~Senja menggores jingga dalam tenggelam biru, menarik sudut manis sang malam. Membuka harapan dalam kelam tak bersudut~
***
Author
"Lo yakin masih ada di jalan rencana lo?" Alfa tersenyum sambil menepuk bahu sahabatnya.
"Maksud lo?"
"Gue kenal lo dari masa lo masih merah, gue ngerti tiap perbedaan yang ada pada diri lo. Gak mungkin lo masih pada rencana lo ketika lo aja bingung cara ngomong sama dia," Alfa menatap Gamma lurus, sedang yang ditatap memilih menundukkan pandangannya.
"Seandainya dia gak masuk tim robotika gue pastiin rencana ini gak akan berjalan dan gue pastiin lo gak akan bersikap kayak gini cuman buat ngirim chat," Gamma masih pada posisinya, manik hitam legamnya terpaku pada layar ponsel yang menunjukkan riwayat percakapannya melalui sebuah aplikasi berbasis internet. Helaan napas terdengar dari sang pemilik manik hitam itu. Ia memejamkan matanya sejenak dan beberapa detik kemudian beralih menatap manik sahabatnya itu.
"Lo pikir gue mulai suka sama Ero?" tanyanya takut.
"Gue prediksi iya,"
Sebuah lengan merangkul Alfa, "Ayolah, lo kan tau gue gak semudah itu. Apalagi ini berhubungan sapa bokap gue. Dia juga bukan cewek istimewa, kan?" hibur Gamma yang lebih pada dirinya sendiri. Alfa melirik pemilik iris hitam itu melalui sudut matanya.
"Terserah lo,"
***
Binar bahagia terpancar dari manik abunya. Bibir mungilnya tak henti menyunggingkan gurat bahagia yang terealisasikan melalui sebuah senyum manis. Bahkan, langkahnya terlihat lebih riang. Ia kembali menatap layar ponselnya. Helaan bahagia terdengar begitu netranya kembali membaca deretan aksara yang ada di sana. Degup jantungnya bahkan masih belum bisa kembali normal. Padahal, ia sudah membaca pesan itu beberapa jam yang lalu. Ia bahkan tak sabar menunggu malam tiba.
"Mbak," panggilan itu membuat langkah bahagia gadis itu terhenti dan membalikkan badannya, mencari sumber suara yang ia duga memanggilnya. Netranya menangkap tubuh mungil milik Nata yang berjalan mendekatinya.
"Ya?" tanya gadis itu, masih tak bisa menghilangkan gurat bahagia yang terpancar dari wajah manisnya.
"Nanti malem, katanya Kak Iqbal kumpul di lab robot buat ngerakit robot yang belum selesai,"
"Yah, gue gak bisa nanti malem," binar manik abunya memudar.
"Kak Chardi katanya juga gak bisa Mbak. Gimana?" Wajah imut milik Nata tampak menyendu.
"Hem. Gimana ya?" Wajah gadis dengan rambut yang dikucir kuda itu tampak sedang mencari titik terang, bibir bagian kirinya ia gigit dengan taringnya yang tidak terlalu tajam, ditambah alis kiri yang naik sambil memainkan bola matanya, seperti memikirkan sesuatu. Wajah itu, membuat Nata harus menahan nafas berkali-kali demi meredakan degup jantungnya yang semakin tak normal.
Gadis dengan netra abu-abu tetap pada posisinya, membuat sang hazel semakin ingin mencubit pipi gadis itu yang melebihi volume pipi pada umumnya.
"Gimana kalau gini aja, lo gak usah dateng aja nanti. Gue bawa robotnya, gue yang mau rakit. Ya selesai nggaknya bergantung nanti. Gimana?" Suara itu membuat sang hazel menegakkan tubuhnya dan kembali pada alam sadar sepenuhnya. Tak lama, terlihat anggukan.
"Oke. Bisa tolong lo ambilin robotnya? Nanti anter ke parkiran ya, gue kasian sama yang pulang bareng gue. Takut nunggu lama," Nata hanya bisa mengangguk menanggapi perintah dari gadis di hadapannya. Ia melangkahkan kakinya menuju lab robot untuk segera memberikan komponen robot pada gadis yang sudah berhasil membuatnya senam jantung hari ini.
Sang hazel menyusuri lapangan dengan tangan kiri memegang toolbox dan tangan kanan memegang toples berisi komponen robot yang belum dirangkai. Ia mempercepat langkahnya mengingat gadis tadi masih menunggunya.
Pemandangan menyakitkan kembali tersuguhkan di hadapan manik hazelnya. Sebuah tangan yang menepuk puncak kepala gadis yang sekarang memunggunginya membuat sang hazel kembali menghela nafas. Ia secepat mungkin sampai di hadapan gadis itu, agar mereka berhenti melalukan hal yang membuat sang hazel semakin kesal.
"Ini Mbak, toolboxnya Mbak sama komponen robotnya," Suara itu membuat sang netra abu-abu membalikkan tubuhnya.
"Oh iya, makasih, Dek." ucapnya seraya mengambil alih dua benda di tangan kanan dan kiri sang hazel. Tubuhnya kembali ia balikkan, menghadap cowok yang sekarang sudah siap dengan motor hitamnya lengkap dengan helm yang sudah terpasang dan menutupi sebagian mukanya. Tangan cowok itu bergerak mengambil helm di depannya dan memakaikannya pada gadis di sampingnya.
"Ayo, naik"
"Susah," gadis itu menaikkan kedua alisnya, membuat cowok pemilik iris hitam legam itu tersenyum di balik helmnya.
"Lo bisa tolong pegangin satu bentar?" tanya Gamma saat menyadari sang hazel masih berdiri tegar di tempatnya. Sedang yang diajak bicara hanya bisa mengangguk dan mengamit toolbox dari tangan kanan gadis pemilik netra abu-abu itu.
Gamma mengulurkan tangannya sebagai pegangan saat gadis itu akan naik ke motor. Tepat ketika gadis itu nyaman dengan posisinya, ia berusaha mengambil toolbox dari Nata. Namun, sebuah tangan mengambil alih cepat dan meletakkannya di depan tubuhnya.
"Udah, gue taruk depan aja. Lo pegangan, takut jatuh," katanya. Membuat degup jantung sang netra abu-abu berdetak tak normal. Ia memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam perasaan hangat yang mulai menyelusup ke tiap celah di dalam sana.
"Kakak gak sulit nyetirnya? Itu di atas tangki lho," tanya Ero yang mulai bisa mengendalikan dirinya.
"Bisa, udah lo pegangan aja,"
Sang hazel memang mulai menjauh semenjak toolbox di tangannya diambil oleh Gamma. Namun, netranya masih menatap lekat gadis yang sekarang sedang memeluk toples berisi komponen robot dengan tangan kiri dan tangan kanan memegang erat jaket cowok di hadapannya. Deru napas sang hazel terlihat tidak teratur, bahkan terlalu cepat dari kata normal. Rasanya sakit, ia tak tau tepat dari mana sakit itu berasal. Yang ia tau, sakit itu teramat menyiksa hingga membuatnya benar-benar membanting pintu mobil.
***
"Kak, gue gak tau. Duh, Kakak mending cari model lain aja lah," ucap sang gadis, lelah karena sudah kesekian kali hasil fotonya kaku. Ia memang tak berbakat dalam beraksi di hadapan kamera.
"Kak, maaf ya. Mending Kakak cari yang lain aja," katanya lagi seraya mengusap bulir basah yang menuruni pelipisnya dan justru membuatnya semakin menarik.
"Ya udah istirahat dulu," Tangan cowok dengan manik hitam legam itu menggenggam tangan gadis yang tadi sempat memintanya mengganti model dalam fotonya. Ia menarik tangan mungil itu mendekati sebuah bangku taman, lengkap dengan meja yang menghadap ke tengah taman.
Tangan mungil milik gadis itu mulai bergerak mendekati toples dan toolbox yang ada di tengah meja. Matanya mulai menyipit, mencari sesuatu dalam toples.
"Kak, boleh kan gue sambil rakit robot?" tanya gadis itu sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Boleh, gue bantu ya. Rakitannya kayak apa?"
"Itu, di buku panduan. Ambil aja di toolbox," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari akrilik dan lem yang ia pegang.
Hening. Gadis dengan rambut kucir kuda itu masih tenggelam dalam transistor, akrilik, heatsink, lem, dan baut. Netranya seolah terpaku pada barang-barang itu. Membuatnya sangat sulit melirik, apalagi menoleh ke arah lain. Cahaya yang cukup membuatnya sangat nyaman melakukan aktivitasnya saat ini. Bahkan, mungkin saja ia melupakan jika di sampingnya saat ini ada seseorang yang juga mulai tenggelam dengan benda yang sama. Keduanya begitu mencintai dan menyukai apa yang sedang mereka lakukan.
"ATmega-nya dapet dari sana juga?" Manik hitam legamnya melirik gadis di sampingnya bersamaan dengan suara lembut yang keluar baru saja dan memecah keheningan yang sedari tadi menyelimuti tempat itu. Sudut bibir Gamma tertarik begitu saja saat menyadari gadis di sampingnya masih tenggelam dalam fokusnya. Gamma mengulum bibirnya menahan senyum yang semakin mengembang saat melihat wajah gadis di sampingnya yang terlihat begitu lucu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sambil menatap fokus pada sesuatu di genggamannya dengan alis bertaut, pelipisnya basah hingga membuat anak rambut yang terurai ikut basah dan menambah kesan keseriusan dalam wajah cantik itu. Gamma yang begitu tertarik, secara perlahan meraih kameranya dan mulai mengatur fokus, cahaya yang menyinari wajah gadis itu membuat penampilannya semakin memukau.
Ckrek...
Gadis itu menoleh pada sumber suara, netra abu-abunya menangkap Gamma yang sedang asik mengamati layar kameranya.
"Cantik,"
Ero menautkan kedua alisnya, tubuhnya ia condongkan berusaha melihat apa yang sedang Gamma lihat.
"Nih, bener kan. Lo itu cocok jadi model gue. Tanpa lo sadari, dari sudut mana pun, tanpa lo rekayasa. Lo udah kelihatan menarik. Foto ini bagus lho hasilnya," Memang tak dapat dipungkiri. Hasil jepretan Gamma memang begitu bermakna. Seakan sang fotografer ingin menunjukkan seorang gadis yang sedang berusaha menyelesaikan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Terlihat jelas di foto itu, pandangan Ero begitu fokus, ditambah cahaya dan pengaturan kontras yang semakin membuat hasil gambar semakin apik.
"Mulai sekarang, gue pastiin lo jadi model gue kalo gue pengen ikut lomba fotografer,"
"Eh?" Ero masih belum sepenuhnya sadar, baru saja ia mengendalikan degup jantungnya yang begitu cepat saat Gamma memujinya.
"Dan inget, lomba kali ini gue butuh 3 foto. Jadi, temenin gue buat 2 foto lagi,"
"Jadi, terus sama gue"
***
Acie Gamma. Ekhem Ero.
Aduduh.
Kritik
Saran
Ditunggu
Vommentnya juga