Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 1 - Mula

Tanril: Telaga Api

🇮🇩Jadeteacup
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 552.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Mula

Lahir tahun 603, bulan 6, tanggal 17

Sejak bahkan aku bisa mengingat, penyakit ini sudah bersamaku. Penyakit aneh yang membuat semua tabib menggelengkan kepala dan mengangkat tangan tanda tidak paham. Penyakit yang senantiasa menemani, menempel, dan menyiksa.

Pada hari-hari biasa, aku pasti melewatkan sepanjang hari di atas pembaringan, sementara ibu atau kakak mengolesi perutku dengan balsam lembut, dingin, meski berbau tajam, atau menyuapiku dengan ramuan atau cairan pahit yang hampir selalu terasa menjijikkan.

Pada hari-hari buruk, aku bahkan hampir tidak bisa bernapas tanpa menjerit kesakitan. Gelombang rasa sakit dan kejang menerpa hebat bagaikan badai demi badai, tidak pernah memberikan jeda sesaat pun yang bebas dari rasa sakit.

Dalam kegelapan yang demikian mendalam, serta rasa sakit yang serasa mencabik-cabik tubuhku, sudah berulang kali aku merasakan saat-saat di mana aku merasa tidak sanggup lagi bertahan, melewatkan hari berikutnya, jika bukan karena Ibu dan Kakak.

Amarah dan geram, tangis dan keluhku, kemurungan dan kelesuanku mereka senantiasa hadapi dengan gagah berani dan sabar. Bukan, bukan oleh dua hal itu, tapi oleh kasih sayang luar biasa. Pada umur yang begitu awal, aku sudah belajar bahwa cintalah yang mampu membuat orang begitu berani dan begitu tabah, dan menular.

Jika ada hari biasa dan hari buruk, tentu ada hari-hari yang lebih baik. Hari-hari saat aku bisa berjalan dengan kakiku sendiri, hari yang baik adalah hari bisa keluar kamar. Bahkan melakukan hal-hal kecil seperti memegang sendok, makan di meja makan, atau mengangkat sekantong kue tanpa harus mengucurkan berkeringat dingin sudah menjadi momen paling menggembirakan.

Aku ingat momen yang penuh dengan kegembiraan dan wawasan yang begitu hebat, hingga membuat tubuhku bergeletar gembira, laksana daun disapu angin badai, terjadi seketika aku mampu berjalan keluar rumah, sampai ke ujung jalanan… dan menemukan bahwa duniaku jauh lebih besar ketimbang rumah.

Ada hamparan jalanan luas dan lusinan rumah yang berjajar di kedua sisinya. Lebih mengagetkan lagi, dunia yang lebih luas lagi terbentang melampaui jalan itu: kota!

Aku ingin menceritakan mengenai keluargaku yang istimewa. Ayahku tak pernah membawa aku atau Kakak bermain, tidak seperti ayah lainnya. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dari pagi hingga malam. Sekali waktu aku pernah menanyakannya apa pekerjaannya, dan ia menjawab singkat bahwa ia mengawasi izin perdagangan dan pajak. Waktu itu, aku belum mengerti sama sekali. Yang aku tahu, banyak orang yang membenci ayahku meski mereka juga segan dan jeri terhadapnya.

Ibu sering bilang bahwa ayah adalah orang yang paling jujur di dunia, dan itulah alasan dan rahasia utama kenapa Ibu mencintainya. Tetapi ada satu hal yang tidak perlu Ibu bilang. Sudah jelas sekali terlihat. Ayahku adalah orang yang canggung sekali jika berhadapan dengan anaknya. Ia mencintai keluarganya, tetapi ia pernah bisa mengungkapkannya atau menunjukkannya. Begitu tak berdayanya ia sama sekali dalam urusan rumah tangga, hingga ia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan dan cintanya yang begitu besar pada Ibu.

Ibu bercerita bahwa dirinya berasal dari Suku Selatan. Ia menceritakannya sembari menunjukkan lengannya yang berkulit cokelat manis, rambutnya yang hitam bagaikan malam. Aku tertawa dan ikut menjajarkan lengan kurusku. Warna kulitku juga cokelat, tetapi lebih muda dan pucat karena lemah, keluhku, yang segera disambut ciuman Ibu. Ini membuatku lupa sejenak akan kondisiku.

Beliau menceritakan bahwa di sukunya, Klan Fardaan, warna mata yang hijau seperti miliknya itu sama wajarnya seperti gandum yang tumbuh di ladang dan bulir eyr di atas roti. Aku masih ingat saat itu aku sangat kecewa ketika aku menyadari bahwa warna mataku cokelat, seperti Ayah. Tetapi aku punya hidung dan pipi yang cantik seperti ibuku, kata Kakak setiap kali menghiburku. Waktu itu, aku belum tahu bahwa hampir semua orang di negeriku membenci Suku Selatan.

Ibu adalah seorang penenun, terbaik di seluruh negeri. Ya, di seantero kerajaan. Hasil karyanya dengan benang dan jarum sangat menakjubkan, bahkan ajaib. Di dinding rumah kami tergantung Plakat Emas Kerajaan, dibingkai dengan hiasan daun-daun emas yang indah, dari Raja sendiri. Sang Raja memuji lukisan tenunnya yang berjudul, 'Samudra Tenang', 'Menara dalam Kisah Syndian' dan 'Padang Bunga di Bawah Rembulan' sebagai harta pusaka Kerajaan. Aku tak pernah melihat karya-karya yang itu, tetapi aku pernah melihat 'Sepuluh Elang', 'Embun Matahari', 'Pohon Emas Kembar', dan tentu saja kepunyaan pribadiku yang paling berharga, selendangku, 'Anak Memegang Api.'

Ibu bercerita bahwa ia sedang mengerjakan punyaku ketika aku masih dibawanya dalam perut. Ketika Ibu tepat tuntas menyelesaikan selendang untukku, aku lahir di dunia. Aku masih tidak mengerti bagaimana cara Ibu membawa diriku dalam perut atau bagaimana aku muncul, tetapi aku tidak pernah berpisah dari pusakaku ini. Aku sangat suka pada semua karya Ibu dan aku selalu jadi yang pertama yang melihat karya Ibu setiap selesai dikerjakan. Karya Ibulah yang menjadi penopang jiwaku.

Anggota keluargaku berikutnya adalah saudara dan saudari kandungku, selain Kakak. Dimulai dari yang sulung, Fyure. Ia selalu mengacuhkanku hampir setiap saat, lebih suka bermain di luar bersama teman-temannya yang berbadan besar. Urutan berikutnya adalah kedua kakak perempuanku, Miar dan Asyu. Mereka cukup manis terhadapku, meski berbalut kasihan dan jarak usia. Rengganglah mereka dariku sejak aku mulai bisa mengingat. Aku memang bocah yang selalu sakit, tapi aku tidak pernah minta disukai atau dikasihani. Namun aku diam-diam suka memperhatikan mereka, karena mereka manis dan cantik bagai sepasang boneka malaikat.

Ibu sering memanggil mereka demikian dan mereka akan tersenyum seperti malaikat pula saat mendengarkan cerita atau ucapan Ibu. Tentu saja, Ibu adalah yang paling cantik dan baik di dunia bagiku.

Berikutnya adalah Kakak, Kak Kokru. Ia adalah orang kedua yang paling kusayangi di dunia ini. Ia adalah kakak yang lembut, selalu tersenyum, dan agak pendiam (kecuali padaku). Ia sebenarnya paling mirip sifat dan parasnya dengan Ibu. Mungkin, karena itu, ia sama penyayangnya.

Di ingatanku yang paling awal, aku telah melihatnya ada di samping pembaringanku, menemani dan mendendangkan lagu pengantar tidur bersama ibuku. Ketika ibuku sedang menenun, ia selalu berada di sisiku. Aku ingat ada satu hari di mana dia bahkan tidak pindah sama sekali sisiku, terus mengawasi dan menjaga nyawaku yang tengah diterpa badai demam.

Kakakku ini memiliki keahlian menghentikan momen-momen kemurungan maupun amarahku yang paling meledak dengan begitu anggun dan lihainya. Ia biasa melakukannya dengan menggambar lukisan dan bercerita untukku dengan amat seru. Jam-jam yang kuhabiskan dengan belajar mengenai dunia luar dari lukisan dan sketsanya adalah kenangan awal yang paling manis. Kakak adalah guruku yang kedua. Dia membacakan buku-buku untukku. Ketika ia membacakannya aku selalu mengomentarinya, dan dia nampaknya suka dengan komentarku, betapa pun konyolnya. Dia akan tertawa lebar, tulus, dan karena aku suka dengan senyumnya yang ceria, aku selalu berusaha untuk membuatnya tersenyum selalu. Aku akan bergetar kesenangan tiap aku tahu aku telah menghiburnya. Aku sangat mencintai Kakak.

Lalu aku. Wander Atale Oward.

Tidak ada lagi yang penting atau menarik yang bisa diceritakan mengenai diriku. Sungguh! Kecuali mungkin mimpi aneh yang pernah kualami. Mimpi ini tiba kala aku genap berumur lima tahun.

Hari itu adalah hari terburuk dalam hidupku. Sakitku bagaikan burung yang menukik dan menghantam karang. Memburuk. Lebih gulita dibanding yang terkelam. Seluruh tubuhku bagai terjerang bara merah dan sengatan demam. Segalanya terasa begitu menyakitkan, berat, hingga penglihatanku kabur kemudian... gelap sama sekali.

Aku tidak bisa melihat!

Aku ingat aku sempat berteriak di tengah rasa sakit yang bak membakarku hidup-hidup. Kejang-kejang hebat menyambar dan bertalu-talu perkasa bagaikan guntur. Aku tak sadarkan diri. Aku bahkan tidak bisa mendengar lagi seruan Kakak dan Ibu.

---

Alas dipan terhampar

Kuhitung jumlah kerutan

Dan lipatan di seprai

Kugenggam erat selendang dari Ibu

Menahan nyeri,

Aku bertahan,

Demi yang mengasihiku.