"Apa kamu yakin? Kok aku jadi deg-degan ya?" Isma bertanya kepada Sony saat mereka duduk di kursi-kursi yang berjejer di depan Bandara Tanjung Harapan. Bangunan dua lantai berwarna kuning tersebut merupakan satu-satunya bandara yang ada di kota Tanjung Selor.
Kota Tanjung Selor merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Utara yang terletak di Kabupaten Bulungan. Walaupun merupakan ibukota, tapi Tanjung Selor tidaklah ramai seperti kota pada umumnya. Kotanya kecil dan penduduknya tidak padat. Wilayahnya masih asri karena belum banyak gedung-gedung tinggi yang dibangun.
Ara memilih kota ini karena ia merasa tentram dan tenang tinggal di Tanjung Selor. Tidak ada lalu lintas yang padat. Warganya ramah dan kotanya yang berpenduduk, tidaklah luas. Sehingga untuk pergi ke suatu tempat tidaklah jauh.
Isma terlalu bersemangat sehingga ia sampai ditegur oleh Sony. "Iya, kenapa harus nggak yakin. Kan ini juga maunya kita. Biasa aja dong. Jangan berlebihan gitu. Nanti giginya kering loh." Sony terkekeh, sengaja menggoda Isma. Isma langsung terdiam.
"Apaan sih kamu. Bikin malu aku aja." Katanya sambil memegang kedua pipinya yang terasa memanas karena malu.
Sony terus tertawa karena lucu melihat Isma. Wajahnya memerah dan ia sengaja menutup separuh wajahnya dengan tangannya.
"Apaan sih kamu Son. Nggak usah lihat-lihat nah, malu tahu." Katanya sambil membuang mukanya ke arah lain. Ia merapikan rambutnya yang tidak berantakan.
Sony menahan tawanya, agar Isma tidak pergi. Karena dilihatnya Isma sudah mulai hendak berdiri. "Oke, oke." Sony mengangkat kedua tangannya tanda ia menyerah, tidak menggoda lagi. "Jangan pergi. Oke?" Pinta Sony.
Saat mereka asyik bercengkerama, terdengar suara sirine pertama, tanda pesawat terbang akan tiba. Untuk daerah kecil seperti Tanjung Selor, petugas bandara akan membunyikan sirine sebanyak tiga kali tanda pesawat akan segera tiba, sehingga para penumpang pesawat maupun petugas bandara bisa bersiap-siap.
"Nah, sebentar lagi datang." Kata Isma sambil melihat ke arah dalam bandara. Bandara di Tanjung Selor terbilang sangat kecil, karena hanya dapat menampung pesawat jenis ATR-72 dan yang lebih kecil di bawahnya.
Selang beberapa waktu, terdengar lagi bunyi sirine yang kedua dan ketiga. Isma dan Sony lalu beranjak pergi menuju ruang kedatangan untuk menunggu kedatangan Aya dan Ara. Hanya ada mereka berdua yang menunggu di ruangan tersebut, karena memang kedatangan pesawat kali ini di luar jadwal penerbangan umum.
Saat Aya masuk ke ruang kedatangan, matanya langsung tertuju ke arah Isma yang sudah melambai-lambai heboh sambil berjalan cepat menuju Aya.
"Isma??" Katanya tak percaya. Ia pun melangkah dengan cepat mendatangi Isma. Saat bertemu, mereka langsung berpelukan. "Kok kamu bisa disini??" Tanya Aya heran saat melepas pelukan dan memandangi Isma dengan wajah penuh tanda tanya.
Isma terkekeh senang. "Menurut kamu?" Jawab Isma sambil melirik ke arah Ara.
Aya menoleh melihat Sony yang berada di belakang Isma dan menganggukkan kepalanya, lalu ia melihat kepada Ara. Ia menaikkan alisnya, meminta jawaban. Namun Ara hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. Dengan spontan Aya langsung memeluk Ara. Ara terkejut. Ya, sangat terkejut dengan tindakan Aya saat ini.
Ia sempat terdiam beberapa saat, sampai ia sadar dan membalas pelukan Aya. Erat, dengan erat ia memeluk Aya. Dan Aya pun memeluknya dengan erat.
"Makasih ya?" Bisik Aya di telinga Ara. "Heh, untuk apa?" Tanya Ara. "Untuk ini." Sahut Aya masih dengan memeluk Ara. Ara tidak mejawab, ia hanya menganggukkan kepalanya dan membelai kepala Aya.
"Ehem.." Isma berdehem sambil menoleh kesana-kemari. Ara dan Aya pun langsung melepas pelukan mereka. Ara hanya sumringah lebar sedangkan Aya kembali memegang tangan Isma.
"Jadi, sejak kapan kalian disini? Eh, tunggu, sejak kapan kalian jadian?" Tanya Aya melihat secara bergantian antara Isma dan Sony. Wajah Aya sangat memperlihatkan keingintahuannya tentang mereka berdua. Sony sempat membelalakkan matanya sesaat mendengar pertanyaan dari Aya.
"Hah? Ehem." Sony pun berpura-pura batuk padahal tenggorokkannya baik-baik saja. Di sisi lain, Isma mengerutkan keningnya, tanda ia bingung dengan pertanyaan Aya.
"Jadian? Siapa yang jadian?" Tanya Isma kepada Aya. Ia juga melihat kepada Sony, meminta jawaban dan klarifikasi. "Apa ini?" Tanya Isma bingung kepada Sony. Sony hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ara terkekeh melihat Sony yang serba salah dan salah tingkah. "Jadi Son??" Tanya Ara, berusaha memperkeruh suasana hati Sony. Sony pun pura-pura langsung meninju perut Ara. "Aw..." Suara Ara mengaduh bohongan.
"Kalian kenapa sih?" Tanya Isma yang masih bingung. Sedangkan Aya sudah paham jawabannya. Ternyata sampai saat ini, Isma dan Sony belum berpacaran. Dan Sony masih cinta bertepuk sebelah tangan kepada Isma.
***
"Jadi kita mau kemana ini?" Tanya Aya kepada tiga orang yang lain saat mereka berempat sudah berada di dalam mobil. Mobil jenis Toyota Fortuner yang dikendarai langsung oleh yang punya, Sony.
"Ke tujuan kita yang sudah disiapkan oleh pak Ara." Jawab Sony sambil melihat Aya melalui kaca spion dalam. Ia tersenyum dan menoleh sebentar kepada Ara. Ara hanya tersenyum tanpa menoleh, tetap ada pandangannya di depan.
Aya tidak puas mendengar jawaban Sony, karena baginya Sony tidaklah menjawab pertanyaannya, malah menambah pertanyaan baru buatnya.
"Kita mau kemana sih Is?" Tanya Aya pada Isma. Dilihatnya Isma juga senyum-senyum ditahan, menutupi sesuatu namun tampak jelas terlihat ada sesuatu.
"Kalian kenapa sih?! Kok nggak ada yang mau ngasih tahu aku!!" Suara Aya mulai meninggi. Ia sudah kesal dengan Ara mengenai hal ini. Ia memalingkan wajahnya ke jendela di sebelah kirinya.
"Eh, eh, jangan marah dong Ay sayang." Bujuk Isma segera. Ia memegang tangan Aya, agar Aya melihat ke arahnya.
"Habisnya, kalian semua pada rahasia sama aku. Awalnya kamu mas, nggak ngasih tahu tujuan kita. Ternyata kalia berdua sudah ada di sini duluan. Sekarang kita mau kemana, kalian nggak ngasih tahu aku lagi. Maunya kalian apa sih??!!" Aya mengeluarkan unek-uneknya yang sudah ditahannya sedari kemarin terhadap Ara. Dan kali ini juga ditujukan kepada Isma dan Sony.
Sempat ada keheningan sejenak. Isma dan Sony tidak berani menjawab semua pertanyaan Aya, karena mereka berharap Ara lah yang menjelaskan semua ini.
"Kita mau pulang ke rumah baru kita Ay." Jawab Ara tenang. Ia masih fokus pada pandangan di depannya.
"Ke rumah baru??" Aya kembali bertanya. Ia memajukan duduknya untuk bisa melihat dan berbicara kepada Ara. "Kita pindah kesini mas?" Tanya Aya lagi, tepat di sebelah telinga kanan Ara, sehingga membuat Ara terkejut dan beringsut duduknya bergeser ke pinggir dekat jendela kiri. Ia pun dengan spontan melihat ke arah Aya.
Aya memasang wajah datar, sedatar-datarnya di depan Ara saa ini. Ia sengaja berbicara sedekat mungkin dengan Ara, karena ia sudah sangat kesal dengan Ara. Ia menganggap Ara dan kedua temannya sudah sukses mempermainkannya.
"Kita pindah kesini mas?" Aya mengulangi pertanyaannya. Iya sadar betul kalau saat ini Ara tampak terkejut dan mungkin gugup didekati Aya seperti itu.
"Eh, uhuk uhuk" sebagai jawaban Ara. Ia kembali melihat ke depan. Sony dengan tanggap menyumbang ketawa melihat posisi Ara saat ini. "Nggak perlu nunggu 24 jam boy, karma berlaku. Hahahaaaa." Timpal Sony sengaja sambil tertawa terbahak-bahak. Isma pun ikut tertawa menambah keterpojokan Ara.
Aya kembali duduk ke posisinya semula. Iya sudah mendapatkan jawabannya. Ia menyilangkan kedua tangannya dan melihat ke luar jendela sambil tersenyum puas.