan dadanya berdebar sangat keras.

Ia belum pernah berbagi tempat tidur dengan seorang perempuan mana pun!