Chiru'un Lua Oward baru menyelesaikan ritual akhir penyelesaian karyanya. Setiap kali selesai, ia akan menggantungkan karyanya, dijepit dua tiang penyangga, dan ia akan bersimpuh di depannya dan berdoa:
Terima kasih atas berkah yang diberikan hingga aku memiliki kesabaran
Terima kasih atas berkah yang diberikan hingga aku bisa menyelesaikan karya ini
Terima kasih atas pengajaran yang diberikan oleh inspirasi Cahaya Pelangi dan Luan
Terima kasih untuk semua Tetua, Pewaris, dan semua Karya di muka bumi
Terima kasih karyaku, semoga engkau bisa memenuhi tugasmu.
Tepat saat itu ia mendengar suara teriakan anaknya. Wajahnya langsung merona, merekah dengan penuh kegembiraan. Ia sudah begitu ingin bertemu dengan mereka setelah begitu lama. Ingin pula menunjukkan karya terbarunya kepada mereka! Ia segera berbalik dan membuka pintu geser.
Wander telah berdiri di hadapan pintu tempat kerja itu. Ibunya sesaat menahan napas melihat wajah dan tubuh anaknya, tapi tidak sampai satu kedipan mata, ia telah tersenyum penuh rasa sayang dan cinta. Pelupuk matanya mulai tergenang air mata. Tapi bocah itu tersenyum dan Chiru'un terkekeh melihat ompong baru anaknya. Ia merentangkan tangannya dan anak itu telah melompat ke dalam pelukannya secepat tupai.
"Tabahkan hati. Tabah, tabah, Sayang." Ia mengelus rambut anaknya yang lembut, dengan hati-hati menghindari menyentuh luka-lukanya.
Ibunya melanjutkan, "Kamu juga, Kokru. Kemarilah."
Kokru, dengan wajah memerah, juga mendekat dan memeluk ibunya dengan hangat. Saat itu adalah momen penuh perasaan. Ibu mereka selalu merupakan pilar hati mereka. Ia tak pernah nampak kaget atau menunjukkan kekhawatiran. Kekuatan kepribadiannya sangat menakjubkan.
"Sayang, beritahu Ibu, tanggal berapa sekarang?"
"Hari ini Hari 14 Bulan 6, Bu."
Chiru'un melihat sekeliling, berkedip-kedip, agak terpesona, "Ah… rupanya sudah tiga bulan?"
Anak-anaknya mengangguk penuh semangat. Pelukan mereka makin erat, menandakan rindu mereka yang sepadan dengan tiga kali bulan purnama.
Ia mendesah sebelum tersenyum, "Hmm… Baiklah. Sekarang mari kita lihat apa yang menghalangi kalian dari Ibu selama tiga bulan?"
Ia memimpin anak-anaknya yang penuh minat masuk ke dalam kamar kerja. Ruangan itu sangat bersih dan rapi. Lantainya terbuat dari kayu pernis, berkilauan di bawah sinar matahari dari jendela-jendela di sisi dan atap.
Di dinding tergantung sebuah lukisan padang rumput dan seekor kuda yang menatap matahari pagi. Mimik hewan itu seakan-akan mengerti rasa syukur dan rindu. Di bawah lukisan itu terdapat sebuah pendupaan yang menyala, menyebarkan keharuman dan aroma pohon suruga yang menenangkan ke sekeliling ruangan. Di sudut ruangan yang lain terdapat dipan dan wajan dari kuningan untuk mencuci muka.
Di tengah ruangan, terdapat dua galah kayu penjepit dan sebatang tongkat melintang. Tempat karya baru tergantung, yang melambai halus kala diembus semilir angin yang menyelinap ke dalam ruangan.
Wander, Kokru, dan Chiru'un sama-sama berdiri dalam kesunyian, menatap sebuah mahakarya lukisan kain seukuran bendera di hadapan mereka.
Lukisan itu menggambarkan telaga hutan. Di pinggirannya tumbuh pohon-pohon pinus berbatang kemerahan, di bawah langit cerah nan biru. Beberapa ekor bangau putih dengan leher berwarna hitam namun bulatan merah di keningnya, sedang beristirahat di telaga itu. Salah satu sedang mencelupkan paruhnya ke dalam air dengan anggun, yang satu sedang menekuk satu kakinya, sementara yang satu lagi sedang menisiki bulu sayapnya dengan paruhnya, dan satu lagi sedang mengibaskan sayapnya.
Embusan angin bergulir dari jendela dan lukisan kain itu berayun anggun ditarikan semilir bayu. Sekonyong-konyong, lukisan itu berubah dengan ajaib. Mereka menyaksikan bangau-bangau itu bagaikan hidup dan bergerak. Mereka dapat melihat riak dan kaburnya bayangan bangau kala paruhnya dicelupkan ke permukaan air. Goyangan rerumputan dan bahkan merasa seolah-olah angin meniup telaga, bulu-bulu bangau, dan pepohonan dalam lukisan itu!
Begitu hidupnya hingga mereka sampai lupa bernapas saat menatap mereka begitu lekat. Salah satu bangau mendadak terbang ke angkasa, menggoyang permukaan bening telaga itu, diikuti bangau-bangau lainnya. Bayangan mereka terpantul di gelombang air telaga yang terusik, sementara mereka terbang berendengan.
Saat itu adalah momen penuh sihir, seakan-akan bangau-bangau itu akan terbang keluar dari kain! Begitu hidup dan anggun! Tapi ketika para penonton keajaiban itu berkedip dan mendesah, mereka melihat bangau-bangau itu sudah kembali ke posisi mereka semula.
Semuanya, bahkan Chiru'un sendiri, menggosok-gosok mata mereka, seakan-akan mereka baru saja bermimpi.
"Menakjubkan!" Kokru dan Wander tak henti-hentinya memuji dan berseru, "Luar biasa!"
Sesaat mereka lupa sama sekali akan kejadian buruk yang menimpa Wander.
"Aku sendiri juga sampai takjub," Chiru'un tertawa.
"Apa namanya, Ibu?"
"Alkala Cassan. Arus Kehidupan," Beliau menjawab, sambil mengelus pipi Wander, sambil menatapnya dengan penuh arti, "Hal paling indah, ajaib, dan misterius di alam semesta."
Wander begitu menikmati tatapan ibunya. Ia kembali memeluknya dengan erat.
Mereka lalu menatap lukisan itu lagi, dan mereka sekali lagi melihat bangau-bangau itu bergerak lagi begitu anggun, berbeda dibanding sebelumnya, dan sekali lagi menyedot perhatian mereka dengan penuh rasa takjub dan ketenangan yang misterius.
Sejak ia kecil, ia telah dilatih dalam Seni rahasia dan suci ini: Luan. Ia ingat hari-hari yang ia habiskan di padang rumput nan luas itu, di mana setiap hari selama dua belas jam ia terus menenun dengan jarum dan benang di tangannya. Ia berbakat, tabah, memiliki konsentrasi dan kesabaran, dan yang paling penting ia memiliki cinta yang besar dengan Luan: syarat yang paling penting untuk menjadi Penguasa dan Pewaris Seni Luan.
Tetapi perang dan serbuan Kerajaan Telentium merenggut kehidupan padang rumput yang damai darinya. Ia kehilangan seluruh keluarganya, saudari-saudari seperguruannya dan Gurunya dalam pembantaian berdarah itu.
Tragedi demi tragedi berlangsung, tapi tidak cukup meyakinkannya untuk menyalahkan nasib. Ia bertahan terus, sendirian, dengan Luan sebagai satu-satunya perlindungan dan pengabdiannya, sampai akhirnya ia berhasil memenangi hati sang Raja lewat karya-karyanya. Namun, hati sendiri terpaut, tertangkap oleh pengawas buku, ahli memantau tulisan dan hitungan yang begitu piawai tapi canggung (yang kejujurannya hampir saja menangkapnya) tepat di markas militer penjajah yang menghancurkan tanah airnya.
Ditentang hampir semua orang, mereka menikah dalam kesederhanaan. Hampir semua hadiah Raja mereka tolak atau berikan kepada orang lain. Hampir tiada yang mengetahui bahwa mereka memperoleh restu dari Raja. Akan tetapi mereka hidup bahagia.
Setahun kemudian, lahirlah putra pertama mereka Fyure. Lalu, Miar, Asyu, kemudian Kokru dan akhirnya Wander. Jumlah mulut yang harus diberi makan mulai bertambah, bersyukur ia memiliki suami yang sangat teguh, meski kadang sangat keras kepala.
Seiring tahun-tahun berlalu, fitnah dan kabar burung liar mulai mereda dan membisu, namun tidak lenyap sama sekali, ketika ia terus menenun satu mahakarya ke mahakarya berikutnya untuk Sang Raja sesuai kewajiban dan janjinya.
Sementara itu, kecakapan dan integritas Likuun mulai makin teruji, kariernya mulai menanjak. Hidup mereka kini berkecukupan. Ia mampu menunaikan kewajibannya menurut Jalan Luan yang ia pilih, dan kepada Raja dan Kerajaan.
Ia bahagia, meski sadar penuh bahwa ia bukanlah ibu yang baik.
Gurunya sering berkata kepadanya, "Kamu itu terlalu mudah tenggelam dalam keasyikanmu. Kamu bisa meninggalkan apa pun, tidak menyadari apa pun selain karyamu setiap kamu mulai menenun."
Perkataan itu secara menyakitkan tepat sekali. Setiap kali ia mendapatkan inspirasi, segera ia akan mengasingkan dirinya dalam kamar kerja itu. Tidak seorangpun akan dapat bertemu dengannya, kecuali untuk mengantarkan makanan. Ia akan bekerja tanpa henti, begitu tekun, menyatukan dirinya dengan setiap tenunan dan helai Luan dalam sebuah perjuangan meniupkan napas kreasi ke dalam tenunannya.
Tapi, tiap karyanya selesai, ia selalu tersengat oleh rasa bersalah dan kesedihan yang begitu rupa, ketika ia menyadari bagaimana anak-anaknya harus berusaha sendiri dan menggeluti kehidupan tanpa dirinya. Meski ia sudah menasihati mereka semua untuk kuat dan mandiri, terutama karena mereka adalah keturunan dari darah Suku Selatan di Telentium.
Syukurlah, mereka semua adalah anak-anak yang kuat dan baik, meski tidak terhitung kesulitan, kebencian, yang telah mereka hadapi bukan karena kesalahan mereka, namun karena paras dan ibu mereka.
Ia menyadari benar betapa tidak berdaya dirinya. Tapi, ia harus menjadi kuat demi menguatkan mereka pula. Terutama Wander, yang selalu lemah dan sakit-sakitan dari kecil, dan sekarang penuh dengan luka dan balutan. Ia selalu mengkhawatirkan anaknya yang satu ini, bahkan di dalam pengasingan dan konsentrasi yang dalam.
Apa kiranya yang telah terjadi selama tiga bulan ini?