Taran Reiro, Ibukota Telentium Utara.
Hari ke-16 setelah Kematian Raja.
Darah menetes membasahi lantai ketika cambuk itu kembali menghantam dadanya yang telah sobek. Tapi kemarahan sang Putri tidak juga mereda. Belum pernah ia melihat Putrinya itu seperti ini, dan reaksinya begitu menarik, pikir Sulfa. Akan tetapi bisakah ia bertahan hidup melewati kemurkaan ini?
"Mengapa?! Mengapa kau tidak menuruti perintahku?!" Ia membentak lagi.
Sulfa tidak menjawab. Ia sudah menceritakan semuanya beberapa cambukan yang lalu. Cerita yang memerlukan waktu untuk meresap ke dalam hati Junjungannya, meski ia tidak pernah mempertimbangkan bahwa deraan cambuk ke tubuhnya sama sekali tidak layak ia terima.
Bagaimanapun juga, kenyataan dingin berbicara bahwa ia adalah orang yang membunuh ayah Junjungannya. Sang Putri memiliki segala hak untuk bahkan membunuhnya!.
Putri itu mencambuknya lagi. Darah kembali bercipratan dari lukanya yang menganga. Percikan cairan kental, menimbulkan pengaruh begitu dalam di hati Junjungannya ketika nodanya membasahi gaun sang Putri. Cambukannya berhenti. Sulfa masih berlutut, tapi matanya memandang wajah Sang Putri.
Putri itu berdiri, gemetar dari ujung rambut sampai ujung kaki, berusaha meredam tetesan air mata dan kedukaannya yang begitu menggunung dan memuncak. Ia menatap noda darah itu dengan nanar, lalu cambuknya jatuh ke lantai. Kenyataan akhirnya merasuk ke dalam hatinya, dan ia menangis tanpa suara.
Ah, betapa ia seorang bangsawan di antara bangsawan, pikir Sulfa. Keturunan yang mulia. Tidak ada wanita lain seperti ia di seluruh dunia. Ia adalah api sekaligus es, sebuah benteng baja sekaligus taman surgawi nan cantik, satu dalam sejuta. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan air matanya menetes jatuh sementara ia menengadah. Tangannya membentuk tinju di sisi pinggangnya, seakan sedang menghimpun semua kekuatan untuk menahan rasa sakit yang menderanya sekarang melebihi cambukan apa pun, tanpa menodai kehormatannya dengan suara keluhan atau ratapan barang sedikitpun.
Saat itu, Sulfa ingin sekali memeluknya, tapi ia tidak melakukannya. Ia melihat junjungannya seperti melihat rembulan terindah. Ia tidak bisa menyentuh bulan, karena ia hanya bisa mengaguminya dari jauh, atau lewat bayangannya di atas permukaan air. Sulfa merasakan rasa nyeri di hatinya lebih menyakitkan dari lukanya yang terus melolong perih.
Sang Putri menangis lama sekali. Ia tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikitpun, dipenuhi ketegaran dan kekuatan yang memesona, sampai akhirnya kedua kepalannya perlahan membuka kembali. Postur tubuhnya perlahan menjadi tenang, dan ketika ia memandang Sulfa lagi, ia kembali menjadi seorang Putri Penguasa Wilayah Utara, bukan seorang anak perempuan yang baru kehilangan ayahandanya.
Sulfa berkata dengan hati-hati, "Tuan Putri…"
Kata-katanya itu tersapu oleh luapan amarah dan caci maki mendadak dari bibir indah itu, "Ia pasti sudah merencanakan ini semua! Demi Bara Neraka dan Buntut Setan, ia mencurangiku dan ia tidak pernah mengatakan satu kata pun!" Kata-katanya dingin bagaikan pisau es, dan ia mendadak berjalan bolak-balik, sambil mengeluarkan amarahnya dengan nada super dingin.
"Andai aku tahu sebelumnya! Seandainya aku sudah tahu semua ini dari awal…. Aku tahu tentang kondisinya! Aku telah menanyai Dokter Fali… Tapi tidak pernah aku pikir ia akan begitu goblok! Mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan Pangeran Ketiga?! Emang apanya yang bagus dari Pangeran Ketiga, hah?! Ia punya dua anak perempuan yang rela mengorbankan apa pun untuknya!"
Ia terengah-engah saat menyadari bahwa semua ucapannya tadi diuncarkan tanpa bernapas. Ia berhenti seketika. Ia menatap dada Sulfa yang bergelimang darah.
Ia mengelah napas penuh penyesalan, "Maafkan aku telah melukaimu, Sulfa… Kamu sudah berusaha tanpa kenal lelah membawakan berita ini secepatnya, dan aku malah mencambukimu. Tentu kau benci padaku sekarang, bukan?"
Sulfa tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasa begitu geli tapi juga senang. Sekarang ia merasa perjalanan jauh dan tanpa istirahat yang ditempuhnya terasa begitu bernilai, "Minta maaf begitu bukan seperti kamu, Putri. Aku tidak akan pernah membencimu. Aku hanya merasakan penyesalan."
Putri Sungai Tesla hanya terdiam mendengar nada penuh cinta dari tangan kanannya ini.
"Aku merasa menyesal aku harus melaksanakan pesan dari ayahmu. Ia sungguh orang Besar…"
"Ia cuma orang paling goblok di dunia! Apanya yang salah dengan memberikan Takhta pada Pangeran Pertama! Biarkan ia ambil kursi racun itu! Kita semua di keluarga ini dikutuk untuk hidup bersama ular dan binatang buas di kerangkeng istana ketimbang rakyat biasa! Dan kita berhak atas istana emas, baju-baju indah, tongkat bertatah berlian dan segala mahkota sebagai imbalan kita setiap hari diteror para penjilat, lintah pengisap darah, dan semua bangsawan dengan lidah beracun, bercabang dua sesuai dengan kepentingan dan ibu bapak mereka!" Ia berhenti lalu menukas,
"Lanjutkan omonganmu…"
Sulfa tertawa terbahak-bahak. Tidak ada Putri Kerajaan manapun di dunia yang akan mengucapkan kata-kata kotor tapi demikian telak mengena, dan ia tidak akan pernah mengucapkannya jika ia tidak percaya penuh padanya. Bahkan nyawanya sekalipun ia percayakan padanya. Sulfa merasa terperangkap dalam rasa geli dan juga sesal.
"Kesalahanku terkesima oleh wibawa Pangeran Kedua… Hingga aku sampai setuju memberikannya racun itu…"
"Bagaimana caramu bisa menyelinap melewati penjagaan? Bagaimana kamu bisa membunyikan Lonceng Duka?" Ia memotong kata-katanya. Matanya berkilau bagai permata di bawah sinar matahari.
"Aku bisa menyamar dengan sempurna. Pakaian, wajah, bahkan suara. Sisanya, aku mendaki tembok menara tanpa terlacak… Kalau kuceritakan semua tentu membosankanmu, Putri."
"Dan kamu tidak terlacak atau dikenali selama beraksi?"
"Tidak. Aku yakin tidak terlacak. Bahkan jika mereka mengecek jumlah pelayan Pangeran pun. Sejak awal aku 'tidak ada' dalam rombongan."
"Begitu… Jadi amankah jika kuasumsikan bahwa Pangeran Pertama belum tahu bahwa kau yang merusak rencananya?"
"Aku yakin. Aku sudah mengecek ulang dengan kaumku di Ibukota. Pangeran Pertama malah menyangka Kurt atau mata-mata Pangeran Ketiga yang melakukannya."
"Kamu sudah bekerja dengan baik sekali. Begitu baik. Ayahandaku yang bodoh pasti sudah memperhitungkan ini semua berulang kali… Jika begitu, pasti ayahanda memberikanmu surat Wasiatnya juga!"
Sulfa mengangguk dan memberikan sepucuk surat tersegel dari balik sakunya. Surat itu agak lecek, tapi Putri tampak tidak peduli. Ia melihat surat itu sebentar, sebelum mendadak ia membentak marah, "Beraninya kau sudah membaca isi surat ini!"
Sulfa tersenyum samar, "Tugasku di atas segalanya adalah keselamatanmu, Tuan Putri. Aku harus tahu isinya, lihat apakah akan membahayakanmu…"
Wajah Putri hitam oleh amarah, "Kamu pikir aku tidak bisa membedakan sendiri apa yang baik atau buruk untukku?"
Sulfa tidak mungkin membalas dengan alasan bahwa Sang Putri mungkin akan hanyut dalam emosi dan menuruti perintah bodoh apa pun yang ditulis seorang pria hampir mati. Dari pengalamannya, orang yang akan mati biasanya menuliskan surat wasiat yang berisi pesan konyol atau kadang-kadang malah berbahaya. Lebih buruk lagi, karena orang percaya bahwa kicau burung terakhir begitu indah, mereka biasanya menurutinya secara membuta.
Sulfa diam saja, menelan bentakan tadi bulat-bulat.
Sang Putri membuka dan membaca surat itu. Sambil membaca ia kembali berjalan bolak-balik. Beberapa saat kemudian ia bertanya, "Kalau kau sudah baca surat ini… Apa pendapatmu?"
Wajah Sulfa mengeras, "Kau harus melakukannya. Memang merupakan tugas yang maha berat… Tapi kau harus melakukannya."
"Jahanam keparat itu sudah lama menginginkan Eriel."
Sulfa menukas dengan entengnya, "Kau baru saja bilang bahwa menyerahkan kursi takhta pada jahanam keparat itu merupakan hal yang tidak ada celanya."
"Ah! Menyerahkan takhta padanya boleh-boleh saja! Tapi selama aku masih hidup, aku takkan membiarkannya menyentuh adikku!" Ia berseru sengit, tapi kemudian ia mendadak diam. Benaknya dipenuhi dengan pemikiran dalam.
"Demi seluruh rakyat Utara, Yang Mulia…"
"Sialan…! Sialan…! Dasar ayah bodoh! Sialan! Apa bagusnya Pangeran Ketiga itu hah! Sampai kau rela mati demi ia??!" Mendadak mata Putri dipenuhi air mata lagi, sungguh perempuan adalah mahluk yang tak terduga, sebentar tertawa sebentar menangis. Sebentar serius sebentar kemudian mengamuk, "Apanya yang bagus harus bersekutu dengan sukla, menyerahkan adikku sendiri ke dalam sarang beludak! Tahan dan sabar, tunggu kesempatan yang lebih baik…. Memangnya ada kesempatan demikian?!" Ia memaki ke langit-langit sambil membanting-banting kakinya.
Putri Tesla akhirnya menyadari bahwa ia sudah menghabiskan semua udara dalam paru-parunya. Ia tersengal-sengal lalu merutuk, "Aku tahu… Aku tahu sekarang… Aku akan rebut takhta itu dengan tanganku sendiri! Akan kubunuh mereka semua! Aku tidak sayang pada mereka seperti ayahanda! Mereka semua orang bodoh dan tolol! Aku akan membalas jahanam-jahanam itu dengan neraka!"
Sulfa bisa melihat bahwa Putri itu sekarang sudah mewujud menjadi kegelapan itu sendiri. Ia begitu kagum bagaimana seorang wanita bisa memiliki begitu banyak ekspresi hanya dalam waktu kurang dari tiga menit.
Tapi ia mendeteksi seseorang mendekati ruangan itu.
"Maaf, Tuan Putri. Adikmu mendekat… Dalam 2 menit ia sampai."
Putri itu mendadak terlihat begitu bingung. Ia segera menyeka wajahnya dengan panik, berusaha menenangkan dirinya. Tapi wajahnya begitu kusut, lalu muram saat ia memikirkan nasib adiknya yang begitu jelita dan lembut itu.
"Bersabar dan tunggu kesempatan…" Ia bergumam, "Baiklah Ayah. Aku akan patuh… Tapi suatu hari nanti… Aku bersumpah mereka akan membayar semua ini. Aku bersumpah. Kamu akan membantuku melewati neraka ini, Sulfa?"
"Demi nyawaku, aku telah bersumpah akan mengikutimu! Sungguh kebahagiaan besar bagiku bisa melayanimu."
"Bagus. Sekarang pergilah, dan rawat lukamu baik-baik."
Sulfa tersenyum dan Putri juga balas tersenyum manis.
"Bagaimana mungkin aku bisa terus tanpamu, Sulfa…" Putri itu berbisik dengan lembut, dan ia tersenyum buas, mengetahui bahwa pendengaran Sulfa yang istimewa pasti menangkap semua kata-katanya.
Wajah Sulfa memerah, "Putri…"
"Hmm..?"
"Jangan memikirkan hal-hal yang bodoh. Kami semua di sini mencintaimu dan akan selalu berjuang demi dirimu."
Giliran sang Putri yang memerah, "Terima kasih, Sulfa."
"Kalau begitu, permisi Tuan Putri."
"Tunggu! B-bagaimana… saat terakhir… ayahku yang bodoh itu…?"
Sulfa tersenyum, "Beliau pergi dengan damai. Wajahnya begitu tenang, dipenuhi kebesaran dan keagungan yang hanya dimiliki seorang Raja dunia." Kata-kata Sulfa begitu tulus dan jujur.
Sesaat mereka saling menatap satu sama lain, dan kemudian mereka hanyut dalam badai jutaan perasaan. Sebelum mendadak suara langkah-langkah kaki kecil terdengar.
Ketika pintu mendadak menjeblak terbuka, Putri berbalik menghadapnya. Ia telah melihat adiknya, Putri Kedua menyerbu masuk dan memeluknya erat-erat, menangis habis-habisan.
"A-ayahanda… Ayah… Ayah sudah…" Hanya itu yang bisa ia katakan.
Putri Tesla memeluk dan mengelus rambut adiknya dengan penuh sayang. Ia melirik ke belakang, tapi Sulfa sudah tidak ada di sana. Tidak ada juga bekas darah setitikpun. Bahkan juga cambuknya. Ia ingin tertawa, menjerit, menangis, serta membunuh semua orang selain adiknya saat itu!
Tapi ia tidak bisa melakukannya. Sulfa benar. Ia selalu benar, betapapun menyakitkannya. Ia punya kewajiban sekarang, seorang adik yang harus ia lindungi.
Apa pun bayarannya.
*
Pada hari ke-26 setelah Raja Tua mangkat, Putri Sungai Tesla, Jilline Minu Urand bersumpah setia pada Pangeran Pertama. Dikawal 10.000 tentaranya, ia juga menyerahkan adiknya: Putri Sungai Cass, Erriel Minu Urand ke Ibukota sebagai sandera Pangeran Pertama. Demikianlah aliansi antara Utara dan Barat terjadi.
Ketika ia melihat ke mayat ayahandanya yang membiru dan hitam karena racun, tidak ada ekspresi apa pun yang bisa dibaca dari wajah Putri itu.
Sabar dan tahankan…
Tunggu kesempatan yang lebih baik…
Semuanya sekarang tergantung padamu.
"Ayahanda… Kau bodoh sekali.
Orang bodoh…
Tapi tidak ada yang lebih mencintaimu
karena kebodohanmu itu selain aku, Ayahanda,"
Ia berbisik dengan lembut ke telinga ayahnya,
sebelum ia menutup peti mati itu.