Ia memeluk Wander yang duduk di atas pangkuannya. Ketiganya masih asyik menonton tenunan terbaru itu penuh kagum, ketika ia menanyakan, "Ada yang ingin kamu bilang sama pada Ibu, Wuan?"
Wander diam, meskipun Kokru tampak ingin bicara, tapi Ibunya membuat ia terdiam dengan tatapan yang tajam.
"A… aku… s-sudah buat ibu kecewa… Ibu…." Wander mulai menangis, "A-aku gagal… tak berguna… Maafkan aku Ibu… Maaf..."
"Huss… Jangan bicara seperti itu. Ibu sayang padamu. Sayang sekali, Nak," Ia memeluknya penuh cinta kasih.
Wander terus menangis dan meminta maaf, tetapi ibunya terus mengatakan bahwa beliau menyayanginya apa pun yang terjadi.
Ketika akhirnya Wander tenang kembali, ia menceritakan kisahnya dari awal, "W… Wuan benci guru Rijeen Wuan, Bu."
"… Bukankah ia Guru abangmu juga?"
Wander mengangguk, "T-tapi ia selalu mengajarkan kami untuk berkelahi. Memukuli satu sama lain, saling pukul teman sendiri…. Aku tidak mau itu! K-ketika aku tolak… Ia selalu membentak dan memukulku."
Wajah Chiru'un sesaat membesi.
Kokru bicara, "Wuan melarikan diri dari perguruan suatu hari, Ibu. Ayah dipanggil dan Wuan dikeluarkan. Kak Fyure masih berlatih di sana," Ia menambahkan dengan rasa bersalah, "Ia malah suka dengan guru itu."
"Ayah… lalu carikan aku guru berikutnya… Orangnya baik… tapi… Maafkan aku, Ibu…"
"Apa yang terjadi?"
"Anak-anak Guya, Bu!" Kokru berkata dengan marah, "Anak-anak dari mereka yang membenci Ayah. Mereka mengatakan pada Guru Wuan bahwa Wuan mencuri barang-barang. Mereka jahat! Mereka memasukkan kotak wewangian milik Gurunya ke tas Wuan…."
Chiru'un bertanya lembut, "Benarkah? Lihat ke mataku, Wuan! Benarkah?"
Wander menatap mata Ibunya dengan teguh meski sesenggukan.
Ibunya mengetahui langsung kebenaran yang memihak ketegaran anaknya itu.
"Maafkan Wuan, Bu." Anak itu kembali berkata, penuh rasa bersalah.
"Huss…. Kenapa kamu terus bilang begitu? Ibu tahu kamu tidak bersalah. Ibu bangga sekali padamu."
Mata mereka saling bertemu. Chiru'un memeluknya, "Kamu hanya sedang bernasib buruk…. Jangan salahkan dirimu. Kamu tidak bersalah."
Ibunya tahu bahwa Wander merasa begitu bersalah sudah dikeluarkan dari sekolah dua kali. Wander mulai menyalahkan dirinya untuk hal-hal yang ia tidak lakukan. Ia merasa sangat malu karena terus dikerjai hingga apa yang bisa ia katakan hanyalah meminta maaf.
Wander membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan ibunya yang hangat. Ia telah bertahan begitu lama selama tiga bulan yang begitu panjang hanya untuk saat ini. Rasanya begitu lega, hingga ia menangis, mengeluarkan semua isi hatinya yang terpendam.
Wander perlahan menceritakan cerita sisanya. Setelah dipermalukan dua kali oleh anaknya, Ayah Wander tidak mengijinkan Wander untuk belajar di perguruan Rijeen lagi. Ia mendaftarkan Wander di sekolah menulis. Sejak hari itu, Wander selalu dipukuli hampir setiap hari. Kokru tidak bisa menjemput Wander tepat waktu karena ia sedang belajar di perguruan lain.
"Aku akan berhenti dari sana, Bu," Kokru berkata.
"Tidak! Tidak akan! Jangan Kak!" Wander menukas, "Beritahu Kakak jangan Bu! Kakak suka sekali Rijeen!"
Ilmu bela diri atau seni olah tubuh dianggap sebagai seni paling unggul pada jaman itu. Karena itu diberi julukan singkat sebagai Rijeen. Atau Raja (Rij) dari semua ilmu (ileen), seni, atau keterampilan.
"Dan kamu, Wuan… Kamu tidak suka bela diri?"
Wander membisu. Ia menunduk dan terisak.
"Kamu suka Rijeen?"
Wander memeluknya, dan Ibunya bisa merasakan anaknya mengangguk di dadanya.
"Kalau begitu… Wuan, katakan apa keinginanmu? Ibu akan membantumu, jika kamu bisa mengambil segenggam kecil saja keberanianmu… Ibu akan selalu mendukungmu."
"A-aku sayang Ayah… Betul-betul sayang. Aku tidak bisa bilang…."
"Bicaralah padanya. Ia memang terlalu sibuk untuk mendengarkanmu. Tapi ia tidak akan bisa mendengarmu jika kamu tidak bicara. Kesempatan akan datang padamu segera," Ia mencubit dagu Wander dengan lembut, sebelum ia bangkit dan berjalan ke arah tiang penjepit. Ia lalu melepaskan tenunan kain itu dan menyelimuti Wander dengannya. Tenunan itu begitu ringan, lembut, dan wangi.
"Kamu adalah anakku yang paling kuat dan tersayang…. Guru mana pun di dunia ini pasti menerimamu. Kamu cukup jadi dirimu, jujur mengatakan apa yang kamu mau… Dengan anggun dan berani, seperti Alkala Cassan."
Wander sejenak terpukau. Tetapi lambat sekali, ia akhirnya mengangguk.
Kejadian itu dimulai dengan makan malam yang dipenuhi kegembiraan. Alkala Cassan digantung di ruang keluarga dan menarik kekaguman tak terkira dari anggota keluarga yang lain. Tetapi yang paling penting: Ibu telah kembali. Fyure tidak bisa diam, terus menceritakan apa yang terjadi padanya selama tiga bulan terakhir. Dua kakak perempuannya yang terakhir juga berebut perhatian dan pujian dari Chiru'un dalam hal memasak dan menenun. Wajah Likuun Noel Oward, sang Ayah, tampak begitu gembira melihat istrinya. Sementara, Kokru dan Wander hanya duduk tanpa banyak bersuara.
Semua orang melihat balutan dan bengkak di wajah Wander. Tapi meski melihatnya, Fyure dari awal sudah berpikir bahwa semua itu adalah kesalahan Wander sendiri. Kakak-kakak perempuannya, seperti biasanya, enggan membicarakan hal ini.
Sementara ayahnya kembali teringat akan fakta buruk bahwa yang terluka itu adalah anaknya, darah dagingnya. Akan tetapi, ia tidak punya daya untuk berbuat apa-apa, dan lagi ia terlalu marah pada Wander. Ia sekarang berpikir bahwa Wander adalah anak yang liar dan tidak tahu sopan santun, bahkan pada guru-gurunya. Anak yang telah mempermalukannya dua kali hingga ia bersumpah tidak akan menarik kata-katanya lagi: tidak ada lagi Rijeen untuk Wander!
Tepat demikianlah yang sebenarnya telah diduga Wander mengenai sifat dan sudut pandang Ayahnya. Lagipula, ia terlalu takut dan segan untuk berbicara padanya. Sesungguhnya, merupakan kesalahannya waktu ia melarikan diri dari perguruan pertamanya.
Itu adalah salahnya. Tapi ia bertekad memecahkannya sendiri. Sebuah pelajaran lain yang telah diajarkan Ibundanya. Ia harus menjadi kuat, hingga ia bisa melindungi dirinya sendiri, Nalia, Kakaknya, dan bahkan keluarganya. Ia ingin belajar dari seorang Guru lagi… Tapi siapakah yang mau mengajarkannya setelah kejadian buruk begini? Setelah namanya sudah masuk buku hitam? Jangankan mencari Guru lain, apakah Ayahnya akan mengijinkannya sebuah kesempatan terakhir?
Ibunya melirik ke arahnya setiap ia sempat, demikian juga Kokru. Keduanya terus memberikannya dukungan.
Ia tahu pada akhirnya, semua kembali bergantung padanya; Sebuah pelajaran kehidupan lainnya yang ia pelajari dari rasa sakit dan derita. Demi cita-citanya.
Wander tidak bisa lagi mengelakkannya. Ia sebentar lagi akan menghancurkan suasana makan malam yang sangat bahagia itu.
Tetapi ia harus melakukannya.
Tidak ada yang bisa disalahkan, dan ia merasa bahwa ia merasa lebih baik mati daripada hidup seperti ini setiap hari. Ia tidak ingin dianiaya lagi.
Ia ingin menjadi kuat, untuk melindungi dirinya dan keluarganya.
Umari'l Waya
Makan malam itu merupakan acara yang paling menyenangkan dalam beberapa bulan terakhir, bahkan mungkin dalam beberapa tahun. Likuun, yang baru pulang ke rumahnya, capek total dengan segala pekerjaan yang membuatnya pusing, dan urusan yang tidak menyenangkan seharian penuh, menemukan istrinya sudah keluar dari pengasingannya. Sebuah maha karya baru telah dibuat, dan semua anak-anaknya tersenyum bahagia. Ia juga demikian. Akhirnya tempat curahan hati dan perasaannya telah kembali di sisinya.
Makan malam itu sempurna. Makanannya luar biasa sedap dan anak-anak sangat bahagia melihat ibu mereka. Ketika ia melihat hasil karya istrinya, ia sekali lagi merasa demikian bingung kenapa istrinya setuju menikahinya pertama kali. Istrinya itu begitu jenius, berbakat! Ia memuji-mujinya terus sambil tidak bisa menghilangkan rasa rendah diri dalam hatinya.
Istrinya itu tersenyum padanya dan berbicara dengan lembut. Ia merasa bahwa ia tahu apa yang ia pikirkan, dan ia merasa malu tapi bahagia sekali.
Makan malam itu begitu sempurna. Sampai....
Anak bungsunya memecahkan pembicaraan yang ramai dan ceria itu, berdiri dan mengucapkan kata-kata itu, bagaikan pisau panas menembus mentega tanpa ampun.
"Ayah… Kumohon, izinkan Wuan belajar Rijeen..."