Detik berikutnya, Wander yang tersengal-sengal dan gemetar dari ujung kepala sampai kaki telah berubah menjadi angin puyuh serangan bou, lalu sosoknya berubah menjadi angin puting beliung, melahap seluruh Pasukan Badai yang tersisa.
Sepuluh menit kemudian, tidak ada yang tersisa lagi dari 500 pasukan elit berkuda itu. Hanya lima puluh kuda yang sempat melarikan diri ke gerbang, semuanya tanpa penunggang.
Para prajurit bagaikan kehilangan separuh nyawa mereka saat melihat Wander berdiri di antara kuda dan prajurit Badai yang bergelimpangan. Tapi ketika mereka melihat dari pelipisnya darah mengalir turun, jubahnya yang robek-robek, tongkatnya yang hancur, serta napasnya yang terengah-engah…
Mereka menyadari bahwa pemuda di hadapan mereka ini masih manusia.
Ia masih bisa dikalahkan!
"Lihat! Ia berdarah!"
"Lihat ia memegang lututnya!"
"Ia kecapaian!"
"SERAAAANGG! Kita bisa membunuhnya!"
Mereka semua berebut menyerangnya. Panah dan jala beterbangan dari segala sisi!
Wander melemparkan tongkatnya yang rusak ke depan, lalu melabrak langsung prajurit-prajurit di depannya. Cepat sekali ia membungkuk dan mengambil sebuah tombak pasukan berkuda, sambil berteriak marah, "SUDAH KUBILANG JANGAN TEMBAK!"
Gerakannya begitu berbeda dari penampakannya yang tersengal-sengal dan kecapaian barusan. Ia laksana kelebatan cahaya.
Begitu cepat, kuat, dan tidak seorangpun bisa menghentikannya! Ketika ia terperangkap jala pun, mendadak tangannya sudah memegang sebuah pisau kecil tapi tajam yang memotong jala itu.
Begitu bebas, ia langsung mengirimkan teror kembali ke pasukan musuh dalam wujud angin topan berambut coklat.
Tak lama kemudian, semuanya kembali sunyi.
"Panah dia!" Lalu bumi kembali berdesir oleh suara ribuan anak panah yang mencurah bagaikan raungan naga.
Wander tersenyum melihatnya. Ia teringat kata-kata Shishou-nya yang gembira kala ia merampungkan Diwaya Ruwaligra ketiga ini.
[Kau akan memerlukan teknik ini... Pengejar Mimpi banyak yang menggunakan senjata rahasia, jarum, panah. Engkau memerlukan perlindungan yang istimewa...]
*
Sulran sedang menyaksikan pertempuran itu dari jauh. Ia heran sekali kenapa tentaranya masih berkutat di sekitar gerbang tanpa bisa memasukinya, sementara barisan tandu terus mengalir pulang balik ke markasnya!
"Apa yang menghalangi mereka? Lama sekali! Bukankah Pasukan Badai sudah masuk ke dalam?? Kenapa yang lain tidak menyusul?" Sulran mulai emosi. Ia sudah melihat pasukan berkuda elitnya memasuki gerbang, tapi masih saja prajuritnya hanya menyemut di depan Gerbang bagaikan ikan dalam jaring.
Ia tidak menyadari apa yang terjadi karena prajurit di depan Gerbang entah lupa atau terlalu takut melapor padanya. Ia hanya bisa melihat melalui teropongnya, sambil berteriak gusar. Sudah 2 jam pertempuran berlangsung, ketika ia melihat bahkan pasukan berkuda berikut tunggangan mereka diangkut keluar dari gerbang.
"Demi Neraka dan Bajingan… !" Berikutnya ia melihat pasukan pemahannya terus meluncurkan panah berulang kali, tapi prajuritnya tidak maju sedikitpun.
Mereka berkerumun seperti ibu-ibu tengah bergosip di pasar.
"Damar! Damar!" Ia berteriak murka.
"Perlawanan dan musuh seperti apa dalam Gerbang itu sampai kau perlu waktu 2 jam begini dan masih tak bisa tembus?!"
Damar tidak menjawab. Ia seakan tidak mendengarkan. Sulran kehilangan kesabarannya,
"Gerbangnya kan sudah jebol? Tunggu apa lagi?! Pasukan juga bukannya mengikuti Pasukan Badai… Lihat akibatnya mereka kalah! Apa mereka semua goblok? Pengecut! Gluka! Pergi dan selesaikan masalah ini! Damar, berapa korban di pihak kita?"
Gluka segera memacu kudanya ke depan tanpa menunggu lagi, "Pasukan Banteng, maju!"
10.000 pasukan berkuda berseragam biru dengan panji berlambang Banteng menyerbu ke arah Gerbang Barat!
Damar baru menjawab getir, "S-sembilan ratus tiga orang, Guru… Termasuk Pasukan Badai…"
"Berapa yang mati?" Sulran tidak bisa mempercayai pendengarannya. Ia tidak pernah membayangkan pasukannya yang ia latih demikian keras, selalu memenangkan pertempuran, bisa menemui kesulitan dan kerusakan begini rupa! Berapa puluh ribu orang musuh yang ada di dalam sana? Apa ia salah perhitungan?
"Tidak ada… Mereka semua terluka…"
Sulran merasa lega sekaligus tercekat. Tidak ada yang mati?
"Berapa orang musuh di dalam sana?"
"Baru satu orang…"
Sulran tercengang selama tiga menit penuh, sebuah rekor baru, sebelum ia menyemburkan sumpah serapah.
Tiga jam telah berlalu …
*
Divaya Ruwaligra atau Meditasi Tenaga Dewata ketiga: Rambut Emas Putri Angin menyelimuti dirinya dengan lembut. Hawa cahaya keemasan merambat menjadi untaian angin tak kasat mata, menyampok hujan anak panah yang mencurah ke dirinya.
Bagaikan pelindung gaib, sedangkan para prajurit di sekelilingnya merasakan sepoi angin lembut namun padat memancar dari tubuh Wander.
Setelah puluhan hujan anak panah mereda, Wander masih berdiri tanpa luka sedikit pun, tanpa bahkan menangkis.
Sementara anak panah bertebaran jatuh dengan lembut bagaikan daun gugur di sekitarnya, yang berada di luar jarak perlindungannya menancap di tanah.
Malas-malasan, Wander menyapukan bounya sambil berjalan maju. Seluruh anak panah, baik yang menancap atau jatuh, berdesir menjauh bagaikan daun kering menyambut sapu lidi raksasa.
Para pemanah berhenti. Medan perang kembali berhenti.
*
Musuh mereka kini terlihat bagai manusia
Berkeringat, berdarah, tersengal-sengal
Namun detik berikutnya,
Ribuan anak panah mencurah
Tapi hawa keemasan bangkit disertai angin kencang
Memapak segala ancaman ke arahnya
Ia tampak bagaikan penyapu halaman dan kebun
Tanpa terusik menyapu anak panah dan jejak angkara murka
Dari halaman Gerbang, dan hatinya...