"Aku tidak tahu kalau kau mengubah rencana perjalananmu," kata Rachel ketika ia melihat boarding pass miliknya dan milik Lorne. "Ada hal penting lainnya? Yang tidak bisa kau jelaskan padaku?"
"Tentu tidak. Hanya urusan pekerjaan."
"Aussie?"
Lorne menggangguk. Ia terlalu sibuk untuk memikirkan perjalanan yang amat panjang. "Kau tahu, Berlin ke Australia."
Rachel mengangguk untuk menanggapi. Ia memeluk lengan Lorne yang menuntunnya untuk berjalan ke ruang tunggu. "Kau ingin menghilang dari Shane untuk berapa lama?"
"Entahlah. Sebaiknya adikku tidak berkata demikian," ujar Lorne tidak bermaksud menyinggung.
"Ponselku mati. Mama pasti sibuk mengkhawatirkan aku."
"Tante Rena tidak akan mengkhawatirkan dirimu jika kau bersama denganku. Percayalah."
Rachel mengangguk lagi, melekatkan pelukannya pada Lorne. "Kau tidak bawa ponselmu."
"Kau tidak membiarkan ponselmu terisi," balas Lorne.
"Aku lupa."
"Kau bohong."
Rachel hanya tersenyum. Ia terus tersenyum. Apa setelah ini, ia bisa memiliki Lorne?
"Aku tidak ingin mereka menemukan kita," bisik Rachel penuh cinta.
Semoga Lorne tidak memahami perasaanku.
₻₻₻
Rachel merasa lelah setelah 2 harinya disita untuk duduk dalam pesawat dengan transit sebanyak 2 kali. Untung mereka sama sekali tidak membawa barang bawaan. Jadi mereka hanya perlu menikmati tanpa beban. Rachel melemparkan penatnya pada tempat tidur yang sangat nyaman. Ia yakin seharian tidur akan menghilangkan lelah dalam hati dan pikirannya.
"Rachel?"
Rachel terduduk begitu suara Lorne memenuhi kamar tidurnya. Lorne muncul setelah pintu kamarnya dibuka. "Tidur?" Rachel menggelengkan kepalanya. Senyumnya mengembang, mempersilakan Lorne untuk masuk, namun lelaki itu menolak.
"Istirahatlah. Kau bisa membasuh diri jika mau. Aku akan pergi sebentar saja."
Rachel mengangguk. Ia memang sudah sangat kelelahan. Untuk ikut Lorne, mungkin ia tidak akan sanggup. Daripada ia mengeluh, lebih baik ia tinggal. "Pergilah. Aku akan tidur."
"Lelah?"
"Kau tidak?"
"Sesuatu harus dilewati sebelum waktunya istirahat," jawab Lorne dengan santai.
Bukan berarti ia tidak lelah. Ia merasa ada hal penting yang harus diurus sebelum ia benar-benar meletakkan penatnya di tempat tidur yang selalu ia nantikan selama satu tahun ini. Ya, setelah satu tahun, ini pertama kalinya ia kembali ke Australia. Pertama kali pula bersama dengan Rachel.
Lorne melangkahkan kakinya meninggalkan Frisco Apartments menuju tempat perbelanjaan. Ia butuh sesuatu yang baru, bukan baju-baju lamanya yang tergantung rapi di almari. Rachel juga memerlukan sesuatu untuk dikenakan. Matanya mencari beberapa pakaian yang pantas untuk ia kenakan. Kemeja biru muda dan satu jas hitam. Setelah ia berhasil menemukan sesuatu untuk dirinya, ia mulai mencari sesuatu untuk Rachel. Matanya menangkap kaos dengan warna coklat susu—coklat muda—tergantung sebagai baju couple. Ia merasa lucu untuk memilikinya dengan Rachel. Jadi ia membelinya.
Sebuah wedges menarik minatnya. Wedges yang sederhana namun cantik. Ia mengambil wedges itu, mengukur dengan tangannya, lalu melihat berapa harga yang dapat ditawarkan. Lorne meletakkannya dan kembali melihat beberapa wedges dengan tampilan yang lebih baik. Sweet gray. Itulah warna yang menakjubkan hatinya. Modelnya juga sederhana, motif daun pada sisi luarnya, tapi pasti indah saat dikenakan oleh Rachel.
Lorne selesai dengan apa yang ia inginkan. Hanya 75 menit waktu yang ia perlukan.
**
"Hei," sapa Lorne melihat kedatangan Rachel. Wanita itu masih mengantuk. "Aku tidak ingin membangunkanmu. Tidurlah."
"Aku butuh mandi. Kau pergi tidak terlalu lama."
Lorne mengangguk. "Kemarilah."
Rachel melihat beberapa pakaian dalam dengan warna hitam dan krem. Jujur, Rachel terkejut. Ia juga melihat beberapa kaos, mini dress, kimono, piyama dan pakaian renang. Rachel sangat terkejut melihat hal ini sudah ada di depan matanya, entahlah bagaimana Lorne dapat melewati penderitaan ini hanya dalam jangka waktu 2 jam.
"Apa ini, Lorne," tanya Rachel dengan nadanya yang meninggi.
Lorne mengedikkan bahunya. "Untukmu."
"Kau keterlaluan," ujarnya dengan nada yang sulit diapresiasi. "Seharusnya kau mengajakku kalau kau mau membeli ini semua. Ini pakaian dalam wanita, Lorne."
"Lalu?" tanya Lorne bingung dimana letak kesalahannya.
"Lorne, apa kata orang ketika melihat kau membeli ini semua?"
Lorne berpikir sebentar. Ia tidak mendengar ada yang membicarakan dirinya selain tawa dan beberapa gurauan. Ia hanya bisa mengingat seorang wanita cantik yang melayaninya di kasir bertanya dengan rasa penasaran untuk siapa itu semua ia beli. "Kukatakan aku membelinya untuk istriku. Tidak ada yang berani menertawakanku setelahnya."
Rachel menghela napas. "Bagaimana kau bisa melewati itu? Terima kasih."
Lorne mengusap jemari Rachel dengan senyumnya yang sempurna. "Sama-sama."
"Lorne," panggil Rachel ketika ia melihat Lorne sudah bersiap menuju kamar mandi. "Jangan pernah menyebutku sebagai istrimu lagi."
"Ada yang salah?" tanya Lorne sama 'tak mengertinya dengan pertanyaan awal Rachel.
"Karena aku bukan istrimu. Dan kau bukan suamiku," jawab Rachel sejelas-jelasnya.
"Um, baiklah."
Lorne menutup pintu kamar mandi dengan gerakan pelan. Ia memikirkan permintaan Rachel. "Memangnya ada yang salah? Kau punya nama Weinston dibelakang namamu. Semua orang sudah pasti mengira kau sebagai istriku," gumam Lorne.
"Hei, Rachel," panggil Lorne dari balik pintu kamar mandi.
"Ya?" Rachel memperhatikan perubahan ekspresi Lorne. "Ada apa? Butuh sesuatu?"
Lorne menggeleng lembut. Ia memastikan Rachel dalam posisi yang sempurna sebelum ia mengutarakan kalimat yang mengalir dalam kepalanya.
"Ya?" tanya Rachel lagi.
"Kau 'tak suka menjadi istriku?"