Wander mengunyah roti, keju, serta daging kering yang dilemparkan sambil mengamati proses evakuasi prajurit musuh yang tak sadarkan diri. Ujung-ujung bajunya sampai meneteskan keringat segar laksana embun yang tiada putusnya.
"Wander! Sudah cukup! Istirahatlah dulu, biarkan kami yang menangani mereka!" teriak Durk.
Tapi anak muda itu hanya membalasnya dengan senyum getir. Matahari pagi untungnya terasa tidak terlalu menyengat. Wander menenggak habis isi kantung air ke-10nya.
"Kau punya garam, Durk?" Wander bertanya sambil menghindari beberapa batang panah nyasar. Ia tidak keburu mendapat jawabannya, karena ia melihat keributan di antara kumpulan musuhnya. Berikutnya, ia melihat seorang Jendral berbadan kekar nan tinggi, mengenakan baju besi berwarna biru dan menunggangi kuda hitam raksasa, diikuti pasukan berkuda besar-besar dengan melambaikan panji-panji bergambar Banteng.
"Banteng! Hidup Banteng! Hidup Jendral Gluka!"
"Jendral yang penakluk 1000 orang!" Durk mendesis.
Selama masa pensiun Gurunya, Gluka dan murid Sulran lainnya banyak terlibat pertempuran. Tapi ketenaran Gluka dalam hal keberanian dan kesaktian tak tertandingi. Ia pernah bertarung sendirian dan mengalahkan 1,000 orang musuhnya di medan laga! Sang Penakluk Selaksa, demikian julukannya menggentarkan hati setiap lawannya di medan perang!
Gluka berbisik ke salah satu prajuritnya, mengacuhkan sorak sorai pasukan lainnya yang menyambutnya bagai kedatangan juru selamat. Pria tinggi dengan wajah kotak dan hidung besar itu menggebah kudanya ke depan. Ia melihat hampir tak percaya pada Wander, yang membuang kantung air kosongnya ke samping, lalu bersandar ke tombak buntungnya.
Lima kesatria berseragam biru mendadak menerjang ke depan, masing-masing dengan pedang dan perisai di tangan. Wander mengambil satu napas keluar dan masuk, lalu membungkuk dalam kuda-kuda sampai para kesatria itu hanya tinggal dua meter darinya…
Gluka begitu terkejut melihat hawa tenaga yang menyelimuti pemuda berambut coklat itu ketika ia melompat ke depan cepat sekali, menyambar kaki-kaki kuda, menghajar mereka dengan serangkaian pukulan dan sebelum ia bisa mengeluarkan satu kata, seorang penunggang telah terjatuh dari kudanya, dua kemudian menyusul, lalu dua lainnya melompat turun saat kuda mereka juga roboh mencium tanah! Wander sudah berkelebat ke samping dua kesatria yang tersisa!
Satu orang tumbang dimakan sapuan tongkat Wander di perutnya, sedangkan usaha yang terakhir patut dipuji. Ia berhasil mendekati Wander di jarak tebasan pedang. Ia menebas, dan Wander menunduk menghindar lalu menghajarnya dengan pukulan siku. Prajurit ini cukup cepat menangkis dengan perisainya, tapi perisainya mendadak bengkok dimakan siku Wander, lalu prajurit itu terpental ke belakang oleh daya pukulan yang begitu mantap sampai jatuh bergedebukan di tanah!
Suara erangan dan bleberan kuda dan manusia satu-satunya yang terdengar sesaat. Gluka tidak bisa menahan dirinya bertanya, "Siapa namamu, Pengejar Mimpi?"
"Aku bukan Pengejar Mimpi, Jendral. Aku hanya penduduk Fru Gar biasa. Namaku Wander dan ayahku memberikanku nama kedua dan nama keluargaku: Atale Oward. Siapa namamu?"
Gluka menjawab gagah, "Ibuku memberiku nama Gluka Nael, dan ayahku berasal dari keturunan Weber."
Mereka saling bertatapan.
"Aku akan memberikan pesan untuk Junjunganmu, Jendral Gluka. Tinggalkan kota ini dan pulanglah! Kita sama-sama penduduk Telentium, kenapa kita harus saling bantai dan memerangkap diri kita dalam kegilaan ini? Mari hentikan pertempuran ini dan bicarakan perdamaian."
"Siapa kamu sampai beraninya memerintahkanku? Aku adalah pengikut setia Raja Telentium. Hanya kepadanya aku tunduk!"
"Raja Telentium baru mangkat dan aku selalu tahu bahwa ia adalah orang yang cinta damai. Mengenai raja yang lain, aku belum mendengar ada upacara pelantikan resmi."
Wajah Gluka mengguratkan kesetiaan, "Tidak ada keraguan dalam hatiku siapa sekarang yang menguasai negeri ini. Kau hanya rakyat yang mendukung Pangeran Pemberontak. Menyerahlah"
"Aku hanya akan menyerah sesudah aku dikalahkan. Katakan itu kepada Jendralmu!"
"Baik! Aku akan memberitahu Guruku, setelah kau kukalahkan sendiri."
Ada suara kaget dan kebingungan di antara barisan tentara saat mendengar kalimat terakhir Gluka.
Jendral itu sendiri turun dari kudanya. Wander terkesima melihat keseriusan Jendral itu, "Mengapa turun dari kuda, Jendral?"
"Karena aku mau duel yang adil."
"Kau pikir satu lawan 1.000 bisa dianggap adil?"
Gluka menjawab tegas, "Aku pernah mengalami ketidakadilan begitu dan menang! Tapi kita di sini. Satu lawan satu! Senjata atau tangan kosong?"
Wander diam-diam mengagumi kejantanan musuhnya. Apakah ada Jendral lain yang berani mengusulkan bagaimana cara duel seperti ia?
Ia membuang tombaknya ke samping, "Tangan kosong. Tapi sebelum kita mulai, aku ingin kau pindahkan dulu semua anak buahmu." Ia melirik ke anak buah Gluka yang masih bergelimpangan.
Gluka mengangkat tangannya. Memerintahkan tentaranya menyelamatkan yang cedera serta melebarkan arena pertarungan, "Aku berterima kasih, Wander."
*
Banteng di antara kesatria
Jujur dan pemberani tiada tara
Putra sulung dari keluarga tentara
Gluka Nael, namanya dipuja-puja
Setelah menumbangkan seribu bintara
Dalam medan laga nan membara
*