Likuun akhirnya bisa mengucapkan kata-kata yang begitu membebani jiwanya,"T-tuan… Kami di sini, ingin memohon bantuanmu. Anakku, Wander… Ia ingin belajar ilmu bela diri. Jadi, kumohon, Master, sudikah mengajar anakku?"
Akan tetapi kata-katanya hanya membentur keheningan. Likuun praktis tidak dihiraukan baik Kurt maupun Wander, karena keduanya mendadak terlibat dalam pertarungan adu tatap yang begitu seru tanpa suara.
Di mata orang tua itu terlihat pantulan wajah Wander dan begitu pula sebaliknya. Tidak ada satu katapun yang diucapkan, akan tetapi entah kenapa suasananya begitu tegang. Likuun bahkan merasa dadanya bagaikan sedang ditusuk-tusuk jarum. Ia dengan sungkan bertanya lagi, tapi Kurt masih diam saja, mementalkan kata-katanya dengan terus menatap Wander dengan tajam.
Pertandingan aneh itu terus berlanjut. Dahi Wander mulai berkeringat deras, tapi ia terus menatap tepat ke mata Kurt. Ia bahkan hampir tidak berkedip. Wajahnya tampak begitu polos menentang, sementara wajah Kurt bagaikan digurat dari batu granit. Likuun tidak tahu kenapa, tapi ruangan itu terasa dua kali lipat lebih panas. Keringatnya pun mulai bercucuran, akan tetapi baik Kurt maupun Wander belum bergeming.
Akhirnya bocah itu dipaksa berkedip-kedip ketika sebulir keringat jatuh tepat ke matanya. Konsentrasinya buyar, dan ia terbatuk-batuk sebelum tawanya meledak. Anehnya, Kurt juga ikut tertawa. Baik orang tua dan anak kecil itu tertawa berderai-derai.
Likuun tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ia bingung setengah mati. Sementara Kurt menyadarkan sebuah sapu tangan, yang digunakannya untuk mengusap keringat wajah dan tengkuk Wander.
Anak itu malah menurut dengan senang seperti seekor anak anjing yang sedang diusap-usap.
"Erh... Tuan Kurt... A-aku..."
"Aku mendengarmu," Kurt meraih cawan tehnya dan menenggaknya. Tangannya agak sedikit gemetaran.
"Bisakah kuminta kau berjalan-jalan di tamanku untuk beberapa lama, Tuan yang baik? Ada beberapa hal yang harus kubicarakan langsung dengan anak muda ini. Sendirian."
Likuun tampak enggan, kaget, dan juga bingung. Tapi melihat keyakinan Wander dan anggukannya, juga tatapan mata Kurt yang menyorot tajam, Likuun akhirnya menyerah. Ia berjalan ke arah pintu keluar, begitu tidak yakin dengan apa yang terjadi, lalu keluar setelah menoleh ke arah Wander sekali.
Setelah ayahnya pergi, Kurt segera bertanya, "Kenapa kamu ingin belajar Rijeen?"
Wander menjawab lugas, "Untuk menjadi kuat! Aku ingin melindungi diriku dan keluargaku!"
Sesuatu meluap dalam dirinya, hingga ia tidak bisa berhenti berbicara saat itu. Seakan ia begitu bertekad membuktikan bahwa ia memiliki alasan. Ia bercerita pada Pengejar Mimpi itu mengenai dirinya, bagaimana ia dikeluarkan dari dua perguruan sebelumnya, dan bagaimana ia dikerjai oleh anak-anak itu. Bagaimana ia tidak bisa memberitahukan pada ayahnya, membuat kakak dan ibunya begitu khawatir, hingga bagaimana ia bisa sampai ke sini.
Kurt mendengarkan dengan penuh perhatian. Antusiasme, kesedihan, tekad Wander yang demikian jujur dan dalam diam-diam menggerakkan hatinya. Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang harus ia pastikan.
"Jika kamu sudah jadi kuat, apakah kamu akan membalas dendam pada anak-anak itu?"
Wander diam untuk beberapa saat, berpikir, sebelum ia berkata dengan lembut, "Tidak. Aku tidak akan membalas dendam."
"Kenapa? Bukankah mereka telah menindasmu? Harus ada keadilan untuk semua kejahatan mereka."
"Aku tidak pernah ingin melukai siapapun. Aku tahu betapa buruknya sakit… derita… kepedihan. Begitu sengsara… tak berdaya… gelap… aku tidak ingin orang lain merasakannya juga. Aku benci mereka, benar-benar aku benci! Tapi aku tidak akan membalas mereka…"
"Kadang rasa sakit bisa membuat orang seperti mereka jera. Kenapa kamu tidak berharap bisa mengajarkan mereka bahwa dipukuli itu rasanya begitu menyakitkan?"
"Kalau hatiku sudah siap, aku mungkin mau melakukannya. Tapi saat ini… aku tidak...."
"Apa maksudmu 'jika hatimu sudah siap'?"
"Hatiku sekarang… gelap dan terluka. Kebencianku begitu kuat… Aku juga ingin belajar menghilangkannya. Jika benar aku akan jadi kuat, aku tidak akan melukai siapapun hanya karena aku mau. Aku tidak ingin menjadi sombong dan jahat… Tapi aku juga tidak ingin jadi lemah lagi! Aku harus jadi kuat!"
"Mereka akan menyerangmu. Begitu ganas. Mungkin mereka akan membunuhmu." Kurt memperingatkan.
"Aku akan membela diriku. Aku akan berusaha keras tidak melukai mereka."
Selama percakapan itu, mata Kurt terus menatap Wander; berusaha melihat apakah ada kebohongan besar atau kecil, apakah ada niat tersembunyi atau emosi yang terpendam. Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kejujuran. Apa yang begitu mengagetkannya bukanlah kecerdasan anak itu, melainkan kedalaman sifatnya yang membuat Wander sadar akan kuasa kegelapan dan cahaya yang berada dalam jiwanya, yang terus bertempur berusaha untuk membentuknya.
"Untuk bisa bertahan tanpa melukai, kau harus menjadi kuat. Benar-benar kuat. Lebih kuat dari semua anak itu digabung! Perlu usaha yang paling keras. Apakah kamu siap untuk itu?"
Wander berdiri, "Aku akan melakukan apa saja untuk menjadi kuat! A-aku… ingin belajar! Ajarilah aku, Guru!"
Momen berikutnya tidak ada yang bicara. Keheningan dahsyat seakan melalap habis seluruh ruangan itu. Hanya ada tatapan yang memancarkan seluruh asa dan makna dari si bocah maupun si orang tua.
Kurt mendadak bangkit dan berkata, "Mendekatlah, Nak."
Wander menurut. Kurt mulai memeriksa tubuhnya. Wander mengejang saat luka-lukanya disentuh, tapi Kurt tidak berhenti. Ia terus memeriksa dengan teliti keadaan tubuh Wander mulai dari susunan tulangnya, bahu, pinggang, leher, kepala, sampai ke jari-jarinya.
"Kamu sering demam? Demam yang sangat tinggi? Gelombang kejang dan rasa sakit? Sepertinya tubuhmu serasa mau meledak?"
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah ya.
Wander begitu takjub dan bingung. Bagaimana mungkin Kurt tahu?
"Tapi itu waktu aku masih bayi… sampai umur lima tahun. Sekarang… sudah jarang. Paling banyak sekali sebulan... kadang dua bulan sekali."
"Lukamu dari anak-anak itu... Berapa lama sembuhnya?"
"Satu atau dua hari," ia menjawab.
"Tapi kamu selalu merasakan demam sebelum pulih benar bukan?"
"Ya. Kadang ringan kadang besar… Tapi dari mana Guru tahu?"
Tapi Kurt tidak menjawabnya. Ia terus bertanya, "Sering merasa kedinginan waktu musim dingin?"
"Tidak. Baju musim dingin Ibuku paling hangat sedunia."
Kurt tertawa lebar mendengar komentar itu, "Tentu saja. Pertanyaan bodoh. Kapan kamu lahir?"
"Sebenarnya, hari ini… ulang tahunku. Hari ini aku delapan tahun," Wander berkata dengan bangga.
"Benar-benar hari baik. Pukul berapa kamu dilahirkan?"
"Ibu bilang aku lahir saat fajar. Pukul empat."
Kurt tampak hanyut dalam pikirannya sendiri saat mendengarnya. Tapi apa pun yang ia pikirkan tidak sempat Wander duga, karena ia telah bertanya lagi, "Sekarang buka mulutmu dan bilang 'Aaaaa'"
Wander melakukannya dan Kurt melihat ke dalam rongga mulut Wander dengan bantuan cahaya lampu minyak. Ketika ia selesai, mendadak ia memencet bagian punggung Wander dekat tulang belakangnya. Saat itu juga, Wander merasa tubuhnya seakan disengat listrik! Seluruh rambut di tubuhnya sontak berdiri, tapi anehnya ia merasa begitu nyaman, bahkan begitu lega. Butir-butir keringat sebesar biji jagung bercucuran dari tubuhnya, dari ujung kepala sampai ke kaki.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Sesuatu… mengalir di dalam… Seperti air panas di bawah kulitku… di dalam… meluap…"
Kurt membiarkan Wander menikmati sensasi itu selama beberapa menit, sebelum ia menotok punggung Wander kembali. Kali ini, Wander langsung roboh ke lantai, tubuhnya terasa bagaikan tak bertulang. Kurt dengan cepat mendudukkan Wander ke kursi dan memijatnya. Beberapa menit berlalu sebelum Wander baru merasa bisa bergerak lagi, dan Kurt memberikannya semangkuk besar teh.
"Kamu akan baik-baik saja. Minum dulu."
Mangkuk teh itu segera kosong. Kurt menyorongkan mangkuk kedua, karena ia tahu Wander sangat haus. Wander terus minum cairan mujarab itu, seakan bersaing dengan keringat yang menetes deras meninggalkan tubuhnya. Setelah mangkuk keempat, Wander belum pernah merasa begitu segar. Ia menatap Kurt dengan begitu takjub: Demi Divara, apa yang baru ia lakukan?
Kurt membuka jendela kabin itu, lalu memanggil ayah Wander untuk masuk ke dalam.
Likuun segera masuk. Dengan gugup ia bertanya, "Bagaimana, Master?"
Setelah meyakinkannya untuk duduk terlebih dahulu, Likuun akhirnya memperhatikan Wander sedang mencoba berjalan keliling ruangan, agak lemah tapi begitu riang dan segar. Likuun begitu keheranan, "A-apa yang Master lakukan?"
Kurt tidak menjawabnya. Ia hanya menuang teh lagi ke cangkir.
Setelah semuanya duduk lagi, ia mendadak membungkuk, "Jika kamu masih mau mempercayai tua bangka tak berpendidikan ini, maukah Tuan membiarkan aku mengasuh dan menjaga anakmu? Dengan senang hati aku akan mengajarinya."
Wander langsung berdiri dan bersembah sujud ke Masternya. Ia berteriak begitu senang, "Guru! Master!"
Likuun berkedip-kedip selama beberapa saat, sebelum ia juga berlutut di samping anaknya, "K-kehormatan besar bagi kami, Master Kurt."