~Gravitasi membuat waktu bisa mengembang dan mengerut, tapi tak akan pernah kembali ke masa lalu. Semua akan pergi dan menyisakan kabut~
***
Author
Senyum gadis itu mengembang saat menangkap pemilik manik hitam itu mendekati kelasnya.
"Lama ya? "
"Banget. Gue sampe jamuran nungguinnya, Kak" canda gadis itu.
"Ah lo ada-ada aja. Udah ayok, " ajaknya. Kedua remaja itu berjalan beriringan mendekati parkiran dengan senyum mengembang di wajah keduanya. Semenjak Gamma mengantarkan Ero pulang saat itu, mereka malah menjadikan hal itu kebiasaan. Ya, walaupun baru ini hari pertama semenjak Gamma meminta gadis di sampingnya itu untuk berangkat maupun pulang bersamanya.
"Bawanya yang kenceng ya, kayak Lorenzo." pesan gadis berambut hitam itu setengah tertawa.
"Nanti kalo lo jatuh terus gue gimana? Eh, maksud gue itu... Gue kan repot nanti," cowok itu tak menyadari gadis yang sekarang berada dalam boncengannya tengah tersenyum.
"Bilang aja Kakak khawatir," sindir gadis itu membuat sang pelilik manik hitam menggigit bibir bawahnya.
Sebuah kedai bernuansa coklat terang memenuhi indra penglihatan gadis yang sudah berhasil turun dari motor. Ia mengernyitkan keningnya dengan sedikit memiringkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya cowok yang ikut bingung karena melihat ekspresi gadis yang sekarang sedang menarik tali tas ranselnya.
"Gue alergi kacang, " jawabnya dengan wajah memelas.
"Hah? Ya ampun. Udah ayo naik sekarang, kenapa gak ngomong sih? "
"Lah, Kakak juga gak bilang kalo mau ajak ke sini," cowok itu mendesah lelah.
"Ya udah sekarang lo mau ke mana? "
"Hemm. Coklat,"
---
Gadis itu menyeruput hot chocolatenya sambil menatap jendela yang berada di samping mejanya. Ia menatap langit biru dengan gurat putih yang membuatnya tampak semakin indah.
"Hem, gimana workshopnya?" Suara itu membuat netra abu-abu milik gadis imut itu berpaling dan menatap wajah cowok yang ada di depannya.
"Ya gitulah," katanya sambil menggedikkan bahu.
"Kayak dulu lagi ya?" Gadis itu hanya mengangguk dan memilih menundukkan kepalanya dan mengaduk cairan berwarna coklat kental di sebuah cangkir.
"Gue harap lombanya bakal lebih baik lagi, lagian kan baru workshopnya" hanya helaan napas yang terdengar di sana. Bahkan gadis itu masih saja menunduk.
"Gue jadi inget waktu lo gak boleh masuk arena sama tim lo, terus lo masuk sama gue dan gue permaluin lo karena gue salah ambil batere," Apa yang baru saja dikatakan cowok itu membuat sang netra abu-abu mendongak dan menarik sudut bibirnya.
"Kakak masih inget?"
"Ya ingetlah. Terus, waktu lo gak mau makan dengan alasan males, gue pikir lo bukan males, cuman kesel aja sama mereka. Lo males ngeliat wajah mereka kan?" Gadis itu tersenyum kecut. Seperti ada yang mencubiti sesuatu yang ada di dalam sana. Ya mengingat salah satu yang ia sukai harus dirampas begitu saja oleh orang lain yang bahkan baru ia kenal.
"Kok Kakak tau?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Kakak kan peka."
"Peka apa terlalu baper?" Tawa mereka pecah. Mendadak suasana yang melingkupi kedua insan itu mulai menghangat, tak ada lagi rasa canggung di antara keduanya. Bahkan, Gamma yang terlihat dingin nyatanya begitu hangat dan dengan mudahnya membuat sang abu-abu tertawa dengan wajah yang sesungguhnya.
Tak jauh dari meja kedua insan itu, sepasang mata menatap sendu ke arah keduanya.
"Kenapa pas gue mulai deket cowok itu malah ngedeketin juga?"
***
Ero tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum berbalik dan mendapati mobil hitam yang ia kenal terparkir rapi di garasi. Senyumnya mulai memudar. Ia mendekati pintu dan segera membukanya tanpa perlu mengetuk.
"Kok baru pulang jam segini?" Suara itu melunak. Namun, tetep membuat sang pemilik netra abu-abu mencengkram ujung seragamnya penuh kesal.
"Kok gak dijawab? Ini lewat dua jam dari jam seharusnya kamu pulang. Masih kemana? Kok gak ngomong sama Papa?"
"Sejak kapan Anda peduli pada saya? Sejak kapan Anda memperhitungkan jam pulang saya?" Tajam dan dingin dalam waktu bersamaan membuat lawan bicaranya tertohok seketika.
"Artemis," panggil pria paruh baya itu melembut.
"Jangan panggil saya dengan nama belakang saya. Anda paham?" Gadis itu mulai setengah berteriak namun tak menghilangkan kesan dingin dari nada bicaranya.
"Ero, ngomongnya kok gitu? Minta maaf sama Papa," Suara yang begitu Ero kenal tiba-tiba saja muncul. Gadis itu menatap Vani yang sekarang sudah berdiri di samping pria itu. Ia tak berniat melakukan apa yang baru saja ia dengar.
"Tumben Mama sama dia ada di rumah," katanya dingin dan segera menapaki anak tangga untuk segera ke kamarnya tanpa memedulikan panggilan dua orang yang berada di belakangnya.
Tangis itu pecah. Ia luruh sesaat pintu kamarnya tertutup rapat. Ia tak bisa menahan kakinya agar tetap menopang tubuhnya. Bahkan sekarang ia tersungkur di sebelah ranjang miliknya. Wajahnya basah karena butir bening yang terus mengalir dari mata mungilnya.
***
"Dandi juga yang ngajarin kamu pulang telat?" Suara itu membuat Gamma mengeraskan rahangnya. Ia mencoba menahan amarah yang semakin membuncah di dadanya.
"Atau Dandi tidak pernah mengajarimu caranya berbicara?"
"Cukup! Anda tidak memiliki hak untuk mencacinya!" Suara berat Gamma mulai terdengar di ruangan itu.
"Gamma!" Suara dari wanita yang begitu ia sayangi membuatnya menghela napas panjang. Ia berbalik untuk segera ke kamarnya.
"Mama gak pernah ajarin kamu kek gitu. Papamu juga gak pernah dan kenapa kamu kek gini?" Suara itu mulai terdengar bergetar.
"Mama kenapa sih gak pernah ngertiin Gamma? Dia yang gak ngehargain Papa. Jadi buat apa Gamma ngehargain dia?" Ia berbalik lagi dan kini suaranya ikut bergetar.
Plaak
Tamparan dari wanita yang begitu kau sayangi pasti rasanya begitu menusuk. Pemilik manik hitam itu mengusap pipi kirinya sambil tersenyum kecut.
"Oke kalo itu yang Mama mau," cowok itu segera berlalu. Ia membanting pintu kamarnya.
Pemilik manik hitam itu menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit, tangannya masih mengusap pipi kirinya bukan karena sakit di pipi yang ia rasakan tapi sakit pada sesuatu di dalam sana. Sakit hingga ia tak tau cara membedakan yang benar dan salah saat ini.
Ini gila, Mama nampar aku cuman gara-gara dia!
Ia memejamkan matanya. Pikirannya melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu.
"Papa mau ke mana?" Gamma kecil menarik ujung kemeja pria yang ia panggil dengan sebutan Papa.
"Papa harus nemenin orang lain," jawab pria itu lengkap dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Terus Papa ninggalin Gamma sendirian?" Anak itu masih merengek dan tak membirkan Papanya pergi.
"Kan masih ada Mama, sayang. Nanti juga bakal ada Om Tomi yang bakal nemenin Gamma,"
"Nggak, Gamma mau ikut Papa. Gamma gak mau sama Mama, Pa. Gamma mau sama Papa," tangisnya dalam pelukan sang Papa. Namun, pria itu memilih mengurai pelukannya dan masuk ke mobilnya yang mulai meninggalkan pelataran rumah bercat biru itu.
Papa.... Papa....
Cowok itu membuka matanya sambil menggeleng.
"Kenapa Papa biarin aku sama mereka, Pa?" gumamnya.
"Gamma mau sama Papa!"
***
Yak, jadi gimana?
Komen
Kritik
Saran
Vomment juga ya:*