Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 7 - Likuun

Chapter 7 - Likuun

Sesuatu dalam kepala dan hati Likuun seakan memercik, sebelum berkobar. Diikuti dengan sebuah ledakan dahsyat sesuatu yang telah ia tekan dan hindari selama beberapa lama. Hasilnya: gelombang kemurkaan yang luar biasa.

Makan malam yang indah dan damai itu berakhir tuntas saat itu juga: "JANGAN PERNAH KAU SEBUT-SEBUT SOAL ITU LAGI DI DEPANKU, WANDER ATALE! CUKUP SUDAH KAU PERMALUKAN IBUMU DAN AYAH!"

"Dan semua kakakmu, tolol!" Fyure menyeletuk dengan panas.

"DIAM, FYURE!" Likuun membentak anak sulungnya.

Fyure kontan bungkam, meski jelas ia menggelegak bagai air mendidih.

Wander gemetar. Tidak jelas karena marah atau takut. Tetapi dalam batinnya saat itu, ia hampir tidak merasakan apa pun selain suatu keperluan yang sangat mendesak untuk bicara.

"Aku ingin jadi kuat, Yah. Aku suka dengan Rijeen… Kumohon izin..."

"Ah! Supaya kau bisa mencuri lagi?" Fyure tak tahan menutup mulutnya, tetapi kali ini bukan tatapan ayahnya yang menutup mulutnya.

Ibunya tiba-tiba berdiri, menatap tajam dalam diam ke Fyure, matanya yang berkilauan tampak kesal. Fyure kontan diam bagaikan batu di dasar danau.

Sementara, Likuun sedang membentak Wander: "KAMULAH YANG PERTAMA KALI KABUR DARI GURUMU. KAMU JUGA YANG DIKELUARKAN DARI PERGURUAN KALI KEDUA! LALU SEMUA ORANG BILANG KAMULAH YANG SELALU CARI MASALAH DAN BERKELAHI SETIAP HARI!"

Wander menjawab, "Wuan memang lari pertama kali! Tapi Wuan tidak curi barang apa pun, Ayah! Wuan juga tidak cari masalah, atau berkelahi!"

"Oh ya? Kalau begitu kenapa tiap hari kau luka-luka begitu?"

Wander ingin mengatakan semuanya, tetapi ia tidak mampu. Ia terlalu sayang pada ayahnya untuk membebaninya lebih banyak masalah lagi.

Ia hanya bisa berkata dengan bibir menipis, tangannya terkepal, "Wuan tidak bisa cerita ke Ayah soal ini."

"KALAU BEGITU, AKU TIDAK AKAN MENGIZINKANMU!" Likuun bangkit dan meninggalkan meja makan dengan begitu marah.

"Aku akan di sini, sampai Ayah merestui," Mendadak Wander menjawab dengan tegas.

"Kau bisa tinggal di sana sampai kau mau. Aku TIDAK AKAN PERNAH mengizinkanmu mencari Guru Rijeen lain!"

Meja makan itu sudah dibersihkan berjam-jam yang lalu, namun Wander masih di sana.

Di depannya, sebatang lilin dinyalakan. Sebentuk dukungan tanpa suara dari Kokru. Anak-anak lainnya telah mengundurkan diri ke kamar mereka, meninggalkan Wander sendirian berteguh. Ayah mereka memarahi siapa saja yang berani mendampinginya, pun Wander tidak menginginkan siapa pun menemaninya.

Wander mengistirahatkan dagunya ke permukaan meja makan. Sudah tengah malam. Tapi ia masih tidak bisa tidur, meskipun tubuhnya lelah dan luka-lukanya masih berdenyut nyeri.

Lesu, ragu, lemah, dan galau, ia tetap teringat betapa bodohnya ia.

Ya, semua ini awalnya memang karena kesalahannya.

Ini bermula dari ketika ia sehat, setelah mimpi itu. Untuk pertama kalinya, dunia terasa begitu cerah baginya. Ia bisa pergi ke mana pun yang ia suka. Segera, ia dimasukkan ke sekolah dan ia sangat senang ada di sana. Sekolahnya yang pertama mengajarkan menulis dan pengetahuan dasar. Ketika pertama kali masuk kelas, ia adalah bocah paling tua di sana. Teman-teman sekelasnya sering mengejeknya sebagai 'tua' atau 'penyakitan', tapi hal itu hanya berlangsung sebentar.

Hanya dalam waktu tiga bulan, ia sudah mengejar ketinggalan. Hausnya akan ilmu dan keasyikannya belajar bagaikan dahaga orang di gurun melihat telaga bening dan sejuk. Ia duduk di kelas seumurannya. Para gurunya yang abai kini memperhatikannya. Dalam tiga bulan berikutnya, ia sudah duduk di kelas yang lebih tinggi. Hal ini segera memicu rasa iri, dan berubah menjadi masalah ketika Wander menyadari bahwa beberapa anak-anak selalu menjelek-jelekkan keluarganya.

Ia cepat marah seperti layaknya anak pada umurnya dan beberapa perkelahian terjadi. Kokru yang masih ada di sekolah itu juga selalu membelanya, sementara Fyure sedari awal sudah tidak peduli kepadanya. Ia sibuk di kalangan teman-temannya sendiri. Saat itu, Wander tidak sadar bahwa ia akan membuat anak-anak yang lebih tua makin menyiksa dan menindas dirinya.

Suatu hari, ayahnya membawanya bermain ke kantornya. Merupakan sebuah tradisi bagi pegawai pemerintah untuk mengenalkan anaknya juga ke rekan sejawatnya. Kala Wander mulai sehat, ayahnya akhirnya bersedia mengajaknya. Wander merasa senang sekali. Ia segera jatuh hati dengan kantor ayahnya. Di sana ada begitu banyak buku, meja besar berukir, lemari besar namun sesak berisi, dan banyak pegawai dengan seragam rapi berwarna kelabu.

Ruang kantor yang besar itu kelihatan sempit berkat tumpukan dokumen, buku, surat, dan laporan yang bahkan harus dibawa dan dipindahkan dengan kereta dorong. Wander senang melihat ayahnya memberikan perintah kepada juru tulis dan bawahannya bagaikan komandan di medan perang. Ayahnya tampak begitu bersemangat dan mencintai pekerjaannya. Di rumah, Likuun memang selalu menguliahi Wander dan anak buahnya mengenai kesetiaan dan kejujuran pada Kerajaan ketika ia punya waktu luang. Di lain waktu, ia akan menenggelamkan dirinya dalam lautan kertas berisi perhitungan pajak, penelusuran, penyelidikan, dan roda birokrasi.

Chiru'un bercerita kepada anak-anaknya bahwa Likuun sejak kecil dibesarkan dalam panti asuhan yang dikelola Kuil Divara. Ia adalah anak yang pendiam dan sangat senang belajar. Ia tak pandai bergaul namun sangat cerdas dan teliti, hingga bendahara kuil merekomendasikannya masuk ke sekolah militer, divisi logistik, lalu ia menjadi penyelia pasokan dan garis belakang. Setelah menikah, ia keluar dari kemiliteran dan bekerja di kantornya yang sekarang di Fru Gar.

Para pegawai dan juru tulis di sana sangat menghormati ayahnya. Meski bosan dengan kuliahnya, mereka setia dan sayang pada ayahnya yang demikian cemerlang dan jujur. Mereka juga menyukai Wander dan mengajarkannya banyak hal soal pekerjaan itu, tanpa memandang bahwa ia keturunan campuran. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak menyimpan prasangka seperti layaknya sebagian penduduk kota lainnya.

Sejak hari itu, setiap kali ia bisa, ia akan memohon diajak ke kantor. Melihat minatnya, ayahnya mulai sering mengabulkannya, dan seiring dengan waktu, ia mulai mengerti bentuk 'permainan' yang sedang di-'main'-kan ayah dan pegawainya.

Menurut pemahamannya, ayahnya adalah 'pemutus perkara' dari dua permainan yang amat seru, tapi tidak kasat mata. Permainan pertama disebut dengan 'Pajak'. Permainan ini bertujuan mengecek surat-surat transaksi, pembayaran, utang, piutang, kekayaan, dan berbagai macam kewajiban yang dilaporkan oleh setiap pedagang. Jika nilai dari laporan sesuai dengan hasil penyelidikan kantor Hakim, ayahnya akan mengeluarkan surat 'lulus'. Tetapi jika ada ketidak-cocokan, atau adanya usaha mencocok-cocokkan yang istilahnya: 'mengulik buku', 'menisik angka', atau 'mengulari buku dagang', 'manipulasi' atau 'kecurangan', maka bakal ada surat 'gerebek' yang dikeluarkan oleh ayahnya selaku Kepala Pajak dan Izin Dagang Fru Gar, sehingga pegawai kantor pajak bisa langsung turun ke lokasi dan mengecek dokumen asli serta keuangan dari tersangka, serta diberi hak menyita dan merekomendasikan hukuman pada hakim.

Permainan kedua adalah 'Izin dagang'. Seorang pedagang yang ingin melakukan usaha di wilayah propinsi dan sekitarnya harus memiliki surat 'izin'. Suarat izin dagang ini bisa didapatkan setelah menyerahkan catatan riwayat hidup, surat pendirian usaha, kongsi atau mitra dagang, serta pernyataan berapa lama ia bakal berdagang dan apa yang bakal ia dagangkan. Jika tidak memenuhi hal ini, berdagang tanpa izin, atau melewati batas surat izin dagang, atau memalsukannya, berarti perdagangan 'gelap' dan juga berarti surat 'gerebek'. Dalam berbagai kasus, para pedagang sering berbohong mengenai apa yang mereka dagangkan, mulai dari jumlah maupun nilainya, atau mengenai referensi mereka. Merupakan rahasia umum bahwa seorang juru tulis bayaran bisa memalsukan segel dan bahkan tulisan tangan hakim atau bahkan walikota. Itulah yang selalu menjadi gerutuan Likuun.