Ara masih tersenyum sambil membasahi tubuhnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa. Menertawakan istrinya.
"Kapan kamu sadar Ay?" Gumamnya sendiri.
Tadinya ia berharap Aya merespon gombalannya. Tapi ternyata, yang ada malah tampak kebingungan di wajah Aya.
Di kamar, Aya menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. Ia tersenyum, namun terkesan sinis. "Aku tau maksud kamu mas. Maaf aku belum bisa." Aya berbicara sendiri, pandangannya mengarah ke pintu kamar mandi.
👫💓👫💓👫
Dua hari setelahnya.
Aya dan Ara bersiap untuk keluar dari hotel dan kembali pulang. Aya masih belum mendapatkan informasi, akan pulang kemana mereka hari ini.
Sepanjang perjalanan, Aya hanya berdiam diri. Ia hanya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Hal ini sama seperti pada saat ia tiba di Yogyakarta. Tidak ada pembicaraan dan hanya menatap ke luat jendela mobil.
Disebelahnya, Ara masih sibuk dengan note booknya. Aya tidak tahu apa yang dikerjakan Ara. Yang ia tahu, Ara akan menelepon setelah ia mendapatkan sesuatu di note booknya.
Sepanjang perjalanan, sebanyak tujuh kali Ara menelepon. Dan dari arah pembicaraannya, Ara menelepon dengan orang yang berbeda.
Terkadang Ara tegas, terkadang ia santai pada saat berbicara dengan lawan bicaranya di ujung telepon.
Aya seakan tidak peduli dengan aktivitas Ara selama diperjalanan. Namun faktanya, ia sangat memperhatikan Ara. Segala kegiatan Ara pada saat itu didengarkannya. Hal ini dikarenakan Aya tidak punya kegiatan lain selain menguping pembicaraan Ara.
Saat sampai di bandara, Aya mencoba memberanikan diri menanyakan kepada Ara tujuan keberangkatan mereka saat ini.
"Mas, kita mau kemana?" Tanyanya diperjalanan masuk ke dalam bandara.
"Pulang." Jawab Ara singkat tanpa menoleh ke arah Aya. Ia sibuk dengan ponselnya.
"Iya aku tau pulang, tapi pulang kemana?" Kembali Aya bertanya karena tidak puas dengan jawaban Ara.
Ara merasa beberapa hari ini, Aya seperti kembali ke sikapnya yang dahulu. Yang menolaknya dengan jelas. Dan terlalu suka bertanya.
Ara menghentikan langkahnya. Aya pun terkejut dan ikut menghentikan langkahnya.
Ara menoleh melihat Aya. Namun tidak biasa, ia melihat Aya dengan tatapan tajam dan wajah yang sangar. Aya termundur selangkah dibuatnya.
'Aduh, sialan. Salah lagi aku." Maki Aya pada diri sendiri dalam hati.
"Kamu kenapa sih? Semakin nggak percaya sama aku? Takut sama aku? Suamimu sendiri?"
"Eh, mas..." Aya mundur beberapa langkah karena Ara terus maju mendekatinya. Ara tidak peduli dilihat banyak orang.
"Maaf mas. Aku cuma penasaran, kita mau kemana." Aya berusaha menjelaskan. Dan Ara berhenti pada langkahnya. Ia menelan ludahnya dan menarik panjang nafasnya.
"Aku mau kamu bahagia. Aku mau membawa kamu ke tempat yang bisa buat kamu bahagia. Aku mau kita tinggal di tempat yang jauh dari hal-hal yang bisa membuat kamu bersedih." Jelas Ara.
Hal ini membuat jantung Aya berdegup kencang. Kekhawatirannya akan hal ini terbukti. Selama ini ia takut akan dibawa Ara ke tempat yang jauh yang belum atau bahkan tidak dikenalinya. Ditambah saat ini, sahabatnya tidak bisa dihubunginya. Ia tidak bisa memberitahukan keberadaannya.
Aya semakin takut membayangkan tinggal berasama Ara ditempat yang jauh dari orang-orang yang dikenalnya.
Ara melihat Aya hanya diam tidak menjawab. Ara berdecak sambil menggelengkan sedikit kepalanya dan kembali berjalan.
Aya yang sadar Ara muali kembali melangkah, juga ikut melangkah mengiringi Ara.
Mereka kembali berjalan menyusuri beberapa ruangan. Aya heran kenapa mereka tidak singgah di tempat penukaran tiket dengan boarding pesawat. Mereka malah dibawa oleh petugas ke tempat lain yang lebih sepi.
Saat tiba di luar ruangan, mereka dijemput menggunakan mobil menuju salah satu hanggar.
Aya terheran kenapa mereka pergi ke tempat itu. Namun selama perjalanan, ia hanya diam saja, tidak berani lagi bertanya. Aya menjadi tidak nyaman duduk bersamaan dengan Ara. Ia merasa malu setelah ditegur oleh Ara.
Sesampai mereka di salah satu hanggar, Ara turun terlebih dahulu dari mobil dan berbicara kepada salah satu petugas yang tampaknya sudah menunggu mereka.
Saat mereka bercakap-cakap, terlihat oleh Aya kalau petugas tersebut sangat menghormati dan segan kepada Ara.
Ayapun turun dari mobil dan berjalan mendekati Ara. Saat ia tiba disamping Ara, Ara langsung menoleh kepadanya dan menggenggam tangan kirinya.
"Nah, ini dia istri saya. Perkenalkan, Ami Maya." Katanya lembut kepada petugas dihadapan mereka. Ia berbicara dengan tersenyum manis dan terus menatap Aya. Aya menyambut tangan petugas tersebut sebagai tanda berkenalan.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Ara, tapi Aya merasa tidak nyaman diperkenalkan Ara seperti tadi. Ia hanya ingin berkenalan seperti yang biasa saja. Tidak berlebihan. Ia merasa Ara sangat berlebihan mengenai hubungan mereka bila di depan orang lain.
Akhirnya si petugas tadi mempersilahkan mereka untuk naik ke dalam pesawat yang sudah siap untuk terbang.
Aya mengikuti Ara, karena tangannya terus digenggam oleh Ara.
Aya tertegun dan berdecak kagum saat memasuki pesawat. Ia belum bertanya, apakah ini pesawat pribadi atau Ara menyewa untuk kemudahan mereka dalam berangkat ke tujuan. Yang pasti Aya merasa nyaman dan istimewa di dalamnya.
Orang tua Aya juga pengusaha, tapi bukan pengusaha yang kaya raya seperti orang tua Ara. Sehingga ia belum pernah menaiki pesawat pribadi apalagi terbang menggunakan pesawat pribadi.
Di dalam, mereka duduk berhadapan dengan meja berada di tengah keduanya.
Tak jauh dari mereka, ada dua orang anak buah Ara yang ikut bersama mereka. Selain itu ada dua orang pilot dan dua orang pramugari yang siap melayani mereka.
Ara terus memandangi Aya yang melihat-lihat seisi pesawat.
"Kamu suka?" Tanyanya dengan terus mengikuti pergerakan kepala Aya.
"Suka." Sahut Aya. Ia kemudian menatap Ara yang tetap tersenyum kepadanya.
"Kamu mau tanya? Tanyakanlah!" Perintah Ara sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat kedua tangannya.
"Eh, hmmm, ini pesawat siapa?" Aya sempat kaget ditawari Ara untuk bertanya dan ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Ara tersenyum tipis. "Sudah kuduga kamu akan menanyakan itu." Jawabnya, melepas lipatan tangannya dan memandang ke luar jendela.
Pesawat mereka sudah mulai bergerak perlahan. Ara kemudian berdiri dan mendekati Aya. Aya agak memiringkan badannya untuk menghindari Ara. Namun Ara malah memposisikan duduk Aya kembali tegap. Ara lalu memasangkan sabuk pengaman pada Aya.
"Oh." Aya hanya mampu berkata 'oh', karena ia lupa untuk memasang sabuk pengaman. Hal ini karena dari awal memasuki pesawat, ia terlalu fokus pada isi pesawat dan pertanyaan di dalam hatinya.
Ara kembali duduk di kursinya dan memasang sabuk pengamannya Dilihatnya wajah Aya berubah merah muda merona karena malu. Ara tersenyum puas melihatnya. Walaupun senyumannya ia sembunyikan dari Aya.