Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 51 - Rontoknya Gerbang Barat

Chapter 51 - Rontoknya Gerbang Barat

Kucing Tua terkekeh, "Akhiwnya… Gewbang Bawat jatuh juga?"

Wander menatap pencuri itu dan Gerbang Barat bergantian, begitu terguncang sampai ia hampir bengong. Ia bisa mendengar suara teriakan dan berbagai bunyi kekacauan. Orang-orang berlarian dan bertarung tanpa arah. Lalu… Ia menyadari bahwa ia sudah terpancing tipuan pengulur waktu oleh Pencuri licik ini!

Wander mendengar bisikan gelap itu kembali di telinganya. Pengakuanku biasanya akan begitu masuk akal tapi tidak benar 100% juga.

"Wandwe, muwid Kurt Manjare… Kaw memang sakti dan hebat, tapi kaw masi' terlawu hijaw …"

Wander mencengkeram dan membetot leher jubah Pencuri itu dan mendesis, "Apa yang kalian rencanakan?"

"Bagaimana mungkin kaw pikiw 'ku bisa lolos hah? Inspektuw polisi itu mata-matanya! Ia kasih 'ku kunci dan menyuwuhku memancing kaw ke sini!"

"Berhenti berdusta!"

"Lalu bagaimana kaw pikir Sulwan mau lepaskan begitu banyak pwajurit yang ia tangkap begini gampang? Owang bedarah dingin begitu? Apa kaw pikiw ia mendadak jadi baik? Mimpi dalam sejuta taun kali! Ia sudah membujuk bebewapa pwajurit malang buwat menyewang Gerbang Jaga sebelah Bawat! Sekawang Gewbangmu sudah jatuh, kotamu sudah bisa dibilang tamat!"

Wander menggigit bibirnya keras-keras, memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Dunia terasa berputar di matanya.

Itu sebabnya banyak prajurit itu dilepas begitu saja oleh Sulran! Ia ingin menyampaikan teror sekaligus bibit pengkhianatan kepada penduduk Fru Gar. Namun firasat Wander mengatakan bahwa taktik ini tak hanya berhenti di sini...

Kucing Tua sementara, mulai berdoa keras-keras, membuat Wander kesal betul dengan semua racauannya, "Demi Divara! Kenapa kau meracau begitu?"

"Kaw takkan ampuni 'ku bukan? Jadi 'ku bedoa sebelum mampus," Pencuri itu menjawab dengan mimik muka tidak sedap dipandang, "'Ku sudah laksanakan misiku, dan tentu sudah ada bayaran dan uwang duka buwat istriku yang wakus dan gila judi. Oh betapa puwasnya aku."

Kalau saja ini situasi biasa, tentu lagak Kucing Tua betul-betul lucu; tapi Wander bahkan tidak bisa tersenyum sekarang. Bencana tak terelakkan segera akan melanda semua hal yang ia cintai.

Ia merasa ia harus bertindak sekarang, tapi ia tidak akan bisa melakukannya tanpa rencana. Ia begitu panik. Setiap detik terdengar bagaikan suara tawa Sang Kematian di telinganya.

Kucing Tua memperhatikan ekspresi wajah Wander dengan penuh kesenangan, "Kaw ini mikir tewlalu banyak, nak… Kenapa tidak pecahkan kepala Kucing ini lalu lawi?"

Wander hentak membentak pencuri itu sekencang-kencangnya, tapi sesaat sebuah pikiran yang sangat jernih di antara segala kekacauan yang menyesakkan itu muncul dalam benaknya. Begitu murni dan jernih, tanpa batas. Ia melihat ke Gerbang Barat dan lapat-lapat ia menajamkan pendengarannya. Ia bisa mendengar suara kekacauan dan jeritan, tapi tidak ada suara musuh menyerbu sama sekali.

Ia mendadak bertanya pada Kucing Tua, "Kenapa Sulran tidak menyerang sekarang? Gerbangnya sudah runtuh!"

"Mungkin ia sedang tidur… ato ia lagi tidak walas… siapa yang bisa tawu?" Kucing Tua menjawab seenaknya, tapi ia menjerit ketika tongkat Wander menyetrum pundaknya dengan hantaman nyaring.

"Sebelum mati, setidaknya kau bisa memberitahuku kenapa Sulran tidak segera mengepung kota ini?" Wander mendadak bertanya lagi. Pikirannya entah kenapa begitu tajam. Saat itu, Wander sebenarnya ingin berlari ke arah gerbang dan melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk membantu atau bertempur, tapi entah kenapa ia masih berdiri di sana dan menanyakan hal-hal bodoh pada pencuri itu.

Tapi ia tidak pernah merasa lebih tenang seumur hidupnya. Seakan seseorang yang paling ia percaya sedang berdiri di sisinya, membimbingnya.

Kucing Tua mengeluh, "Jawabnya sedewhana… Bayangkan kaw punya satu kota penuh owang-owang putus asa dan nekad, yang Pangewan baru jatuhi hukuman mati tanpa kecuwali. Apa kau akan lawan mereka dalam kota atau…"

Wander mengerti seketika! Ia menggigil saat mendengar dirinya meneruskan penjelasan pencuri itu, "Aku akan menunggu… Aku akan membiarkan mereka lari. Lalu aku akan menyapu mereka, dan begitu cepat ketika mereka ada di padang terbuka, lelah, ketakutan, ketimbang bertarung berdarah-darah dari puing ke puing melawan orang-orang yang terdesak dan nekat…"

Seluruh kota mulai terang. Para penduduk terlihat berlarian kesana kemari di mata hati Wander, bagaikan semut yang sarangnya baru terinjak.

"Pengungsian sudah dimuwai… Gubewnurmu memang andal… cepat… tapi ia juga akan jatuh ke tipuan Sulwan."

"Kalau begitu biarkan saja mengungsi. Kami akan bertahan hidup. Krog Naum terletak dekat sini."

"Kaw pikiw Sulwan akan biarkan kalian lawi?"

Wander tidak menjawab. Ia melihat ke pencuri itu dengan galau, sebelum ia berkata, "Kau bebas. Pergilah."

"Apa?!?" Pencuri tidak mempercayai pendengarannya."

"Aku tak bisa membunuh orang. Tidak akan. Lagipula, aku menganggapmu sebagai temanku. Kau telah memberikanku sebuah petunjuk, dan aku sangat berterima kasih. Pergilah!"

Tapi pencuri itu, masih dengan sepasang mata bundar, tidak bergerak. Melihatnya tidak bergerak, Wander membungkuk dan pergi.

"Ke mana kaw akan pegi, cah?!"

"Aku akan membantu keluargaku dan para pelayan mengungsi. Lalu aku akan di sini… bertempur."

"Kaw akan bewtempur? Demi Divawa! Kaw sinting?!"

"Aku punya rencana kok. Pergilah sekarang! Bilang pada Sulran bahwa Kotak yang ia inginkan ada di tanganku! Hadapi aku dulu kalau ingin mendapatkannya!" Wander melangkah pergi. Ia merasa begitu tenang bagaikan sebuah perasaan kemilau dan hangat menyelubunginya. Ia bisa merasakan seseorang memandunya, tak terlihat, tapi demikian dekat dan membuat pikirannya begitu jernih. Momen itu terasa begitu ajaib.

"T-tungguw!" Mendadak Kucing Tua mengejarnya, dan Wander berbalik.

"B-bayiklah! Sialan semua! 'Ku bewhutang padamu selembar nyawa jelek ini! Kami pawa pencuwi benar-benar dikutuk kesewakahan kami! Tapi kami selalu membalas satu dengan satu. 'Ku bewitahu sesuatu yang bewguna…! Sulwan takkan menggewakkan pasukannya menyewang, sampai lusa. Kaw punya waktu kurang lebih satu setengah hari."

"Kau yakin? Tapi mengapa begitu?" Wander bisa mendengar jantungnya berdebur kencang mendadak. Sebuah harapan mendadak menyala dalam kegelapan itu.

"Pepatah kuno bewkata sepeti ini: 'Kelemahan mesin sempuwna adalah kesempuwnaannya.' Demikian juga Sulwan. Rencana Sulwan begitu sulit ditebak, tapi begitu tawu, begitu mudah dibaca pola stwategi bewikutnya, kawena ia sewba sempuwna. Ia suka sekali kemenangan tanpa meninggalkan kesempatan sedikitpun buwat musuhnya. Sepeti 'ku bilang tadi, ia sengaja tidak kepung kota ini supaya kalian semua lawi keluwar. Jika kalian semua lawi, pwajuwit kota ini akan ikut pergi dan kota ini akan kosong."

Wander mengangguk setuju mendengar penjelasan itu, "Tapi… Kalau ia sewang kota ini ketika pengungsi masih belum jauh, pwajuwit kota ini bisa kembali ke kota dan bewtempuw di dalam. Ia tidak suka hawus mengowbankan anak buahnya, apalagi memecah pasukannya menyewang pengungsi dan kota sekaligus."

"Kenapa begitu?"

"Kawena owang ini begitu tewobsesi dengan uwutan pelaksanaan dan keselamatan tentawanya! Ia owang paling sombong di dunia! Di otaknya, taklukkan kota ini dulu, bawu habisi semua pengungsi. Uwutan yang takkan ia ganti supaya ia dapat kota ini dan habisi semua pengungsi dengan gampang. Pewhatikan ini," Kucing Tua menyalakan sebatang obor kecil lalu menggambar di atas tanah.

Pertama ia menggambar sebuah lingkaran dan memberi tulisan Fru Gar di atasnya. Berikutnya, ia menggambar sebuah kotak dan menuliskan kata: Pasukan Sulran, di atasnya. Lalu ia menggambar sebuah lingkaran di sisi lain yang ia sebut sebagai Krog Naum.

"Jawak antawa Fru Gaw dan Kwog Naum 37 mil. Untuk kecepatan pawa pengungsi pewlu waktu 3-4 hawi buat mencapainya. Paling cepat." Ia menggambar sebuah jembatan di tanah.

"Betuw. Jadi, kalau kita pikiw pengungsi bisa jalan 10 mil sehari, meweka bisa mencapainya dalam waktu 3 hawi. Sementara, Sulwan hanya pewlu waktu 3-4 jam buat mengejaw pengungsi dengan pasukan berkudanya, di sini!" Ia mencoret titik tengah antara kedua kota itu, "Di sini hanya ada guwun pasir. Panas, tiada aiw, pengungsi pasti akan tak bedaya meksi ada tentawa sekalipun."