Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 52 - Membuka Surat Merah

Chapter 52 - Membuka Surat Merah

Tidaklah mungkin seseorang bisa mengubah dunia!

Tidaklah demikian, tengoklah mereka yang bertangan besi

Tengoklah pada hati yang galau, yang mengambil keputusan nekat

Tengoklah pada galur rapi gandum yang masak

Seseorang pasti mengubah dunia

Masalahnya, bisakah mereka mengubah diri menjadi lebih baik?

"Tapi aku tidak bisa yakin bahwa Sulran akan mengikuti rencana ini."

Kucing Tua mendadak tersenyum, "Tentu saja ia bisa beubah pikiwan mendadak. Kadang-kadang ia begitu, tapi 'ku yakin sekali kali ini tidak. Sulwan seorang Jendwal yang sempuwna, ia tak akan korbankan pwajuwitnya sekepala pun, demi kemenangan sempuwna. Ia pewlakukan tentawanya begitu efisien. Jawak dari Tensh'a Ibril ke sini sekitar 350 mil, dan hanya dalam lima hawi ia taklukkan dua kota, lalu pacu pasukannya ke sini secepat mungkin. Kunci kemenangannya adawah kecepatan ini, tapi pasukan bewkuda paling kuat sekalipun akan mampus kalau dipaksakan. Jadi ia sekawang cuma puwa-puwa saja di depan kalian, padahal ia lagi istiwahat. Ia tunggu pasukannya pulih. Ia takkan bewgewak, nak."

Wander melihat peta sederhana itu dan senyum perlahan mengembang di wajahnya.

Sulran pasti akan menyerang dari Gerbang Barat, satu-satunya titik lemah kota ini.

[Ia akan menyerang hanya dari satu arah…

Kalau perhitungannya benar, ia bisa melakukannya… ]

"Kenapa kau memberi tahu strategi ini?" Ia bertanya.

Wajah Kucing Tua sejenak seperti enggan, tapi ia perlahan berkata demikian jelas, membuat Wander kaget.

Ternyata Pencuri itu bisa berbicara dengan jelas, "Aku bermain catur dengan Sulran dari waktu ke waktu, dan aku masih kalah terus setiap kali, tahu… Jadi aku sangat doyan jika melihatnya kalah sekali-kali, tapi aku akan lebih sedih lagi jika melihat temanku mati. Aku memang makan gaji musuhmu, aku takkan membiarkan temanku mati di sini," Ia menatap Wander dengan tulus. Matanya penuh kehangatan.

Wander mendadak merasa terharu. Ia tersenyum pada pencuri jenaka tapi diam-diam sangat cerdas itu.

Ia mengulurkan tangannya, dan pencuri itu menjabatnya dengan erat, "Jangan mati, Nak. Kamu belum tahu betapa berharganya kamu, tapi kadang-kadang anak muda darah panas seperti kau biasanya hargai nyawa begitu murah… Tapi biar gua beritahu ini: Kamu punya otak, hati, dan kekuatan. Itu tiga hal yang langka sekali. Jadi bertempurlah, cah. Tapi jangan mati… Kakakmu menyaksikanmu… terus mengawasimu."

Wander melihat wajah pencuri itu berkaca-kaca, dan anehnya ia melihat sosok Kakaknya berdiri tepat di sampingnya. Pencuri itu tersenyum menyemangati sebelum ia akhirnya beranjak pergi. Wander melihat punggung seorang sahabatnya berlalu dari pandangannya. Ia membungkuk penuh terima kasih.

Ia meneriakkan peringatan terakhirnya, "Tinggalkan kota! Jangan menyusup ke rumah Guruku lagi! A-aku pasti akan tahu… kalau kau berani mencobanya!"

Pencuri itu begitu kaget, sampai memaki-maki kagum, "Dasar setan kaw…!"

Wander tapi telah hilang juga dari pandangan pencuri itu.

Wander berlari ke arah Gerbang Barat. Kepalanya begitu ringan, bersinar dengan pengetahuan, ketenangan yang begitu mengerikan dan inspirasi. Kakaknya ada bersamanya! Ia memandunya! Ia terus berada di sisinya, bahkan saat ini pula! Wander merasa tidak ada yang bisa mengguncangnya sekarang.

Ketika ia tiba di Gerbang Barat, para prajurit sedang sibuk memadamkan api di dalam tembok, di gerbang, sambil berusaha menutupi gerbang dengan apa pun yang mereka bisa temukan. Mulai dari puing-puing, batu, dan kayu gelondongan. Wander melihat bekas darah, kepingan-kepingan senjata, batu dan puing berserakan. Pertempuran yang terjadi di sana pasti sangat menyakitkan.

Wander segera menemukan Durk di antara para prajurit lainnya yang sedang sibuk bekerja. Ada banyak korban-korban luka di sana sini, dan juga mayat-mayat yang ditutupi kain putih. Kepala Durk dibebat, meski ia tampak baik-baik saja.

"Dari mana saja kau?" Semua temannya menanyakannya, dan ia mengakui bahwa ia sudah terpancing tipuan musuh dan salah informasi.

"Sialan ! Kalau saja ruang kendali dan tuas gerbang tidak dibakar. Aku tak menyangka mereka tega mengkhianati kita!" Durk mengutuk dengan penuh kemarahan.

Seperti dugaan Kucing Tua, cerita dari kejadian yang sebenarnya begitu serupa. Di tengah malam, beberapa penjaga mendadak diserbu oleh serombongan prajurit yang tadi pagi baru diizinkan masuk ke dalam kota. Mereka lalu menyelinap masuk ke ruang control Gerbang dan menghancurkan rantai dan mesin yang mengontrol Gerbang itu.

Gerbang kota Fru Gar terdiri dari bagian kayunya dan sebuah lempeng perisai yang bisa dinaikkan atau diturunkan. Akibat sabotase itu, lempeng perisai terlepas dari rantainya dan rontok ke tanah dengan suara yang menggetarkan! Beruntung gerbang kayunya masih utuh meski perisainya yang tak bisa ditembus sudah lenyap. Dengan kekuatan dan mesin tempur, gerbang yang tipis itu tidak akan bertahan barang seharipun.

Lima puluh orang prajurit tewas dan 60 lainnya terluka dalam pertempuran saudara itu. Semua pengkhianat telah tewas. Malam yang begitu mengenaskan. Sisa pasukan desertir lainnya diamankan dan diinterogasi. Wander membayangkan nasib Ogil yang malang. Ia agak lega Ogil bukan salah satu dari pengkhianat.

Durk menepuk bahu Wander dengan lesu, "Nasi toh sudah jadi bubur. Kau sudah bekerja baik sekali, Wander. Pulanglah dan katakan pada keluargamu untuk siap-siap mengungsi. Semua yang lainnya sudah mulai siap-siap pergi. Jangan sampai tertinggal."

"Bagaimana denganmu?"

"Sekitar 1,000 orang dari kami akan tinggal dan mempertahanan Gerbang. Yang lainnya akan mengawal para pengungsi. Tergantung dari gerakan musuh sisanya…" Durk berkata dengan nada putus asa, "Kita beruntung gerbangnya roboh ke dalam, kalau tidak, musuh mungkin tahu bahwa kita sekarang kebobolan."

Wander tidak tega memberitahunya bahwa musuh sudah mengetahui segalanya. Para prajurit mungkin sebenarnya juga sudah tahu, tapi mereka masih terus berpegang pada harapan bahwa mungkin musuh tidak tahu. Melekat pada harapan bisa bertahan hidup, yang kadang justru adalah di mana perangkapnya terletak. Ia hanya mengatakan pada mereka bahwa Inspektur Polisi mungkin seorang mata-mata dan perlu diinterogasi.

Durk percaya padanya dan membeberkan bahwa segalanya akan diurus. Saat ini kerahasiaan dan gerak cepat merupakan satu-satunya sekutu mereka.

Setelah pamit, Wander bergegas menuju rumah Gurunya.

Kota itu seluruhnya sudah terbangun. Dengan koordinasi cepat dan tanpa kesulitan berarti (berkat jumlah mata-mata dan perusuh yang berhasil dilumpuhkan) Gubernur Fru Gar berhasil membuat rencana pengungsian dan memberangkatkan mereka dengan teratur melalui Gerbang Timur.

Para pengungsi disarankan hanya membawa barang-barang seadanya, dan mereka semua menurutinya meski dengan keengganan dan kekhawatiran. Sebagian besar dari mereka menangis, terutama menyadari bahwa hidup mereka baru saja terbalik begitu cepat. Harapan akan hidup yang tadinya demikian besar menyurut.

Ketika Wander mencapai rumah gurunya, ia segera memasuki kamarnya dan membuka amplop merah gurunya. Sebuah anak kunci juga ikut keluar bersama surat itu.

Inilah isi surat itu:

Ketika situasi terburuk yang terjadi, berarti Perang Saudara sudah terjadi dan kota dalam keadaan bahaya. Beritahu para pelayan untuk meninggalkan kota, pergi mengungsi ke tempat yang aman. Berikanlah mereka harta yang disimpan di peti biru di gudang bawah tanah dan rasa terima kasihku untuk semua pengabdian mereka terhadap rumah ini. Ambil apa pun yang kau perlukan dan pergilah juga, muridku.

Bawalah janji kita besertamu.

Kurt

Gurunya tahu semua ini akan terjadi! Hal itu menjelaskan senyum khawatir Gurunya di malam kepergiannya! Wander merenungkan dengan pahit selama beberapa saat.

Wander dengan cepat memanggil Suzanne, kepala pelayan rumah itu dan menunjukkannya surat itu.

Suzanne menangis segera selesai membacanya, tapi ia segera menenangkan dirinya. Wander memintanya mengumpulkan para pelayan lainnya, sementara ia turun ke ruang bawah tanah.

Peti biru besar dan berdebu itu setengah tersembunyi dan dikelilingi sarang laba-laba. Wander akhirnya berhasil mengeluarkan peti itu dan membukanya di bawah cahaya lampu minyak. Isinya penuh dengan emas dan intan permata. Banyak sekali.

Ia menutupnya lagi setelah tertegun beberapa lama. Berkat persiapan sebelumnya yang wajib dilakukan, para pelayan sudah siap mengungsi dengan dua buah kereta kuda.

Ia menyuruh mereka mengambil peti biru itu dan mereka mengungsi langsung ke Dri Cass, jangan berhenti hanya di Krog Naum. Mereka juga harus membawa serta kain Luan, Alkala Cassan. Para pelayan memintanya mengunjungi mereka di Ibukota segera. Ia tidak menjawab, dan mereka tidak mendesak lebih lanjut, karena tahu bahwa keluarganya akan mengungsi ke Krog Naum.

Perpisahan itu begitu sedih, karena bagi Wander mereka sudah seperti keluarganya sendiri. Wander berusaha menahan emosinya karena ia tahu saat-saat sulit baru akan tiba. Wander melihat mereka tidak membawa apa pun yang berharga selain peti biru itu. Ia penasaran sekali, "Rumah ini bukan milik Master atau kami. Kami hanya penunggu dan pengurusnya. Akan berdosa sekali jika kami mengambil barang dari pemiliknya," Suzanne berkata, ketika Wander memintanya mengambil yang lain juga.

"Siapa kalau begitu pemilik rumah ini?"

"Mendiang Paduka Raja sendiri," Suzanne tersenyum, "Aku minta maaf selama ini menutupi rahasia ini darimu, Wuan. Tapi Master menyuruh kami menyimpan rahasia ini sampai kau cukup dewasa."

"Aku belum dewasa," Wander memprotes.

Tapi pelayan kepala yang tua itu berkata dengan tegas, "Kau sudah dewasa. Kami semua memandangmu seperti kami memandang Master Kurt. Kalau tidak, bagaimana kami mau meninggalkan tempat yang telah kami layani bertahun-tahun? Percayalah pada dirimu sendiri, demi kami semua, Tuan Muda."

Wander hanya bisa menunduk pada pelayan kepala itu setelah mendengarkan kata-kata itu.