Lalu tiba-tiba, aku ada di sana.
Dikelilingi kegelapan pekat yang luas. Mengherankannya, aku tidak merasa waswas, karena aku terpesona oleh gulungan kabut hitam yang bergulung-gulung bagaikan geliat ular. Seketika aku diliputi perasaan nyaman yang ganjil, mengingat tadi aku begitu kesakitan... Ataukah itu hanya mimpi?
Perhatianku terus terpaku pada kabut hitam yang bergelora itu, hingga tak menyadari bahwa sekelilingku berubah perlahan-lahan. Cahaya mendadak menghujan, menyibakkan gulita yang menggurita, menampakkan taman luas yang dipenuhi cahaya berwarna-warni dan indah.
Aku tahu taman itu, karena aku telah sering melihatnya dalam lukisan kakak. Taman itu terletak di tengah kota. Aku langsung kesal sekali: Kakak tak pernah bilang bahwa taman yang diceritakannya begitu indah! Dipenuhi dengan cahaya dan warna yang membuat hati merekah, ratusan kali jauh lebih mengagumkan dibanding lukisannya.
Kembali aku berjalan-jalan dan berkeliling takjub di sana, tak menyadari berapa lama waktu berlalu hingga aku melihat sosok yang menyala-nyala terang dari kejauhan. Sosok itu 'berjalan' santai ke arahku. Aku langsung tahu bahwa itu hidup.
Aku menyebutnya berjalan karena sekujur tubuhnya terbuat dari cahaya yang menari-nari dan berpijar bagaikan lidah api kadang merayap kadang melangkah kadang berdoncang, tanpa suara. Makhluk itu sebesar orang dewasa, tetapi wujudnya terus berubah-ubah, kadang bagaikan tonggak, kadang bagaikan tumpukan api, kadang bagaikan orang atau hewan. Seluruhnya murni cahaya tujuh warna.
Pelangi yang berjalan dan membara.
Makhluk tadi berhenti beberapa langkah dariku. Pancarannya membuatku ingin melangkah mundur. Lalu ia mendoyong ke depan, seakan sedang berusaha melihat wajahku lebih jelas dengan 'kepalanya' yang hanya berupa tonjolan polos dari api murni.
"Selamat datang di Taman… Langit," dengungnya dengan lembut.
"Taman Langit? Bukan! Ini Taman Jil Mirrad," bantahku dengan teramat yakin, seraya terheran-heran karena aku sama sekali tidak heran atau takut kepada makhluk ini. Alih-alih, aku tertarik sekali dengan Makhluk ini.
"Ini memang Taman Jil Mirrad dalam pikiranmu…. Nak. Gerbang yang menghubungkan ke Taman…. Langit."
Aku tidak mengerti kata-katanya. Tetapi, entah kenapa mendadak aku jadi yakin sekali aku memang berada di Taman Langit. Aku memang tinggal di sini, pikiran ini terbersit begitu wajarnya.
"Kamu merasa… sakit?" Tuan Tubuh Cahaya bertanya setelah mengamati sejenak.
Aku menggelengkan kepalaku. Ketika ia menyinggung soal ini, aku baru sadar bahwa aku bebas dari rasa sakit! Bahkan, aku merasa tubuhku begitu segar dan ringan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa demikian. Aku segera tenggelam dalam perasaan gembira yang luar biasa meski menyadari ada sesuatu yang ganjil. Aku mulai melupakan sesuatu.
"Kamu merasa… senang?" Makhluk itu kembali bertanya.
Aku tentu mengangguk-angguk sambil melompat-lompat. Rasanya begitu luar biasa.
"Kalau begitu, maukah kamu ikut... jalan ke…. sana?" Tonjolan di sisi tubuh makhluk cahaya itu memanjang bagaikan lengan. 'Tangan'-nya menyapu ke samping, mengundang pandanganku ke cakrawala yang membentang indah di sana.
Kulangkahkan kakiku mengikutinya. Setiap langkahku kini menimbulkan riak aneh di Taman Langit dan di udara di sekelilingnya. Aku kembali terpesona kala memperhatikan riak yang berdebur lunak dan bahkan bisa menembus tubuhku, jari-jariku itu.
"Ikut aku... Nak," Makhluk itu beringsut. Melanjutkan perjalanannya.
Aku nyaris mengangguk lagi, namun aku melihat sesuatu di antara riak menakjubkan itu. Aku melihat suatu bangunan rumah, kamar, dipan, lalu wajah yang begitu akrab. Ibu, Kakak...
Aku mendadak teringat pada Ibu dan Kakak. Mereka pasti mengkhawatirkanku kalau aku pergi jauh. Aku sontak menghentikan langkah tapi sebelum aku bisa melihat sekeliling, seperti bisa membaca pikiranku, Makhluk itu berkata, "Tetapi kalau kamu kembali, kamu akan sakit… lagi. Sakit sekali, sakit… berat."
Ada perhatian yang begitu besar, tulus, dan mengharukan yang kutangkap dari dengungan halus itu. Seolah ia begitu mengenalku dan begitu tidak ingin aku menderita. Namun aku tak sempat memikirkan lebih lanjut karena saat melangkah berikutnya, riak itu pecah menjadi gelembung-gelembung hitam dan abu-abu.
Sebelum aku bisa bereaksi, air mataku sudah jatuh bercucuran tatkala gelombang rasa sakit baru mendera. Begitu hebatnya hingga aku tak kuasa tidak menjerit.
Sensasi perih dan duka yang telah begitu akrab denganku terasa empat kali lipat lebih berat tatkala aku baru saja merasa begitu bahagia dan ringan, bebas dari bahkan setitik pun rasa sakit! Aku terus menggelengkan kepala. Menangis sampai seluruh tubuhku gemetar. Napasku terasa hampir putus!
"Hidupmu akan mengalami banyak… kesukaran. Kamu akan amat… menderita. Kenapa mau… kembali?"
"Aku… punya… Ibu… Kakak," setiap patah kata kuucap sambil mengertakkan gigi, menahan siksa.
Aku kembali tersengat kejang dan sakit! Begitu kuat dan lama, lebih parah dari sebelumnya. Aku tidak tahu berapa lama aku meraung dan berguling-guling seperti dalam neraka, ketika mendadak semua rasa sakit itu lambat laun mereda. Namun aku tahu mereka masih ada di latar, membayangi, siap menerkam lagi. Tubuhku bergeletar.
Kemudian tubuh cahaya itu menanyai lagi, "Kamu mau… menyerah?"
Aku menolaknya dan segera sakit maha dahsyat datang kembali!
Gelombang demi gelombang siksaan ini terus menyerangku, berkali-kali hingga aku mulai kehilangan harapan akan bisa bertahan.
Ketika dengungan yang mulai kedengaran menyebalkan itu kembali menawarkan, "Kamu mau… menyerah?" untuk kesebelas kalinya, saat itu aku sudah hancur luluh. Aku siap menerima apa pun agar bebas dari kesengsaraan ini.
Saat itulah, segelombang suara bergema di seluruh Taman Langit. Gelombang suara yang begitu kuat hingga menggetarkan dan membelah udara, namun begitu menawan hati. Bahkan suara itu bergema dalam diriku seperti lonceng. Aku ikut bergetar selaras dengannya dan anehnya kekuatan yang sejuk dan jernih mulai mengalir dalam diriku.
Gelombang itu berkata, "Anak ini tidak akan menyerah, Pengurus."
Mendengar suara itu, merasakan kekuatanku perlahan bangkit lagi, aku mendadak sadar akan yang hampir saja kulakukan. Demi Divara, aku hampir saja menyerah!
"Tentu… ia akan segera… menyerah. Mengapa kamu ikut… campur?"
Suara itu menggema, "Kamu memaksakan terlalu kuat. Ia hanya anak kecil, biarkanlah ia memilih sendiri."
"Aku tidak akan membiarkanmu mengganggu … upayaku!"
Rasa sakit menyerang kembali! Tetapi kali ini, rasa sakit itu segera menghilang! Saat itu, aku melihat sebuah bola cahaya putih melayang di atas kepalaku, mengelilingiku dengan anggunnya.
"Kamu tidak bisa memaksa jiwa yang tak berdaya, Pemelihara. Ia berada di bawah tuntunan Kehidupan," suara itu kembali mengudara.
Lalu aku mendengarnya berbisik kepadaku: Anak muda, Cahaya di atas kepalamu ini adalah temanmu. Ia selalu ada di dalam dirimu, terimalah.
Makhluk bertubuh Cahaya itu gemetar, ia malah melangkah mundur setiap kali bola cahaya di atas kepalaku melintas makin mendekatinya.
"Te-teman?" Bisikku.
"Benar. Temanmu…. Seperti juga Sang Pengurus."
Aku sama sekali tidak mengerti. Aku masih terus berupaya berdiri. Aku mencoba berguling, lalu dengan bantuan tangan, lutut, akhirnya aku berdiri dengan gemetar.
Tanganku mengembang, terjulur berusaha meraih bola cahaya itu. Bola itu meluncur dengan anggun dan mendarat di telapak tanganku. Untuk beberapa saat mataku hanya melihat bola cahaya yang indah itu, ketika ia berubah menjadi kobaran api tujuh warna tepat di atas tanganku! Anehnya, rasanya sama sekali tidak panas. Bahkan terasa begitu hangat dan nyaman. Keberanianku mekar disertai gelombang energi yang merambat ke seluruh tubuh.
"Kau memilih Memegang Api… Pelangi. Bukankah... tadi kamu mau… menyerah?"
Dengung suaranya kali ini terdengar amat pilu, seolah ia mengetahui bahwa ia akan kalah.
Aku berteriak lantang pada makhluk cahaya itu, "Tidak mau! Aku tidak mau nyerah!"
"Kalau begitu… hiduplah! Hiduplah dengan kuat, sampai suatu hari kamu pasti akan… kembali."
Tubuh Cahaya itu mengundurkan diri. Beringsut menjauh dengan bahu merosot dan lunglai. Entah kenapa, melihatnya begitu kecewa dan menyedihkan, aku merasakan dorongan rasa kasihan yang begitu kuat, hingga air mataku berjatuhan. Aku tahu ia tidak hendak menyakitiku, aku tahu bahwa ia yang melindungiku dari rasa sakit selama ini.
"Tunggu! Siapa namamu?" Teriakku serak.
Tubuh Cahaya itu mendadak berhenti. Ia perlahan berbalik lalu sebuah celah membuka di 'kepalanya', membentuk rongga bagaikan pusaran hitam tanpa dasar. 'Mulut' yang menakutkan itu berdengung penuh kesedihan, "Namaku…. Wander Atale Oward."
*
Aku seketika terjaga!
Aku menyadari bahwa aku masih ada di pembaringan, kuyub oleh keringat. Sekitarku gelap. Lilin-lilin sudah hampir padam, menyisakan kerlap-kerlip api yang menyusut dan sekarat.
Aku melihat ke sekeliling. Ibu dan Kakak tampak sedang tertidur kecapaian, di sampingku.
Aku segera lupa akan mimpi itu sama sekali, ketika aku menyadari bahwa aku masih hidup!
Bertahun-tahun akan berlalu sebelum aku akan teringat kembali soal itu dan dapat menceritakannya.
Aku tidak tahu bagaimana atau kenapa, tetapi sejak saat itu, aku mendadak sembuh dari serangan penyakitku. Yah tidak semua sih karena badanku masih kurus dan lemah.
Tapi, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku … sehat.
Umari'l Waya – Cerita Tambahan
Wander mengguncang-guncang ibunya, yang tertidur di sisinya.
"Ibu! Bangun, Bu!"
Ibunya terbangun. Sejenak ia melihat anaknya dengan tatapan kosong dan nanar karena kejut, sebelum ekspresinya berubah seketika. Ia merasakan perubahan yang luar biasa itu.
Ia memeluk Wander begitu kencang, terus membisikkan sesuatu yang begitu lembut dan manis, penuh dengan cinta dan syukur. Wander juga memeluknya, ikut menangis.
Sebuah momen penuh dengan rasa dan asa yang dalam menari-nari di antara mereka.
Sang ibu menangis tanpa suara dalam kegembiraan dan rasa syukur yang begitu besar untuk keselamatan anaknya, sementara Wander menikmati kehangatan pelukan ibunya. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia bermimpi, ketika ia menempel ke dada Ibunya.
"Ibu"
"Ya, Sayang?" Ibunya bertanya dengan air mata bercucuran.
Wajah Wander memerah, dan ibunya tersenyum begitu lembut hingga ia merasa dadanya bagai meleleh dalam kehangatan itu. Ia jadi merasa berani untuk jujur.
"Aku lapar…"
Umari'l Lua' Waya – Cerita Luan Tambahan
Wander tidak menyadari bahwa tangan ibunya yang memeluk punggungnya erat-erat pun mengeluarkan cahaya berwarna pelangi.
"Kuasa Penyembuhan tak kunjung meresap ke dalam badannya," batin ibunya yang resah kini mulai tenang, "Aku mengira aku akan kehilangan dia. Ia bisa bangkit. Syukurlah, terima kasih Pencipta Segala Sesuatu..."
Ia mengecup lega putra bungsunya itu berkali-kali, memutuskan untuk mengabaikan cahaya pelangi yang berpendar di sekeliling tubuh Wander. Ia tahu cahaya itu, tetapi ia tidak tahu apakah makna dan dampaknya bagi laki-laki. Cahaya yang seharusnya tidak mungkin muncul kini ada di hadapannya.
Sejenak ia gemetar, nasib seperti apa yang akan menimpa anaknya ini.
Kokru beringsut dan memeluk mereka berdua.
Cahaya itu lenyap. Kokru tidak melihatnya.
Mereka bertiga berpelukan, melepaskan keresahan dan pilu dalam dada.