Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 26 - Ungkapan Sesal

Chapter 26 - Ungkapan Sesal

Dalam lelapnya, Andre merasakan tubuhnya lelah. Lalu ia terbangunkan oleh suara tembakan di lantai atas sepertinya diikuti juga oleh suara jeritan seorang wanita yang sepertinya ia mengenalnya. Arash. Ya itu suara Arash. Dengan sigap ia membangunkan tubuhnya. Segera menuju keluar. Tapi, pintu itu tak dapat terbuka. Bagaimana cara membukanya?

Ia mencoba mengetuk pintu itu beberapa kali sambil berteriak, "Hei!! Siapapun yang ada di luar, tolong keluarkan saya!!".

Tapi usahanya tak berbuah. Hingga ia ingat, tentu saja pintu itu tak akan terbuka. Karena hanya bisa terbuka jika menggunakan lensa mata Max. Tapi itu cara jika ia membukanya dari luar. Tapi dari dalam? Bagaimana?

Ia terus berusaha mencari jalan keluar. Mencoba menelpon Max melalui telepon yang ada di kamarnya itu. Tapi tak juga diangkat. Ia mondar-mandir memikirkan cara untuk keluar. Dan tanpa sengaja, saat ia mondar-mandir itu, ia menemukan sebuah tangga besi menempel di dinding dekat tempat tidur. Awalnya, ia berpikir kalau tangga besi itu hanya digunakan sebagai pajangan atau mungkin tempat menggantungkan barang semacam handuk. Tapi setelah melihat ke bagian atas dari tangga itu. Ada sebuah pintu disana. Pintunya menempel di langit-langit kamar. Mempunyai pegangan. Tanpa pikir panjang lagi, Andre menaiki tangga itu untuk mencapai pintu yang dimaksud.

Tap..tap..tap....saat tangannya sudah siap untuk membuka pintu itu. Tiba-tiba.....Srettt....suara pintu kamar terbuka.

"Andre! Apa yang kamu lakukan?", tanya Max yang membuat Andre kaget dan terjatuh dari tangga itu.

Brukk.....

"Aww", rintih Andre sambil menyentuh bagian pinggangnya yang sakit.

Max mendekat ke arah Andre yang terbaring di lantai kesakitan. Kemudian Max menjulurkan tangan kanannya untuk membangunkan Andre. Dan Andre menerima uluran tangan Max lalu ia berdiri.

Max dengan tubuh tegapnya bertanya kembali pada Andre," Apa yang kau lakukan?".

"Aku tadi mendengar suara tembakan dan jeritan dari lantai atas. Aku hendak melihatnya, tapi aku tak bisa membuka pintu itu", jawab Andre sambil menunjuk pintu kamar Max.

Max mengacuhkan cerita Andre. Kemudian berjalan ke arah pintu kamar itu. Menunjukkan cara membuka pintu dari dalam. Botol yang terpajang di samping pintu itu diputar 90° oleh Max. Dan pintu pun terbuka.

"Begini.....", ucap Max pada Andre. Sebelum Max menyelesaikan ucapannya, suara di earphone yang terpasang di telinganya menghentikannya, " Pak Max cepat lihat ini".

Setelah itu, Max pergi lagi meninggalkan Andre. Dan pintu itu tertutup lagi. Diikuti botol di dinding itu yang memutar sendiri seperti semula.

"Ehh...tunggu!", kata Andre yang berlari menuju pintu namun terlanjur menutup. Tapi, ia sudah tahu caranya. Ia mencoba memutar botol itu, tapi... Kok pintu itu tak terbuka? Apa yang salah? Malah botol itu memutar lagi. Apa ia salah memutarnya? Ia mencoba memutar ke arah lain. Tapi tetap saja tidak bisa.

Berpikir, mencoba, berpikir, mencoba, usaha itu terus dilakukannya. Tapi tak ada yang berbuah. Ahaa,, ia ingat pintu di langit-langit kamar Max. Tadi ia belum sempat membukanya, ia akan mencoba itu lagi kini. Siapa tahu ada jalan keluar.

Satu,,dua,,tiga..Klek..pintu itu terbuka, Andre mencoba masuk ke dalam sana. Itu adalah lubang ventilasi. Ia merangkak menyusuri lubang itu. Tanpa ia sadari, lubang itu semakin besar bahkan ia bisa duduk tegak disana. Hanya beberapa meter ia berjalan, ia menemukan tangga menuju ke atas. Setiap beberapa meter ke atas, ada lubang ventilasi persis seperti yang telah dilaluinya waktu masuk.

Tap..tap....tap kakinya melangkah naik ke atas tangga, mencoba masuk ke lubang ventilasi satu lantai diatas ruangan tadi.

Saat ia merangkak, tanpa sengaja ia melewati ventilasi beralas ram kawat. Sehingga ia bisa melihat keadaan ruangan di bawah ventilasi. Ternyata itu adalah penjara tempat Beno dan yang lainnya dikurung. Tepat di ruangan bawahnya, ada seorang pria tengah diam terduduk, punggungnya tersandar di dinding kusam yang sepertinya sudah lama tak dicat ulang. Kedua mata Andre mengamati wajah di ruang bawah itu, rambut hitam itu tak asing baginya. Ia terus berusaha mengenalinya.

Pria di penjara itu tampak bingung, mencoba mencari jalan keluar, ia terus memejamkan mata, lalu menengadahkan wajahnya ke atas dengan kedua tangan terkepal di depan wajahnya. Matanya terbuka saat kepalanya masih tengadah ke atas. Melihat ada sesuatu yang aneh di pagar penghalang ventilasi. Seperti ada orang disana. Dan....itu Andre.

Andre yang menyadari kalau Beno lah yang ada disana dan memandangnya. Matanya terbelalak senang melihat Beno ada disana. Begitupun Beno. Ia senang bisa melihat Andre lagi. Beno memperhatikan situasi sekitar penjara. Dan saat setelah aman, tanpa ada satupun penjaga mengawasinya. Ia mengangkat lagi kepalanya ke atas. Ke arah Andre.

Andre yang ada di ventilasi itu, mencoba berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk menolong Beno. Berpikir. Berpikir. Berpikir. Karena tak ada penjaga yang mengawasi kala itu, Andre dengan ceroboh membuka pagar ventilasi yang ia pijak. Clek. Terbukalah pagar itu, kecil ukurannya, hanya seukuran tubuhnya.

Beno yang mengawasinya sedari tadi dari bawah, ia terkejut Andre melakukan hal nekat itu. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Bagaimana kalau mereka terlibat masalah baru lagi?

Andre langsung memasukkan tubuhnya ke pagar penutup ventilasi itu, dan..Brakk..tubuhnya jatuh masuk kedalam penjara bersama dengan Beno. Suara tubuh Andre yang jatuh tadi cukup keras. Hingga terdengar oleh penjaga di sudut lain. Mereka datang dan sebagian lain melapor pada Max.

Penjaga lain tadi menelpon Max untuk segera datang kesana. Tapi Max tak mengangkat telponnya. Namun, tiba-tiba saja suara tak asing terdengar dari balik pagar penutup ventilasi tempat Andre masuk ke penjara tadi, " Diamlah kau disana!! ", ucapnya sambil menutup rapat pintu penutup ventilasi tadi lalu hilang. Andre dan Beno yang ada tepat dibawah pintu itu terkejut mendengarnya. Itu Max. Ya, Max. Kenapa dia ada disana? Apa dia tadi mengikuti Andre?

Namun, tak selang berapa lama, Max datang dengan lift dari lantai bawah. " Biarkan dia disana! Siapa suruh masuk kesana", ucap Max dengan teganya.

" Kamu tega, ya Max, aku ini kakakmu!", balas Andre kesal.

Tapi Max menimpalnya lagi dengan santai, " Aku sudah beri kamu kamar mewah, tapi kau malah masuk ke penjara, kau ingin bersama mereka, kan?".

Andre diam membisu, tak tahu harus kalimat apa lagi yang harus ia ucapkan untuk meluluhkan hati Max. Ia hanya duduk termenung di sebelah Beno. Ia mengalah kali ini, ia mencoba sabar akan sikap adiknya itu. Andai Max bukan adiknya, mungkin sudah lenyap dihantamnya.

Max pergi begitu saja tak peduli akan nasib Andre yang diam di penjara. Toh, itu ulahnya sendiri, pikirnya.

Malam pun tiba, semua penghuni penjara tertidur pulas, kecuali para penjaga dan.. Andre. Ia masih memikirkan sikap adiknya itu yang tega mengurungnya. Ia kesal. Tapi ia tak mau terlalu terlarut dalam keadaan kesalnya itu, ia memutuskan tidur memeluk lutut dengan punggung tersandar di tembok.

______________________________________

" Dre, bangun, ayo makan!", ucap Beno sambil membuat mimpi Andre terputus.

Andre bangun menatap Beno yang menyodorkan piring berisi nasi dengan ikan bakar sedap lengkap dengan lalap diatasnya. Membuat cacing dalam perut Andre bernyanyi. Ia pun menerima makanan yang disodorkan Beno. Dan langsung menyantapnya. Tampaknya ia kelaparan.

Setelah berhari-hari tak makan nasi semenjak kabur dari penjara, Beno menjadi teringat terakhir kali ia makan nasi buatan ibunya. Ia mencoba bercerita pada Andre, "Dre, kamu tahu kapan terakhir kali aku makan nasi buatan ibuku? Aku sungguh merindukannya".

Andre dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanannya ia mencoba merespon ucapan Beno,

" Kapan emang?".

" Sebelum aku masuk ke dalam dinding buatan adikmu, waktu itu aku terdampar seorang diri di pantai yang tampaknya tak berpenghuni menurutku, aku kelaparan dan makan nasi basah berasa aneh, karena tercampur dengan air laut saat aku terbawa pusaran air sebelum terdampar di pantai", jelas Beno.

Andre yang makin penasaran dengan cerita Andre, bertanya kembali, " Emang gimana ceritanya kamu bisa terdampar di pantai? Kamu terbawa ke pusaran air?".

" Iya, Sebenarnya, waktu itu aku sedang pergi memancing ikan bersama temanku, Indra. Waktu itu aku pergi dari rumah dengan perasaan kesal pada orang tuaku, hanya karena hal sepele, aku sungguh menyesal, andai aku dulu tak pergi dengan Indra, mungkin aku masih bisa merasakan nikmatnya makan masakannya, meski hanya dengan telur dadar", jelas Beno sambil meneteskan air mata penyesalan.

Setelah mendengar jawaban Beno, suapan tangan yang masuk ke mulutnya terhenti dan berkata,

" Kenapa bisa kamu kesal sama orang tua yang udah besarin kamu, sayangin kamu tanpa minta balasan apapun dari kamu, Ibu yang pertaruhkan nyawanya saat lahirin kamu, lalu selama 2 tahun kamu disusui, dibesarkan dengan kasih sayang mereka, Ayah yang kerja tak kenal waktu, tak kenal lelah, tak kenal rasa takut cuma buat kamu, biar kamu bisa sekolah, cukupin semua kebutuhan kamu, itu semua gak akan pernah bisa dibalas sama kamu Beno".

Air mata semakin deras mengalir di pipi Beno setelah mendengar ucapan Andre itu. Tapi Andre masih meneruskan ucapannya, " Kamu masih baik, masih ada orang tua kamu, mereka mungkin masih cari-cari kamu, masih ada orang yang khawatir akan keadaan kamu. Beda sama aku, jauh, semenjak dari kecil aku ditinggal di panti asuhan, bahkan aku gak seperti apa wajah mereka, aku pun tak punya foto mereka, andai aku punya mungkin akan kucari mereka". Tak terasa air mata menetes kemudian dari mata Andre. Tapi tetap ia lanjut berkata, "Meski kemudian aku dibesarkan oleh orang kaya, tapi rasanya tak sebahagia jika dibesarkan oleh orang tua sendiri. Kamu harus bersyukur, Beno". Rangkulan tangan Andre jatuh di pundak Beno yang sangat menyesal. Pipi mereka basah dibanjiri air mata. Kepala Beno mendarat di pundak Andre yang menurutnya itu berasa sama dengan pundak ayahnya.

Tapi tangis mereka terhenti, saat tangan Andre mengepal nasi dari piring Beno yang dipegang di depan tubuh Beno.

Tubuh Beno terbangun dari pundak Andre, dan berkata sambil sedikit menahan tawa bercampur kesal, " Hei, itu nasi milikku!". Lalu ia menatap ke arah piring Andre dan bergumam, " Hmm...pantas saja kau berpidato panjang lebar, nasimu sudah habis, hah?".

Andre tertawa menahan malu, ia tak tahu harus bilang apa pada Beno kalau nasi miliknya tadi itu masih kurang sebenarnya. Tapi ia tak berterus terang pada Beno. Ia hanya berhenti mencomoti nasi milik Beno.

Tapi Beno yang tahu kalau Andre masih lapar, ia membagi sedikit nasi dan lauknya pada Andre dengan berkata, " Yuk, sini kita makan bareng".

Andre tanpa ragu kembali mengepal nasi dari piring Beno dan mereka berdua melahapnya sampai tak ada yang tersisa.