~Terkadang hanya untuk tersenyum saja kau perlu memakai ribuan topeng~
***
Author
Gadis itu beranjak dari meja belajarnya. Bukunya ia masukkan ke dalam tas berwarna biru tua. Netranya beralih ke pintu balkon, ia langkahkan kakinya mendekati pintu. Derit pintu terdengar di antara kesunyian, kakinya menapak di lantai balkon. Semilir angin menerpa wajahnya yang lesu. Kepalanya mendongak, menatap bintang yang sedang menemani bulan di langit malam. Mereka tak pernah sendiri. Memang dalam kesunyian, tapi tak pernah terpisah.
Gadis itu bergeser mendekati pagar balkon. Tarikan napas dalam begitu menusuk dirinya di malam hari. Hanya suara napasnya, angin, dan serangga yang menemani malamnya yang sekarang terbilang larut. Netranya beralih pada balkon yang berada di depan rumahnya, lampunya masih menyala. Mungkin sang pemilik masih belum terlelap. Pemilik itu Indah, sahabat gadis yang sedari tadi menikmati keindahan malam. Manik abu-abunya kembali menatap bintang. Ia merasakan ketenangan, sunyi. Ia menyukai kesunyian terlebih ketika Papanya meninggalkannya, ia lebih menyukai berdiam diri menikmati kesunyian daripada pergi dan menghabiskan tawa. Ia pikir tawanya sudah lama cacat, untuk sekadar mengangkat sudut bibir saja ia tak bisa sesempurna dulu, masih ada paksaan dari pusat pengendali tubuhnya.
Namun, kejadian tadi pagi. Semua yang ia lihat, yang ia dengar membuatnya berpikir kembali. Membuatnya harus mengingat mengapa dirinya bisa seperti sekarang. Apa ia terlalu berlebihan dalam menyikapi suatu hal? Bukankah itu haknya? Hak yang begitu alamiah untuk menanggapi apa yang terjadi padanya. Patutkan ia dikatakan berlebihan? Berlebihan seperti apa? Mereka, masalah mereka mungkin bisa dikatakan rumit. Namun, apa ia berhak menilai harus seperti apa sikap yang harus diambil oleh mereka? Ia tak berhak sama sekali! Begitu juga orang lain, mereka tak berhak memintanya melakukan sesuatu dengan mudah, karena perasaan itu berbeda. Sudah berapa topeng yang kalian lihat setiap harinya. Apa kebanyakan orang berpikir bahwa apa yang mereka lihat itu sama dengan apa yang dirasa? Terlalu bodoh untuk mengatakan hal itu. Tak perlu berpikir jauh, apa senyummu itu tulus ketika menyapa seorang guru atau orang terhormat yang berpapasan denganmu? Bukankah kau sedang memakai topeng kala itu?
Gadis itu kembali menghembuskan napas perlahan. Dilihatnya kembali balkon di depan rumahnya, kini cahaya yang tadi ada sudah gelap. Bahkan, di sekelilingnya rumah-rumah sudah mulai gelap, ia memilih melangkah masuk dan melupakan sejenak pikiran kalutnya agar ia bisa tidur dengan layaknya.
***
Laki-laki itu masih memainkan ponsel, maniknya masih terlihat segar walau badannya terasa sedikit sakit. Ia memilih berbaring di sofa ruangan putih itu. Tangannya kembali mengutak-atik benda kecil itu. Nampaknya ia sedang sibuk.
"Fikar," panggilan itu membuat sang manik coklat langsung terkesiap. Ia meletakkan ponselnya di meja dan segera mendekati wanita yang tadi memanggilnya.
"Fikar kira mama sudah tidur tadi,"
"Mama tidur tapi terbangun. Fikar kenapa gak tidur?"
"Oh, lagi mainin medsos, Ma. Hehe," jelas ucapan itu tak seperti yang ia lakukan. Sedari tadi ia mengatur jadwalnya sekolah dan mengurus urusan kantor, hanya saja ia tak ingin menambah beban pikiran mamanya.
"Oh, eh itu bibirmu kenapa lebam gitu?" Fikar mengutuk dirinya sendiri yang ceroboh. Seharusnya ia bisa menutupi luka itu seperti saat pertama Nata memukulnya, tapi luka kali ini memang lebih parah karena luka yang dulu saja belum sepenuhnya sembuh.
"Oh. Ini ya, Ma? Tadi Fikar kan ada pelajaran olahraga tuh. Terus materinya bela diri. Eh Fikar kena tonjok, belum sempet Fikar tangkis. Hehe. Emang kenapa, Ma? Muka Fikar jadi jelek ya?" Cowok itu memang terlalu pandai mengelabui mamanya. Ia tak ingin terlihat kaku saat memberikan alasan.
"Tapi bukan karena Nata kan?" Seolah masih tak percaya dengan alasan Fikar, wanita itu masih menanyainya.
"Nggak lah, Ma. Kan Fikar gak buat salah. Eh udah malem nih, Mama lanjut tidur gih. Fikar juga mau tidur, ngantuk. Hehe," pemilik manik coklat itu begitu pandai mengalihkan pembicaraan.
***
Laki-laki itu bergegas setelah turun dari mobil. Langkahnya begitu cepat. Ia tak peduli pada rasa kantuk yang masih mendera, seakan semuanya menguap berubah kekhawatiran.
"Mana Mama?" Langsung ia sambar dengan pertanyaan singkat itu kepada seseorang yang berpakaian jas putih yang sedang berdiri di depan ruangan Dina.
"Nyonya Dina sudah kami beri obat penenang, ia akan lebih tenang selanjutnya," jawab pria itu. Cowok itu segera masuk ke ruangan. Ia lihat mamanya yang tadi katanya meraung-raung, kini sudah lebih tenang, hanya isakan yang terdengar. Cowok itu mendekati wanita yang sekarang masih terduduk di tempat tidurnya sambil terisak.
"Mah, Mamah mau apa?" tanyanya lembut sambil memeluk mamanya yang masih bergetar. Wanita itu menggeleng lalu menangis lagi.
"Mama kangen siapa? Atau mama ketemu siapa?" Seakan tau apa yang menjadi penyebab mamanya mengamuk, cowok itu menanyakan siapa yang memenuhi pikiran mamanya. Namun, Dina malah semakin tidak berhenti menangis.
"Ma, iya iya sudah. Nata gak akan nanya lagi. Mama sudah ya, sekarang mama tidur. Nata temenin," cowok itu berusaha membaringkan mamanya. Lalu ia mengambil kursi dan duduk di sebelah mamanya. Ia menata rambut mamanya yang sudah terlihat kacau. Air mata yang tersisa di wajah wanita itu ia usap dengan tangannya. Wanita itu mulai terlelap. Sang hazel mengusap lembut kepala mamanya dan beranjak pergi.
Langkahnya cepat, ia ingin segera mengetahui apa yang baru saja terjadi. Dibukanya pintu yang ada di hadapannya.
"Silakan duduk, Nak Nata."
"Mama saya ketemu sama siapa tadi?" Seakan tak ingin banyak basa-basi lagi, sang manik hazel segera menyambar pria dengan pakaian dokter itu dengan sebuah pertanyaan.
"Duduk dulu, Nak." Nata menurut. Ia tak ingin lama-lama di ruangan ini.
"Beberapa jam yang lalu, nyonya Dina meminta perawatnya untuk keluar ruangan. Diajak ke taman. Di taman, tiba-tiba nyonya menunjuk ke arah laki-laki, perawat tidak tau itu siapa, tapi nyonya Dina malah menangis ketika ditanya. Akhirnya perawat bawa ke ruangan, tapi keadaan semakin memburuk," pria itu mencoba menjelaskan dengan baik dan berusaha tidak memancing emosi Nata. Tanpa sepatah kata pun, Nata pergi meninggalkan ruangan itu. Ia kembali ke ruangan Mamanya. Kini rahangnya mengeras, ia menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur mamanya. Tangannya mengelus puncak kepala wanita itu.
"Mama ketemu Fikar?"bisiknya lirih. Cowok itu menarik napas, menumpukan kepalanya ke tepian tempat tidur mamanya. Ia memejamkan matanya, harus kah mamanya bertemu dengan cowok itu lagi, ia ingin tau, bagaimana perasaan mamanya pada cowok itu dalam keadaan seperti ini.
.
.
.
.
.
Lanjut gak:v