Keheningan merebak
Meski sesungguhnya dentuman memekakkan telinga
Tapi di hati semua orang yang resah,
Ganjilnya hadir keheningan membahana ini
Pijaran dan percikan di udara,
Seolah sesuatu hendak bangkit sebentar lagi
Naga di antara manusia.
Hari sunyi, 20 Februari.
Subuh tiba bagaikan dentuman petir baginya. Wander sontak terbangun, agak panik saat menyadari ia bangun kesiangan. Ia segera memakai baju pelindungnya, membawa tongkatnya dan menuju Gerbang Barat. Tapi seperti perkiraan Kucing Tua, ternyata tidak terjadi apa-apa. Ia naik ke atas tembok, di mana Durk sedang berjaga.
Durk terkejut melihat Wander masih ada di kota. Tapi Wander tidak menghiraukan kekhawatirannya, ia beralasan bahwa ia memiliki kuda di rumahnya dan bisa menyusul pengungsi kapan saja ia mau.
Mengetahui kemampuan Wander, Durk hanya bisa mengangguk. Lagipula pikirannya terlalu sibuk untuk bisa mendeteksi kebohongan Wander.
Mereka melihat pasukan dan barisan tenda musuh yang memenuhi cakrawala bagaikan gugusan titik merah dan hijau.
"Begitu sunyi. Kita tadinya sudah siap bertempur pagi ini, tapi mereka tidak bergerak sampai sekarang. Mungkin mereka tidak tahu kota ini sudah kosong." Durk melirik panji-panji kota yang masih berkibar, serta berbagai titik asap yang sengaja dinyalakan dari seluruh penjuru kota untuk memberi kesan kota itu masih berpenghuni.
"Mereka lebih banyak dari yang diisukan…"
"Yah… Pasukan belakang mereka tampaknya sudah berhasil mengejar depannya. Mungkin ada lebih dari 100.000 kepala di luar sana. Oh ya, soal Nenda, Inspektur itu. Kau benar. Bajingan itu benar mata-mata. Kita beruntung bisa menangkapnya sebelum ia melakukan kerusakan lebih parah."
Wander meneliti keadaan di sekitar Gerbang Barat dan sekitarnya. Pasukan Durk telah merubuhkan beberapa rumah di sekitarnya, serta menumpuk puing-puing menjadi semacam bukit-bukit kecil yang tidak rata untuk menahan laju kuda musuh, kedua sisi gerbang dipasangi barikade dan penghalang berduri, penahan panah, juga parit-parit. Di ujungnya terdapat pos perbekalan yang terlindung.
Wander mengelilingi gerbang selama beberapa lama, membantu para prajurit membangun pertahanan garis terakhir, sebelum ia beristirahat bersama mereka selepas tengah hari di pos jaga itu. Itu adalah hari paling sunyi dalam hidupnya. Semua orang tegang dan tidak banyak bicara. Hanya bekerja terus, seakan mereka hanya bisa melakukan hal itu sejak lahir.
"Anak-anak sudah siap. Kita sudah mengucapkan semua perpisahan…" Durk berkomentar mengenai anak buahnya, sambil menghirup teh murni yang dibagikan Wander, "Wow… ini benar-benar enak. Mungkin minuman paling enak yang bakal kuminum seumur hidupku."
Kapten itu kemudian menambahkan dengan tawa kecil, "Bahkan aku tak pernah menyangka masih hidup sampai sekarang. Ini betul-betul jam-jam pinjaman terakhir dari Divara."
Wander bersumpah dalam hatinya untuk memperpanjang jam-jam itu… menjadi minggu, bulan, bahkan bertahun-tahun…
Wander mengelilingi kota seusai makan dan melihat lebih sedikit lagi prajurit menjaga di tembok-tembok lainnya. Utusan masih bolak-balik dari Gerbang Timur, tapi selain berita biasa tidak ada yang penting.
Wander kembali ke rumah gurunya ketika yakin bahwa musuh tidak akan menyerang hari itu. Ia menghabiskan sisa hari itu merawat bunga-bunga, mengucapkan selamat tinggal pada tanaman dan hutan kecil milik gurunya.
Ia masih terus menunggu Gurunya pulang… tanpa hasil. Ia lalu tidur lelap sampai menjelang subuh. Ketika ia terbangun, perasaan hangat dan terang yang menyelubunginya dan mendampinginya itu masih ada di sana. Begitu jernih dan tulus, ia tersenyum, mengucapkan selamat pagi pada kakaknya dan berdoa untuknya. Dari kejauhan ia bisa mendengar suara mesin pendobrak pasukan musuh beraksi.
Betapa anehnya. Ia begitu tenang. Ia merasa bagaikan saat ia tenggelam dalam pemandangan nan menakjubkan yang ia lihat dahulu… Ia bisa mendengar napasnya sendiri begitu jelas.
Durk telah memberitahunya bahwa musuh membawa mesin pelontar batu. Mesin-mesin itu cukup efektif menghancurkan gerbang, meski tidak bisa dipakai untuk tembok tinggi. Jam pertempuran semakin mendekat seiring dengan makin tergerusnya pintu gerbang oleh hantaman batu demi batu.
*
Hari pertempuran, 21 Februari.
Malam sebelum subuh itu betul-betul gelap. Kegelapan sempurna sebelum munculnya sinar. Wander mengencangkan pelat besi tambahan di depan dadanya, sebelum menutupinya dengan baju pelindung dari kulit, kemudian melapisnya lagi dengan jubah tebal berwarna kelabu. Sepasang sarung tangan untuk melatih burung rajawali menutupi kedua tangannya sampai sebatas siku. Aksesori itu merupakan hadiah ulang tahunnya yang ke-14. Bukannya ia suka melakukan perburuan khas elit bangsawan itu, tapi ia suka sekali dengan sarung tangan itu. Betapa tidak terduganya bahwa hiasan itu akan sangat berguna dalam masa sekarang. Setelah itu ia meraih senjata favoritnya. Tongkat kayu yang sangat panjang yang disebut bou, satu-satunya senjata yang ia minta diajarkan oleh Shishou-nya….
Ia tersenyum sendiri ketika menyadari betapa sederhana rencananya. Ia tidak punya siapapun lagi yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. Ia kemudian bersemedi selama setengah jam, sebelum ia berangkat.
Ia akan melindungi semua orang… dari kegilaan ini…
Kota tampak gelap bagaikan sarang hantu. Ia segera mempercepat larinya menuju Gerbang Barat, dan tepat saat itu sebuah serangan mangonel bersarang di gerbang laksana bunyi petir membahana! Semakin ia mendekat semakin kencang suara gempuran musuh itu, bagaikan suara genderang malaikat maut. Ia terus maju.
Akhirnya ia melihat pos jaga itu. Teman-temannya, semua prajurit Fru Gar yang tersisa, sedang berkumpul di belakang benteng pertahanan terakhir itu: hanya sekitar lima puluh yard dari Gerbang. Hampir semuanya bersenjatakan panah, sementara tombak mereka tergolek di dekat kaki mereka, siap digunakan. Api unggun kecil-kecil dinyalakan di jarak-jarak tertentu sebagai penerangan. Perbaikan Gerbang sudah lama ditinggalkan, juga usaha untuk memperkuatnya lagi karena bahaya runtuhan dari kayu dan puing pengganjal yang menjejali gerbang itu akibat serangan gencar musuh. Wander sekali lagi diingatkan betapa mahalnya harga sebuah pengkhianatan.
Mereka semua bengong saat melihatnya. Bahkan sebagian mengarahkan busur mereka ke arahnya, tidak mengenalinya. Wander melambai, "Durk, ini aku. Wuan."
Durk tampak seakan ia sedang melihat seekor binatang paling aneh yang pernah dilihatnya, tapi ia sesaat kemudian ia tersenyum, "Kau akan ikut bertarung?"
Ia tertawa melihat penampilan sahabatnya itu. Wander terlihat seperti seorang tukang cerita keliling. Seluruh tubuhnya ditutupi jubah yang tebal berwarna kelabu dengan kerah tinggi menutupi bibir bawahnya. Sorot matanya yang coklat kehijauan menampilkan tekad membara. Wajahnya yang cokelat muda dengan rambut kemerahan tampak mencolok, apalagi karena ia tidak mengenakan pelindung kepala. Senjatanya itu begitu tidak cocok dengan penampilannya, sebuah tongkat kayu yang luar biasa panjang. Sekitar delapan meter, yang tampak membuat Wander bagaikan kurcaci, tapi tongkat itu terlihat seringan bulu di tangannya.
"Ya. Aku akan menahan mereka."
KRAKKKK! BLAAARRR!
Suara derak gerbang yang sekarat itu membuat hati mereka semua terasa mengerut. Kapten itu sejenak terpana, sebelum ia membentak marah, "Jangan bodoh, Wander! Musuh akan segera datang! Pergilah dari sini!"
Tapi Wander telah berjalan melewatinya dengan sengaja. Gerakannya begitu santai tapi cepat sekali! Ketika Durk berputar hendak membegatnya, mendadak kapten itu terpental ke belakang! Seakan ia didorong sesuatu yang tak terlihat!
Para prajurit yang gugup dan tegang cepat bereaksi! Anak panah berdesingan seperti lebah marah ke arah Wander! Durk hanya bisa menjerit, "J-jangaaan! Jangan tembak!"
Tongkat Wander berkerlipan, menari di bawah siraman cahaya api dan obor!
"…Ia teman…!" Kata-kata Durk melemah dan berhenti seketika ketika ia melihat anak-anak panah runtuh di sekitar Wander bagaikan daun kering berguguran. Lebih aneh lagi tidak ada satupun anak panah yang patah atau menancap ke tanah. Semuanya bagai tersapu angin dan terjatuh lembut di sekitar Wander.
"Durk, izinkan aku menahan mereka. Sendirian."
Dua pengetahuan mendarat seketika tindih menindih di kepala Durk dan para prajurit yang mengenalnya! Anak yang selalu berlari keliling kota dan gerbang setiap pagi…. Pemuda yang menangkap mata-mata dan para perusuh semalam! Ia mengira ia tahu mengenai kekuatan Wander, tapi ia sekali lagi merasa tidak tahu apa-apa… Betapa banyak yang disembunyikan temannya itu!
Tapi sudah sintingkah ia sampai ingin melawan musuh sendirian?
"Sekuat apa pun kau… Tidak mungkin kau bisa menahan 100.000 tentara sendirian!"
Wander melihat ke sekeliling. Menatap wajah-wajah yang sudah siap mati dan putus-asa itu tapi begitu bertekad memberikan perlawanan terakhir demi keluarga mereka, demi mengingatkan musuh juga bahwa mereka adalah pertahanan terakhir kota ini.
"Aku bisa menahan mereka! Aku akan menahan mereka selama mungkin, sampai para pengungsi tidak bisa dikejar oleh Sulran! Sekarang, kalian biarkan aku lewat atau tidak?"
Durk ingin menahan Wander, tapi ia membeku saat berkontak mata dengan Wander. Ia tidak pernah melihat tatapan yang lebih mengerikan. Ia merasa bagaikan tikus di hadapan ular, bukan. Tikus di hadapan naga!
Tatapan mata coklat itu bagaikan sepasang pedang api, yang menyayatnya hidup-hidup! Berkeringat dingin dan bergumam tidak jelas, Durk mundur ke sisi.
Ia perlu waktu beberapa lama, sampai ia bisa berkata, "K-kami… kalau begitu, akan mendukungmu dari belakang."
Wander mengangguk puas. Ia akhirnya tersenyum, melegakan hati semua prajurit di sana, "Terima kasih banyak."