Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 4 - Kabar Buruk dan Kabar Baik

Chapter 4 - Kabar Buruk dan Kabar Baik

"Ayo kita pulang, Wuan," Kokru berucap dengan pahit. Rasanya begitu tak berdaya.

Adik kecilnya itu hanya menganggu, lalu tiba-tiba lunglai. Dengan tangkas, Kokru menggendong Wander. Ia berusaha bercakap-cakap atau bercanda, apa pun yang bisa membuat Wander tersenyum.

"Aku tidak mengatakannya, Kak. Aku bertahan," Wander mendadak berbisik.

Kakaknya itu terdiam, sebelum akhirnya tersenyum, "Wuan, Kakak sungguh bangga padamu."

Wander tersenyum begitu bahagia. Wajah lembut Kokru kembali membesi saat menghitung hari-hari penindasan ini. Sudah dua bulan, Demi Divara!

Rumah keluarga Oward terletak di dekat Pasar Distrik Barat. Rumah batu bata bertingkat dua itu dari luar kelihatan kecil dan sempit, namun pekarangannya meluas ke belakang dengan taman yang asri dan sebuah pondok kecil. Ukurannya sebenarnya dua sampai tiga kali lebih besar dibanding rumah di sekelilingnya, namun tak menyolok. Meski luas, perabot dalam rumah kecil itu sangatlah sederhana.

Di dalam rumah itu, kamar Wander dan Kokru sendiri terletak di sudut lantai dua. Di pembaringan, Kokru sedang mengolesi gusi Wander dengan salep obat.

"Aw… Aw!" Wander mengaduh-aduh, sembari menunjukkan isi mulutnya yang giginya telah berkurang satu. Di hadapan Kakaknya ini, Wander baru berani menunjukkan rasa sakitnya.

"Sabar ya… Hmm… Nalia mulai ahli mengobati semua lecet dan bengkakmu, tapi selalu menyisakanku yang di dalam-dalam."

Wander menahan keinginannya untuk ketawa, namun tertunda oleh sengatan obat yang dimasukkan ke lubang bekas giginya. Ia tahu kenapa adiknya itu dianiaya anak-anak yang lain. Ia juga tahu kenapa adiknya itu juga tidak melawan.

Demi Ayah dan Ibu, aku akan berhenti sekolah! Ayah dan Ibu tidak akan bisa memaksaku! Ini sudah keterlaluan! Atau setidaknya, Wander bisa pindah...

Ia tercekat. Kebencian anak-anak keluarga Guya terhadap keluarga Oward ternyata begitu membara. Ia tahu bahwa mereka memang penindas, namun baru kali ini ada anak yang menjadi sasaran mereka terus-menerus, dengan kekejian yang makin meningkat.

Semua aparat menutup mata. Ayah pun sudah berjuang keras, sungguh sayang...

Kokru mengelah napas, namun kala sorot matanya melihat tubuh Wander, sekali lagi terbersit rasa kagum atas sesuatu yang misterius. Sesuatu yang sungguh tidak ia pahami pada diri adiknya.

Bagaimana mungkin tubuh adiknya itu bisa menahan semua siksaan ini?

Bukan berarti ia ingin melihat adiknya celaka, Demi Divara yang Agung! Tetapi, entah bagaimana, sepertinya ada sesuatu di dalam tubuh yang kecil dan kurus ini yang akan menyembuh melebihi kecepatan biasa, yang menolak untuk runtuh atau patah; betapapun kuatnya ia teraniaya, hingga esok atau lusa, tubuh itu dapat bangkit, menyembuh nyaris seperti sedia kala.

Meski luka yang diderita selama ini semakin parah...

Kokru menatap adiknya lagi penuh perasaan yang bercampur aduk: kekaguman, keheranan, juga kesedihan, rasa syukur, namun tidak berdaya.

"Maafkan Kakak… Kakak tidak bisa membelamu…."

"Tidak pa pa, Kak," Wander tersenyum. "Wuan salah. Tidak bisa lari kencang."

Tidak mungkin Wander bisa lari. Ia dikepung dan digiring. Kokru tahu bahwa anak-anak kaum Guya telah memengaruhi guru Wander dengan kabar yang tidak benar hingga gurunya menutup mata akan apa yang terjadi. Ia berani yakin bahwa para guru itu mungkin malah senang jika mereka tidak harus mengajar Wander lagi.

Lalu, getirnya, pasti besok, kala Kokru pulang dari sekolahnya, ia harus kembali mencari Wander yang sedang dianiaya entah di mana….

"Dengar Wuan. Aku punya kabar baik."

Wander mengangguk penuh minat, "Kue?"

"Bukan. Lebih bagus lagi."

"Gambar baru? Buku baru? Bukan juga…?"

Tidak mampu menahan diri, Kokru akhirnya berkata, "Tadi pagi, Ibu tadi mengirim pesan. Ibu selesai menenun hari ini!"

Sontak Wander lupa akan rasa sakitnya! Wander melompat dari kursinya dan segera berlari ke pekarangan belakang!

"Ibu! Ibu!!" Teriaknya begitu riang!

Kokru mengikuti dari belakang, tersenyum tapi juga khawatir adiknya mungkin tersandung. Ia melihat adiknya itu melintasi taman, langsung menuju sebuah sanggar berbentuk pondok kayu kecil dalam taman. Baik pondok maupun taman itu sangatlah asri dan indah, buah karya yang tak kasat mata dari ayah dan ibu mereka.

"Ibuuuuu!!!!"

Seakan mendengar teriakannya, pintu geser bangunan itu terbuka, setelah tiga bulan lamanya tertutup.

Umari'l Waya - Cerita Tambahan

"Kamu tidak ingin kasih tahu kemana gulungan balutan hilang, lili air kecilku?" Pria tinggi berjenggot itu berkata dengan nada seram hanya beberapa inci dari wajahnya.

Ia menggelengkan kepala dengan tegas.

"Kamu tidak akan memberitahu kemana salep Ungen mujarab yang telah kutaruh di laci pagi ini, roti manisku?" Barisan gigi kuning menyeramkan terpantul di bola matanya.

Matanya yang coklat berkedip beberapa kali, sebelum ia kembali menggeleng.

"Atau bagaimana dengan rendaman sari serdekum untuk punggung Pak Tua Hunen yang kambuh… Tidak tahu? Atau adakah sesuatu yang ingin kamu bilang padaku, tupai kecil, apa pun itu…?"

Pria itu menunggu dengan jari-jari dikertakkan.

Ia akhirnya terpaksa nyengir. Dibumbui rasa bersalah ektra kental.

"Karena nampaknya kamu tidak bersalah…. Bisakah kamu membantuku dengan hal keciiilll saja, lonceng hati dan peri kecilku? Ini soal koyo dari mokso di toko, kamu tahu di mana itu?" Alis besar dan berbulu pria itu bahkan hampir menyentuh ujung hidungnya.

Ia segera menunjuk ke laci nomor 17 dengan penuh semangat, mengangguk-angguk seperti gila.

"Ah…. Rupanya kamu sudah mengembalikannya! Setan cilik nan cantik!" Pria itu segera menangkap gadis kecil itu dan mengangkatnya ke atas tinggi-tinggi!

Akhirnya tawanya meledak, ketika ayahnya menggelitiknya dengan buas sambil mengayun-ayunkannya di udara dengan penuh canda!

"Jin kecil nakal!! Berapa kali harus kubilang! Jangan mencuri obat!!"

Ia terus tertawa, kelitikan ayahnya sungguh tiada duanya.

"Sudah, sudah, Pak… Jangan terlalu memanjakan anak perempuan!" Suara tegas itu datang dari belakang.

Mereka berpaling ke belakang dan sama-sama nyengir pada sang sumber suara. Detik berikutnya, setelah satu detik istirahat, mendadak badai kelitikan berlanjut. Nalia tertawa, demikian pula ayahnya, mereka berdua tertawa-tawa seperti orang gila.

Melihat itu, kesabaran sang ibu akhirnya habis, "Nalia! Amoin! Cukup main-mainnya! Saatnya makan!"

"Ibumu sedang main tegas-tegasan lagi…" Amoin berbisik ke telinga anak perempuannya.

Nalia tertawa keras-keras, "Uuuu! Aaaa!"