Anak kecil menemukan koin emas di sungai
Ia memainkannya karena berkilauan
Setelah bosan, dibuangnya di jalan.
Petani memungut koin itu,
dijualnya kepada saudagar seharga seekor sapi,
Saudagar tersenyum.
Ia tahu asal usul dan nilai koin kuno itu:
itu adalah petunjuk yang hilang dari harta terpendam.
- Kisah Divara mengenai Kebijaksanaan
Di Telentium, pekerjaan sebagai pedagang dianggap yang paling utama. Rajanya datang dari Klan Saudagar. Dewi dan agama utamanya pun adalah Divara, dewi kesejahteraan. Kuil Divara selalu dipadati pemuja yang mempersembahkan koin dan bunga kepada arca yang duduk bersila dengan mata terpejam, membawa neraca di tangan kirinya yang berisi tengkorak dan mata uang. Tangan kanannya memegang roda dengan mata terbuka di tengahnya. Tangan kiri menandakan Divara menyukai kejujuran dan integritas melebihi bahkan nyawa dan laba, sedangkan tangan kanan melambangkan kecerdikan dan kewaspadaan.
Perniagaan, perdagangan adalah pendorong kemakmuran dan kesejahteraan. Perputaran uang dan barang diibaratkan darah yang mengalir dalam tubuh, yang membawa sari makanan dan mengedarkannya ke seluruh tubuh, sekaligus membawa racun dan barang buangan ke tempat yang mengolahnya.
Perniagaan menuntut seseorang untuk pintar, melek huruf, cakap berbicara, pandai menawar dan bijak membaca keadaan. Ini dipandang sebagai kegiatan yang mengolah karunia akal. Tambah lagi, kecerdikan melahirkan pembaruan dan kemudahan dalam kehidupan. Di sisi lain, kecerdikan yang berlebihan membawa kebatilan dan niat meraup laba dengan menindas yang lainnya. Orang yang berhadapan dengan saudagar senantiasa cemas, apakah ia akan dicurangi atau ditindas dengan perjanjian yang tidak adil. Seorang pedagang dituntut untuk menjunjung tinggi kejujuran dan integritas.
Karena hal itu, untuk menjadi pedagang seseorang harus memiliki izin dan membayar pajak tahunan. Tidak semua orang bisa seenaknya berdagang barang-barang tertentu, apalagi di pasar kota yang ramai dan makmur. Karena pekerjaan ini merupakan jalur menuju kekayaan paling cepat, banyak izin berdagang dan laporan pajak yang dipalsukan, bahkan oleh bangsawan dan orang-orang yang memiliki pengaruh.
Permainan ini begitu mengesankan bagi Wander hingga ia bertekad untuk belajar bagaimana mereka semua bisa mengetahui adanya kepalsuan dari tumpukan catatan. Ia mempelajari mengenai segel, cap, bentuk tulisan tangan, ragam tulisan formal, tinta-tinta, berbagai jenis kertas, sampai bagaimana cara mesin cetak kayu dan batu berfungsi.
Ia mengajukan begitu banyak pertanyaan, dan karena sifatnya yang bersemangat, ia mendapatkan jawaban yang tidak setengah-setengah. Beberapa bahkan mengajarkannya karena mereka tertarik dengan kecerdasannya, atau sekadar menganggapnya hiburan ('Lihat sampai sejauh mana ia bisa paham atau 'apakah anak kecil bisa diajarkan soal ini? Mau bertaruh?'), dan mereka terheran-heran ketika menyadari bahwa apa yang mereka ajarkan diserap dengan begitu cepat bagaikan pasir menyerap air yang ditumpahkan ke atasnya.
Suatu hari, seorang pelayan membawa laporan pajak majikannya yang bernama Aduyuki. Ia adalah salah satu dari Lima Guya, sebuah julukan yang diberikan untuk lima orang pedagang terkaya di kota Fru Gar. Gudang-gudang miliknya adalah yang terluas di Fru Gar, penuh berisi garam sampai gandum, gula sampai rempah-rempah. Ia memiliki toko yang menjual keramik dari Zirconia dan mengimpor kayu wangi serta pendupaan dari Mauro, serta banyak usaha lainnya.
Likuun saat itu sedang berada di luar kantor. Jadi, dengan penuh minat, Wander mulai menelusuri tumpukan dokumen itu, sampai ia menemukan bahwa dosa terbesar orang kaya pada umumnya keserakahan. Referensi Hakim Fru Gar jika dibandingkan dengan laporan memang cocok, namun mata Wander yang jeli melihat adanya tiga keanehan: tumpukan cap pudar pada surat jalan jalur Timur, salinan transaksi penjualan lada yang tidak sesuai catatan harga pekan itu, kemudian cap hakim distrik yang kelihatannya terlalu baru. Para ahli di kantor itu tentu akan bisa mengetahui hal-hal ganjil ini cepat atau lambat, tapi malangnya, pernyataan pertama yang meletupkan sensasi justru datang dari mulut Wander.
"Ini palsu," Serunya dengan penuh kemenangan. Ia melambai-lambaikannya kepada para pegawai yang ternganga.
Ketika ayahnya kembali dan melihat kehebohan itu, ia menanggapinya dengan serius. Ia mengirimkan tim gerebek dan menemukan bahwa alasan pemalsuan nilai dagang adalah karena Aduyuki terlibat dalam penyelundupan komoditi Tipiki Niniya Lojae - Tiga Tanaman Suci yaitu teh, kopi, dan cokelat yang begitu berharga!
Seperlima kekayaan Tuan Aduyuki disita dan perlu waktu dua bulan sebelum ia diizinkan kembali berdagang, tapi namanya sudah tercemar dan kerugiannya tak terbilang.
Setelah dikenai sanksi pedagang itu baru menyadari bahwa hakim baru kota itu masih menggunakan stempel cap yang sudah tua dan usang, tidak seperti hakim-hakim sebelumnya. Akan tetapi tersiar pergunjingan bahwa orang yang mengungkap kecurangannya pertama adalah anak kecil. Kehormatannya tidak mampu menerima pelecehan seperti itu! Ia bertekad membalas dendam.
Apalagi kelima Guya sudah lama begitu benci pada Likuun dan takut pada cara kerjanya yang tajam, tegas, dan tak dapat digoyahkan dengan suap. Mereka mengipasi segala yang buruk mengenai Likuun, utamanya sebagai satu-satunya orang yang menikahi perempuan Suku Selatan di kota itu.
Nah, dalam sebuah keluarga, jika orang tua benci pada seseorang, biasanya anaknya juga tahu. Anak ketiga Tuan Aduyuki, Diorin, ada di kelas yang sama dengan Wander, begitu juga anak kedua Guya lainnya bernama Kisin.
Ketika Wander kembali mengungkap sebuah perjanjian penjualan-paksa obat di sepanjang jalan dekat Gerbang Barat (para tetangga Nalia), para Guya semakin marah besar. Mereka mendesak pelarangan anggota keluarga pegawai pajak 'bermain-main' di kantor. Gubernur dan Hakim tidak mengabulkan permintaan yang sebenarnya wajar itu. Likuun taat pada aturan, dan segera Wander kembali ke sekolahnya, di mana di kelasnya sekarang berubah berkat dua musuh yang bertekad untuk menghancurkannya hingga lebur.
Sejak hari itu, semuanya berubah jadi neraka. Hingga kini, ia terus bertahan. Tak ingin ayahnya sampai tahu.
Wander sendiri cukup cerdas untuk memahami penyebabnya. Karena merasa lemah, ia menyalahkan dirinya. Semua adalah karena kesalahannya, pikirnya.
Karena kebodohannya…
Kesombongan dan keluguannya sendiri yang belum mengenal kerasnya dunia.