Tiada yang mengetahui bagian lain dirinya
Lebih baik dari ibunya
Tetapi lebih unggul dari itu,
Meski baru kehilangan,
Ibunya rela membiarkan dirinya terbang
Mengarungi nasibnya sendiri
Membuat kesalahannya sendiri
Memaafkan kesalahannya sendiri
Dan bangkit dari sana
Wander kembali ke rumahnya. Langkah-langkah di atas jalan yang sudah demikian dikenalnya, yang sudah dilaluinya ribuan kali terasa begitu berat, dipenuhi memori. Kota di mana ia tumbuh, di mana ia mempelajari segala hal akan segera dikuasai orang lain. Ia merasa dadanya bagaikan ditusuk-tusuk berulang kali.
[Kakaknya yang paling ia sayangi telah meninggal.
Semua ini berawal sejak meninggalnya Paduka Raja…
Tidak, semua ini terjadi sejak Guru pergi…
Jadi rumah besar ini punya Raja… Jadi Guru mengenal Raja dengan baik… Pangeran mencari Kotak itu… Ia memerintahkan untuk menghancurkan Fru Gar… Kotak yang memiliki segel Selir Pertama… Misteri Master dan Shishou dengan diriku juga ada di sana…]
Wander tidak bisa merangkai petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan menjadi suatu pemecahan. Ia memiliki otak yang pintar tapi juga naif. Ia bisa saja membuka Kotak itu sekarang, tapi ia entah kenapa merasa saatnya belum tiba. Dan sebelum saatnya tiba, ia tidak akan membukanya.
Ia melihat sebuah kereta telah disiapkan di depan rumahnya. Ayahnya dan Fyure sedang mengangkati barang ke dalam kereta, sementara kakak perempuannya masih berusaha menenangkan si kembar seperti biasa. Di mana ibunya? Mendadak ia dicengkam rasa khawatir.
"Ibumu ada di ruang tenunnya. Cepat berkemas juga. Kita akan berangkat secepatnya."
Wander segera masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamar kerja ibunya.
Beliau sedang berdiri di dekat tiang-tiang penjepit tenunannya. Dengan lembut ia membelai tiang-tiang kayu itu dan bernyanyi kepadanya. Air mata jatuh melintasi kedua belah pipinya. Saat ia menyanyikan lagu dukacita itu…
Selamat tinggal… oh selamat tinggal…
Bunga peoni nan manis… punggung hangat dan surai poni…
Kembang lilac dan rumput sulai
Biji bunga rumput yang mengangkasa
Betapa segarnya, betapa wanginya padang rumput
Selamat tinggal… anakku…
Selamat jalan di padang tanpa batas… padang abadi…
Chiru'un perlahan berlutut di hadapan tiang itu dan mendadak Wander bisa melihat sesuatu yang demikian menakjubkan dan indah! Dari segala penjuru kamar kerja itu, cahaya tujuh warna bermunculan dari mana-mana, lalu perlahan menyatu, berpilin degan indah, dan menyelubungi ibunya bagaikan kepompong.
Sejenak segalanya serba putih, sampai sekedip kemudian semua kembali normal.
Begitu wajar dan alamiah. Tidak menyilaukan, tiada membuat jerih atau takut.
Wander bisa bersumpah bahwa ia baru saja bermimpi, tapi rasanya begitu nyata! Ibu Wander berpaling dan tersenyum lembut saat melihatnya. Ia tampak jauh lebih sehat, dan memancarkan kekuatan yang begitu dalam dan tak bisa diungkapkan. Wander merasa lega dan kagum. Tapi ekspresi penasarannya tidak luput dari pengamatan ibunya.
"Wuan… Kau bisa melihat cahaya itu?" Ia bertanya dengan misterius.
"Ya,"cetusnya dengan spontan.
"Apa warnanya?"
"Pelangi, lalu Putih."
Chiru'un tersenyum, "Apa yang semua orang katakan mengenai ibumu ini benar adanya… Luan adalah salah satu bentuk ilmu sihir. Sangat sedikit orang yang bisa melihatnya dalam bentuk aslinya. Pelangi adalah bentuk dasar. Putih adalah bentuk unggul. Tujuh macam daya adalah bentuk madyanya." Di ujung jemarinya menari-nari sebuah benang berwarna pelangi nan indah.
Lalu sinar itu lenyap, suara penuh kesedihan menggema, "Tapi, tidak sepertimu… Kakakmu tidak bisa melihat sinar ini sama sekali."
Lidah Wander bagaikan kaku dalam rasa duka yang begitu dalam. Ia merasa dadanya bagaikan berlubang besar saat mendengar kakaknya disebut.
Chiru'un berjalan di seputar kamar kerjanya, suaranya dingin seperti angin musim dingin, "Wuan, tahukah kamu mengapa Ibu begitu memperhatikanmu dan menyayangimu sejak ketika kau lahir?"
Wander begitu terpana mendengar perkataan itu.
"Karena bisa melihat cahaya Luan, ibumu ini bisa melihat sinar lainnya juga. Ketika ibu melahirkanmu, Ibu menjerit tiada henti. Ibu begitu ketakutan, karena ibu melihat kau terbakar."
Wander tertegun.
"Ya, kau selalu dikelilingi api besar ini ke manapun kau pergi… Ibu merasa begitu tak berdaya, tak bisa melakukan apa pun. Tak seorangpun akan percaya pada Ibu, tak seorangpun melihatnya. Api itu bertambah besar ketika kau sakit, dan tidak pernah meninggalkanmu seperti roh jahat. Ibu sangat khawatir denganmu, anakku sayang. Tapi sembah pujiku pada Pencipta Segala Sesuatu, ketika kau tumbuh makin besar, api itu semakin kecil, dan hilang sama sekali saat kau bertemu Master Kurt."
Wander melihat telapak tangannya sendiri.
[Ia dikobari api? Api besar?]
Ia merasakan dari lubuk hatinya bahwa apa yang dikatakan ibunya benar.
[Mimpi itu...]
"Tapi kakakmu itu tak bisa melihat apa pun. Ia tidak melihat api itu… Tapi masih saja, ia begitu menyayangimu. Tak pernah sekalipun ia mengeluh ketika menemani dan menjagaimu. Setiap makanan yang kuberikan, ia akan berikan padamu dulu… Semua hadiah yang bisa kami berikan, ia minta diberikan padamu dulu. Semua uang saku yang kami bisa berikan, ia belikan permen, kertas, dan pensil untuk menggambar… Ia belajar ketika kau tidur, tidak mau berhenti meski kami sudah bilang… dan ia akan mengajarimu apa yang baru ia pelajari ketika kau bangun… Ia selalu tersenyum setiap kali melihat wajahmu, dan ia selalu yang paling duluan menangis ketika kau sedang kesakitan… Ia tidak bisa melihat api itu sama sekali… tapi ia masih begitu sayang padamu. Anakku tersayang… yang memiliki hati yang lebih besar dari ibunya ini… Betapa lembut hatinya… bagaimana mungkin… mendadak terhisap dalam kegilaan ini? Baru saja ia menemukan cintanya… kebahagiaannya…"
Di titik itu, Wander merasa ia seakan dihantam hancur sampai berkeping-keping. Ia mendekati ibunya dan memeluknya, menangis sekeras-kerasnya. Mereka berdua saling berpelukan, menangis meraung-raung, menangisi kepergian saudara dan anak yang paling mereka kasihi.
Sejam kemudian, keluarga Oward telah bergabung dengan ratusan ribu pengungsi lainnya, meninggalkan kota Fru Gar, rumah mereka, dan juga anak mereka: Wander.
Waktu mereka hanya sedikit, jarak yang ditempuh sangat jauh dan penuh marabahaya. Mereka harus segera berangkat, namun saat mereka menyadari bahwa Wander tidak bersiap, mereka terperanjat, apalagi mendengar kata-katanya:
"Aku akan menyusul kalian dengan Celi. Aku ingin tinggal dan menunggu Guru. Jangan kuatir, ayah, kalau Guru tak kembali tentu aku akan menyusul," Demikian kata Wander dan tidak seorangpun bisa menghentikan kemauannya.
Ayah dan saudara-saudaranya berusaha dengan segala daya menghentikannya, namun Chiru'un menatapnya lurus-lurus lalu berkata kepada Likuun dan anak-anaknya, "Biarkan Wuan melakukan yang dikehendakinya. Ia kuat dan perkasa, ia punya tugas yang harus dilakukannya."
"Tapi Chiri... Ingat Ko..."
"Kokru dan kamu punya tugas. Aku punya tugas. Wuan pun punya tugas. Tiada yang boleh mengabaikan tugas, apalagi di kala genting."