Chereads / Tanril: Telaga Api / Chapter 3 - Menghirup Tanah

Chapter 3 - Menghirup Tanah

Bukan darah mengalir

Bukan paru-paru yang sesak

Atau tanah yang masuk ke dalam mulut

Tetapi sembilu dalam dada, topan dalam hati,

Murka nan tak berdaya...

Juni, Tahun 611 penanggalan Sang Pencipta

Kerajaan Dagang Telentium terletak di selatan bentangan Benua Clem. Wilayahnya yang memanjang membuatnya berbatasan dengan banyak negara: ada Federasi Suku Selatan di sebelah barat, Aestheria di Barat Daya, Zirconia dan Kawasan Jianxi di Utara, Harmonia di Timur Laut dan Mauro di Timur Jauh. Di bagian selatan wilayahnya terbentang garis pantai dan Samudra Rieda yang ramai oleh kapal dagang. Dengan hanya memiliki segelintir gunung dan rimba, negeri yang relatif datar ini menjadi kesukaan para musafir dan saudagar.

Kerajaan ini sepertiga wilayahnya berupa gurun tandus. Namun angin gurun yang bertiup membawa debu halus yang kaya unsur hara ke pinggirannya, ditambah bendungan dan jaringan kanal irigasi yang baik yang memanfaatkan sungai besar yang ada, sehingga wilaya timur menjadi lumbung gandum. Di bagian barat negeri ini ada banyak lembah dengan formasi batuan alam nan memesona, kaya akan bijih emas, perak, dan besi. Di bagian selatan ada banyak reruntuhan peninggalan kebudayaan kuno yang penuh misteri dan menjadi pusat perkembangan ilmu.

Pemerintahan dan penduduknya yang gemar berwirausaha dan berniaga dengan siapa saja, tanpa bermusuhan, menyebabkan Telentium menjadi salah satu jalur perdaganga utama di dunia. Klan Urand, yang bermula dari klan penguasa tambang emas dan tanah yang luas, telah berkuasa di negeri ini selama tujuh generasi. Mereka membangun kota-kota dagang dan jalan raya dari timur ke barat, selatan ke utara, yang dapat disinggahi para pedagang ketika melintasi negeri ini menuju mancanegara. Salah satu kota dagang yang besar adalah Fru Gar.

Fru Gar terletak di sebelah barat Ibukota Telentium Timur, Dri Cass. Terletak tepat di tepi dataran subur Durvai dan menghadap ke Gurun Diagos di sebelah timur. Kota yang terletak di Jalur Dagang Selatan ini adalah urat nadi perdagangan dengan Kerajaan Mauro sampai ke Zirconia dan Kawasan Jian Xi. Karena posisinya yang begitu penting dan strategis pada dalam Perang Suku Selatan puluhan tahun yang lalu, kota ini dibangun dengan tembok pertahanan yang tinggi dan tebal. Kota itu kini menjadi markas pasukan patroli gurun dan jalur dagang berjumlah 12.000 tentara.

Jalanan Fru Gar yang indah dan ramai ini lebar dan tertata rapi. Jalan utamanya senantiasa ramai dan dipenuhi aktivitas mulai dari matahari terbit hingga larut malam, meski gerbang kota sudah ditutup sejak senja.

Di sebuah jalan buntu yang tersembunyi dari keramaian kota itu, tempat sebaris tembok putih membentang dari ujung ke ujung, seorang anak kecil sedang ditekan dengan kaki sampai punggungnya menempel ke tembok.

Anak-anak itu mengelilinginya dengan buas, seperti biasanya. Mereka semua lebih besar dan tua dibandingkan dengannya. Punggungnya yang basah oleh keringat mulai terasa sakit, karena terus ditekan ke tembok. Kaki yang sedari tadi melesak ke perutnya, terus menerus didorong makin dalam sampai ia tercekik meskipun napasnya sudah pendek-pendek.

"Ayo, bangsat kecil! Katakan!"

"Bilang dan kau bakal selamat, Wander!"

Ia mengertakkan giginya kuat-kuat. Ia bisa merasakan citarasa besi dan lengket bercampur kotoran dan debu di lidahnya.

Gelombang pukulan dan tendangan bertubi kini menghujani tubuhnya dari kiri dan kanan, seruan dan teriakan anak-anak itu makin kencang.

"Katakan! Katakan! Katakan!"

"Katakan, Dasar Budak Selatan!"

Ia memelototi mereka, tetapi bahkan pandangannya pun terpental ke samping saat tinju mendarat di pipinya! Punggungnya bergesekan tajam dengan tembok ketika ia akhirnya luruh hingga berlutut di tanah. Kaki itu berpindah ke pelipisnya yang kembali menekannya ke tembok.

"Katakan dan kami baru mau lepaskan kau!"

Ia merasa bagaikan sedang berenang atau sedang jatuh bebas atau bahkan melayang. Ia tidak tahu yang mana, yang jelas ia merasakan hanya sakit di sekujur tubuhnya ….

Tetapi pikirannya entah kenapa menangkap kata-kata itu dan memori yang sangat menyengat itu bangkit: Katakan bahwa ibumu itu seorang penyihir barbar Selatan! Seorang budak pelacur! Katakan!

"T-Tidaakk!" teriaknya, menolak untuk menyerah.

"Keparat!" Mereka lalu mulai memukulinya, seperti yang biasa mereka lakukan, sampai ia hanya bisa berbaring di sana seperti rombeng tua. Tetapi meski ia bahkan tidak bisa bangun, hanya dapat menghirup debu di tanah, setidaknya kehormatannya masih utuh.

Sakit… Tidak sakit… Sakit… Mantra itu berputar-putar di kepalanya. Itulah caranya menghadapi rasa sakit sejak kecil. Hayati denyutnya, intensitasnya, bagaikan pengamat yang melihat sungai yang mengalir, bukan melawan atau terhanyut di dalamnya.

Ia menghela satu napas demi napas, berusaha menghimpun kekuatannya tetes demi tetes. Ketika ia merasa sudah mampu berdiri, ia mencoba menggerakkan tungkainya. Terhuyung-huyung, dengan keringat bercampur debu, ia akhirnya berhasil berlutut, tetapi tidak mampu berdiri. Hari ini, pukulan-pukulan yang menderanya benar-benar meresap sampai lututnya. Tetapi, setidaknya ia kini bisa terduduk, ketimbang mengisap debu di tanah.

Ia mulai merasakan sangat lega ketika mencium bau tanaman obat di udara.

Sependar wajah gadis kecil muncul dari balik sisi tembok. Setelah melihat ke sekeliling, memastikan tidak ada lagi bahaya, gadis itu bergegas menghampirinya sambil erat memegang keranjang. Wajahnya yang bulat dan manis tersenyum melihat Wander yang menggerakkan tangannya memberi tanda:

Biasa.

Tidak apa.

Gadis itu duduk di sampingnya sembari mengeluarkan segulung pembalut beraroma obat berwarna kecoklatan, poci berisi air hangat, dan kain tebal. Senyum Wander melebar.

Gadis itu langsung membersihkan wajahnya, memberinya air untuk berkumur dan meludahkan darah dan kotoran yang ada di dalam mulutnya. Sebuah gigi turut terbawa keluar. Gadis itu menimangnya sejenak, sebelum memasukkannya ke kantung bajunya sambil tersenyum lalu tangannya bergerak-gerak dalam bahasa isyarat:

Ini tidak biasa.

Mereka sungguh kasar.

Wander mengangguk, merasakan sela kosong baru di mulutnya dengan lidahnya. Untungnya, ia masih kecil, dan kata ibunya anak kecil dikaruniai gigi yang bisa tumbuh kembali. Sekali saja tapi.

Lalu, ia mengoleskan salep yang pedas tapi wangi di luka-lukanya, sebelum membalut rusuknya, punggungnya, serta wajahnya yang lebam dan lecet. Orang pasti memiliki hati dari batu jika tidak terharu dan berterima kasih atas perawatan yang demikian teliti namun tangkas.

Wander berbisik tulus, "Nalia, terima kasih…"

Gadis itu hanya mengangguk lalu tertawa tanpa suara. Meski sakit, Wander tersenyum. Itu ajaran Nalia dan ayahnya. Rasa sakit lebih baik diberi senyum. Dalam hal ini, Nalia senantiasa memegang ajaran itu, meski mungkin dalam hatinya ia ingin menangis. Ketegarannya yang tidak biasanya, bahkan untuk putri seorang tabib.

Wander dan gadis itu seumur, dan keduanya terasing dari anak-anak yang lain, meski karena alasan yang berbeda. Wander terutama karena orang tuanya, sedangkan gadis ini karena terlahir bisu. Wander tersenyum, tidak bisa tidak, ia teringat akan Nalia, yang hampir selalu menemani ayahnya menjenguk Wander ketika ia dulu sakit... lalu tiga tahun kemudian, saat mereka telah menjadi sahabat erat.

Sesaat, ketika Nalia mengencangkan balutan di kepalanya, mendadak kedua tangan mereka saling bertemu. Mereka lalu menggenggam tangan satu sama lain dengan lembut. Mereka berdua tersenyum, dan saat itu, begitu banyak hal yang mengalir di antara mereka—kesepian, rasa sakit, kebahagiaan, dan kegembiraan nan polos.

Mereka tersenyum satu sama lain. Mengulang kembali permainan perawat-pasien betulan yang terlalu dini telah mereka kuasai dalam hidup mereka.

Tangan Nalia bergerak-gerak lagi. Wander tersenyum melihat isyaratnya:

Aku lihat mereka dari jalan besar.

Ikuti mereka. Lihat kamu.

Aku langsung ambil obat.

Wander membalas:

Seperti biasa, kamu tangkas sekali.

Ketika Kokru tidak menemukan Wander di sekolahnya, ia segera bertanya pada guru-guru Wander di mana adiknya berada. Para guru itu tidak tahu menahu dan tidak peduli. Ia bertanya pada anak-anak yang lain, tetapi mereka juga tidak tahu atau tidak mau menjawab. Dengan kelu dan getir, ia segera menyadari apa yang menimpa adiknya. Ia segera mencari kemana-mana akan tetapi baru menemukan adiknya kala sudah terlambat.

Ketika ia melihat Nalia dan seorang bocah yang berjalan agak timpang di sisi jalan, ia segera berlari menghampiri. Setelah berterima kasih pada gadis bisu ini dengan tulus, menerima senyuman hangat darinya. Nalia lalu bergegas pulang. Terlalu berbahaya

Kokru segera menilik adiknya yang tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya. Dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, luka-luka Wander lebih parah. Hasil dari gema gempita belajar ilmu bela diri yang sedang melanda kota itu tampak jelas pada wajah Wander.

Tidak bisa begini terus. Keluhnya. Harus ada yang berubah. Harus ada yang bisa melindungi adikku. Pikirnya, sambil merutuki ketakberdayaannya.