Aku tidak bermaksud mengintimidasinya. Namun, karena muak, hal itu terjadi begitu saja.
Walau merasa bersalah, aku sama sekali tidak mempertimbangkan apa pun dan mengatakan sesuatu yang mungkin membuatnya kecewa. "Aku ... maaf. Tapi, tolong pergi sekarang. Kau akan terlambat bekerja."
Daehyun memejamkan mata, lalu menjawab, "Huh, baiklah. Tapi kau harus berjanji, setelah rapat itu, pulang dan istirahatlah."
Aku mengangguk lemah, lalu ia segera pergi dengan wajah khawatir.
Setelah Daehyun pergi, meninggalkan keheningan di ruangan ini, aku mulai menangis dan berpikir bahwa Donghae seharusnya ada di sini dan mengkhawatirkan kondisiku.
Aku mengingat bahwa dalam dua minggu, ia akan pulang. Tapi, dua minggu telah lama berlalu dan ia belum kembali. Tanpa memberiku kabar apa pun, ia membuatku menunggu seperti yang biasa ia lakukan.
Dalam kesedihan ini, aku pergi ke kamar tidur untuk mengambil ponselku dan mengirim pesan padanya.
'Aku harap kau bisa pulang malam ini. Aku akan membuat makanan favoritmu.'
Usai mengirimkan pesan, aku segera bersiap-siap untuk melakukan kesibukanku yang sudah menunggu di perusahaan, lalu bergegas berangkat tanpa membuang-buang waktu.
Begitu tiba, aku segera berjalan menuju ruang rapat. Nona Go Hyunjae menunggu di depan pintu, lalu langsung memberikanku file sebelum masuk ke ruangan. Kurang dari 10 menit sebelum rapat dimulai, aku menyampaikan permintaan maaf dari Kim Daehyun kepada semua kepala departemen yang hadir pada rapat siang hari ini.
Dengan senyuman, mereka tidak keberatan dan rapat pun dimulai.
Aku berdiri dengan kegugupan yang terus aku sembunyikan dan mencoba untuk menjadi profesional. Dengan pemahaman dan keyakinanku bahwa aku terus mendorong diriku untuk terus bertahan dan berdiri sampai akhir.
Itu berlangsung hingga dua jam. Untungnya, semua gagasan yang aku sampaikan tidak menimbulkan banyak pertanyaan, dan aku dapat menyelesaikannya tanpa masalah.
Begitu aku keluar dari pintu, Nona Go berbicara, "Chunghee, Tuan Kim memintaku untuk mengantarnya pulang. Ini perintah. Aku bisa mendapat masalah jika kau menolak." Dengan cemas, ia menyentuh bahuku dengan. " Chunghee, apa kau sakit?"
Aku menggelengkan lemah, tidak mengatakan apa-apa atau pun sebuah penolakan. Aku hanya bisa terdiam, menjadi penurut yang sangat patuh, dan membiarkan Go Hyunjae mengantarku pulang.
Setibanya di apartemen, hari sudah sore. Kemacetan di jalan membuat kami harus menunggu satu setengah jam untuk tiba. Aku meminta Nona Go untuk tinggal sebentar, tetapi ia menolak karena Tuan Hye membutuhkannya sore ini.
Di tengah ruangan yang gelap dan sunyi, aku duduk di sofa, menatap ponselku dan berharap balasan pesan dari seseorang yang aku tunggu akan muncul di layar, menunjukkan kabar kegembiraan.
Namun, aku telah menunggu cukup lama, jadi aku pun memutuskan untuk meneleponnya beberapa kali, tetapi masih belum ada tanggapan apa-apa darinya. Rasanya seperti tertusuk dengan seribu jarum tepat di hatiku.
Saat itu, Donghae pergi dengan senyuman perpisahan. Ia sangat ramah dengan senyuman itu. Tetapi, itu seperti tipuan untuk membuatku menunggu tanpa mengeluh padanya. Itu membuatku terbiasa, namun keadaan tidak dapat berbohong pada perasaanku bahwa menunggu hanya menghancurkan hatiku.
Aku lelah dengan semua ini dan memutuskan untuk beristirahat — istirahat dari rasa sakit — kemudian bangun di malam hari.
Sekarang sudah pukul8 malam, aku mengambil pakaian kotorku dan mencucinya, dan tanpa sengaja melihat sapu tangan Daehyun di antara tumpukan pakaian. Aku tersenyum ketika pikiranku tertuju pada seseorang yang selalu peduli dan mengkhawatirkanku. Mengapa orang lain harus lebih peduli daripada seseorang yang pernah melalui begitu banyak hal bersamaku?
Setelah itu, sekitar pukul 9 malam, aku duduk di depan televisi sambil menghisap sebatang rokok tanpa gairah. Dengan ketidakpedulian ini, aku seperti orang dengan jiwa yang kosong. Semuanya terasa hampa dan tidak ada minat sama sekali.
Meski mataku tertuju pada layar televisi, pikiranku sendiri jauh dari ragaku, seolah-olah terbawa angin kesedihan dan meninggalkan kesedihan, hingga sebuah pesan masuk tiba-tiba mengejutkanku.
"Aku akan pulang malam ini."
Mataku tiba-tiba melebar, dan ada kegembiraan yang perlahan mengukir senyuman lemah di wajahku. Seolah melupakan kesedihanku, aku segera pergi ke dapur dan mulai memasak untuk menyambutnya malam ini.
Setelah menyelesaikan semuanya dan menyajikan semua makanan di meja makan, aku pun duduk dan menunggu dengan perasaan tidak sabar dan gembira yang menyatu, hingga waktu menunjukkan angka sebelas, dua belas, lalu aku tertidur tanpa menyadarinya.
Tiba-tiba ponselku berdering dan membuatku tersentak dari tidur, "Donghae?!"
"Donghae? Siapa dia? Apa dia teman sekamarmu?" tanya seseorang di saluran lain.
Itu adalah Daehyun. Kecewa, aku merendahkan tatapanku tanpa mengatakan apa pun. "Kenapa kau belum tidur?"
Aku tertegun sejenak, dan menjawab dengan suara lemah, "Aku ketiduran, tapi kau menelponku ..."
"Ah," Daehyun berbicara dengan perasaan bersalah, "M-maaf. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau sudah istirahat ... dan ternyata, akulah yang mengganggu waktu istirahatmu. Um, kalau begitu selamat malam. Tidur nyenyak malam ini, oke?"
Setelah Daehyun menutup telepon, aku menatap semua makanan yang aku buat dengan harapan tinggi, sekarang terlihat seperti sampah yang membusuk. Aku tersenyum pahit pada hal yang mengecewakan ini.
Karena merasa putus asa, aku pun membuka beberapa pesan yang masuk dan melihat pesan dari Daehyun lalu segera membukanya.
"Aku memberimu tiga hari libur, dan kuharap itu cukup untuk istirahatmu. Tetapi, kau dapat meminta tambahan satu hari lagi jika kau menginginkannya. Hanya perlu jadikan dakjuk enak itu sebagai negosiasi hahaha."
Pesan itu membuatku tersenyum hampa, setidaknya membacanya sudah sedikit menghiburku dari kekhawatiran yang baru saja membuatku kehilangan jiwa.
Masih tersenyum hampa, aku menatap ponsel di tanganku, lalu memutuskan untuk menelepon Donghae dan itu meninggalkan kekecewaan yang sama. Ia menolak semua panggilan hingga akhirnya, ia menonaktifkan ponselnya, kemudian yang terdengar hanyalah kata-kata, 'nomor yang Anda tuju tidak dapat terhubung', lalu hanya ada keheningan yang lama yang tak terbatas.
Aku bodoh dan selalu bodoh. Menyingkirkan prasangka itu dan berbohong pada perasaanku sendiri hanya untuk menjaga hubungan kami. Itu membuatku hampir pada titik kelelahan yang lebih rendah dalam hidupku, sehingga aku memutuskan untuk berhenti menghubunginya hingga ia menghubungiku terlebih dahulu.
Aku berharap cara ini adalah cara yang benar dan akan membuatnya menyadari bahwa seseorang yang selalu menunggunya setiap saat, akan menyerah pada semua omong kosong yang telah banyak menyakitinya.