~Bahkan sebuah peristiwa terkadang lebih menyakitkan daripada terjebak dalam singularity blackhole walau kau tak pernah tau sesakit apa berada di sana, bayangkan saja~
***
Author
Gadis itu turun seraya menyampirkan ranselnya ke bahu kanan. Baru akan membuka mulutnya untuk sekedar bertanya kepada Bi Min apa menu sarapan kali ini, ia kembali mengatupkan bibir mungilnya.
"Ero berangkat, " pamitnya tanpa berniat mendekati kedua insan yang sedang menikmati sarapan di meja makan.
"Ero makan dulu," panggilan lembut itu membuat gadis mungil itu menggentikan langkahnya tanpa berniat memutar tubuhnya.
"Takut telat," katanya datar dan langsung berhambur ke luar rumah. Senyumnya mengembang saat melihat seorang cowok sedang duduk di motor hitam sambil memainkan jarinya untuk mengobati kebosanan.
"Loh, sudah? Tumben cepet," katanya pemilik manik hitam itu sambil menaikkan kedua alisnya.
"Ooo. Jadi kemaren-kemarennya lama ya?"
"Heem. Nggak gitu juga, maksudnya gak kayak biasanya. Udah ah, ayo naik." Gadis itu menurut dan segera memosisikan tubuh mungilnya di jok belakang, sesaat kemudian motor hitam itu melaju, derunya memecah keheningan jalanan pagi. Kecepatannya konstan membuat wajah gadis mungil yang sedang membenarkan posisi helmnya itu tersapu angin. Ia tersenyum sesekali merasakan kesejukan yang melandanya.
"Kok tumben cepet? Sudah sarapan?" Manik hitam itu menatap gadis yang sedang ia bonceng melalui kaca spionnya. Ia menangkap kepala gadis itu menggeleng, tatapannya malas.
"Kenapa? Kok gak sarapan? Bukannya lo olahraga? Nanti sakit gimana?" tanyanya khawatir. Namun, pemilik netra abu-abu itu malah tertawa, membuat sang manik hitam menghembuskan napasnya kesal.
"Malah ketawa. Awas aja kalo lo sakit ya," ucapnya menggebu-gebu.
"Kakak, tolong ya. Gak ada sejarahnya gue sakit gara-gara gak sarapan doang. Paling cuman laper bentar. Heboh banget sih lo," katanya masih dengan tawa.
Gadis itu turun sesaat cowok di depannya mematikan mesin motornya. Ia berusaha membuka pengait helmnya namun tak kunjung berhasil membuat Gamma geram melihatnya dan memilih membantu gadis itu melepas kaitan helmnya.
"Gue duluan ya, mau ganti baju." Gadis itu tersenyum membuat matanya semakin tak terlihat dan menambah keimutan yang ada dalam dirinya.
Cowok di hadapannya ikut tersenyum sambil mengacak-acak rambut gadis yang sekarang menatapnya kesal.
"Rambut gue jangan diberantakin," ucapnya dengan alis hampir tertaut dan pipi yang menggembung membuat Gamma ingin sekali mencubiti pipi yang lebih mirip bakpau itu.
"Abisnya lo imut banget sih. Udah sana,"
***
Sang hazel memasuki area parkir saat melihat seorang gadis mungil berusaha turun dari sebuah motor hitam yang dikemudikan cowok bermata hitam legam itu. Ia menghela napas panjang saat tangan cowok itu bergerak untuk membantu melepaskan kaitan helm gadis dengan netra abu-abu itu. Ia menggeram saat kembali melihat tangan cowok itu mengacak-acak rambut gadis mungil dengan rambut hitam kecoklatan itu. Tanpa sadar, ia meremas kemudi dan memukulnya. Matanya menangkap punggung gadis itu yang mulai menjauh. Sang hazel segera turun dari mobilnya dan mulai melangkahkan kakinya, sempat manik hazelnya menangkap senyum yang tergaris di wajah cowok yang baru saja tertawa bersama gadisnya.
Gue sabar kok. Sabaaaar..
Kedua sudut bibirnya terangkat saat maniknya kembali menangkap punggung gadis itu. Namun, gadis berambut hitam itu tak menyadarinya dan terus melangkahkan kakinya.
***
Gadis itu mendongak, menatap langit yang tak sepenuhnya cerah membuatnya menghela napas kesal.
"Gamma, Ro." Suara itu membuat sang pemilik netra abu-abu langsung mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan di sebelah kiri mereka yang berjarak cukup jauh. Netranya menangkap cowok dengan manik hitamnya sedang memainkan bola membuat sudut bibir gadis itu terangkat.
"Udah ngeliatinnya, ayo!" Tarik Rara membuat sang netra abu-abu menggeram kesal dan menyadari bahwa rinai mulai turun. Ia melepas genggaman Rara dan segera mendekat ke arah koridor di tepi lapangan.
Braaak
Gadis itu tersungkur sebelum mencapai koridor. Ia merasakan lututnya nyeri. Namun, yang lebih ia rasakan, tetes air mulai menyentuh tubuhnya. Ia terduduk di tepi lapangan tanpa berniat bangun dan mendekati koridor.
"Ro, ayo! Lo mau mandi hujan? " panggilan itu tak membuat sang pemilik netra abu-abu bergeming. Ia masih terlalu menikmati rintik yang mulai membasahi tubuhnya, benar-benar basah. Ia terisak di sana. Sakit itu mulai menjalari tubuhnya. Sakit mengingat masa lalunya.
Sebuah tangan menyentuh pundaknya tapi tetap tak membuat gadis itu bergerak sedikitpun.
"Lo katanya benci hujan?" Suara itu membuat sang gadis menoleh. Cowok dengan manik hitam legam itu menatap mata gadis di hadapannya yang terlihat memerah.
"Gue benci hujan! "
"Kalo lo benci kenapa main hujan?" Wajahnya semakin basah, membuatnya harus menyekanya berkali-kali. Berbeda dengan gadis di hadapannya yang tak berusaha menghindari apa yang ditimbulkan hujan.
"Gue bukan main hujan, tapi sekali gue kena hujan gue harus bertahan sampe hujan berhenti," ucapnya dan kembali menangis. Gamma menangkup wajah gadis itu.
"Dengerin gue, gue gak tau kenapa lo kayak gini. Tapi gue gak mau lo hujan-hujanan. Gue gak mau lo sakit," Gadis itu berpaling, membuat tangan sang pemilik manik hitam lepas dari wajah gadis mungil itu. Sang pemilik netra abu-abu memeluk lututnya untuk menghilangkan rasa dingin yang mulai menjalar dan menusuk tulangnya. Bibirnya semakin pucat. Namun, ia tak berniat pindah. Ingatannya masih terlalu kuat untuk membuatnya bertahan dalam keadaan ini. Ia membenci hujan tapi ia ingin selalu bertahan saat ia berada di sana. Ia tak ingin kalah oleh rintik kecil yang berlomba-lomba menjatuhkan diri di tubuhnya.
Gue gak bakal pindah! Gue kuat! Sekuat Papa.
Gadis itu memejamkan matanya, membiarkan rinai menggelayut manja di seluruh tubuhnya. Membiarkan sakit itu terus menyelusup ke setiap celah di dalam sana, menyisakan sesal dan kesal yang masih terpendam. Katakanlah ia egois tidak bisa menerima takdir, tapi ia punya cara sendiri untuk mengobati semua itu, walau harus membiarkan rinai menggerogoti tubuhnya untuk sesaat. Dan inilah Maurero Artemis yang sebenarnya, yang jauh dari tawanya, jauh dari senyum, dan riangnya.
Ia tersenyum tiap kali mengingat nama belakangnya. Artemis. Papanya bilang, itu nama dari seorang dewi mitologi Yunani, dewi perburuan. Dewi yang kuat dan selalu tegar, serta pemberani. Papanya selalu menginginkan dirinya selalu tegar, kuat, dan berani menghadapi setiap masalah yang ada. Walau sekarang, ia jauh dari apa yang Papanya inginkan. Ia rapuh, ia luruh, ia sakit menanggung semua ini sendiri.
Ia membuka matanya saat rintik semakin menghilang. Sebelah alisnya terangkat saat netranya menangkap pemilik manik hitam itu masih berjongkok di sampingnya.
"Kakak kok masih di sini?" tanyanya yang mulai memasang wajah cerianya. Topeng yang selalu ia pakai saat rinai tak menampakkan diri.
"Gue nungguin lo di sini. Hujannya udah reda. Ayo balik, lo kayaknya kedinginan" katanya seraya menjulurkan tangannya ingin membantu gadis itu berdiri.
Gadis itu tersenyum dengan bibirnya yang semakin pucat karena kedinginan. Ia meraih tangan cowok itu.
Dingin banget.
"Lo dingin bang... " ucap cowok itu terputus. Gadis di hadapannya sudah tergeletak di tengah lapangan dengan bibir pucat dan tubuh sedingin es. Cowok itu berusaha menggendongnya untuk segera membawanya ke UKS.
"Lo sih, gue bilangin juga suruh masuk. Masih aja hujan-hujanan. Mana lo belum sarapan. Dingin banget kan. Ero, jangan gini dong" gumamnya tanpa sadar.
***
Akhirnya update.
Maaf ya kalau kurang memuaskan
Kritik.
Saran.
Vommentnya jangan lupa ya.