Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 32 - Kepercayaan Max

Chapter 32 - Kepercayaan Max

Andre dibiarkan bebas oleh Max, tapi bukan berarti ia dibiarkan begitu saja tanpa syarat. Max memintanya berjanji kalau Andre akan mengikuti semua instruksinya. Andre akan ia jadikan sebagai asisten kepercayaannya. Dan lebih parahnya, ia memasangkan sebuah pendeteksi kecil di kalungnya tanpa Andre sadari. Pendeteksi itu bisa mendeteksi apa yang diucapkan Andre. Semacam speaker kecil. Namun lebih kecil. Sekecil kepik dan bentuknya juga sama. Max sengaja memasangnya, agar jika ia berencana buruk, Max bisa mendengarnya.

Kalung itu tak pernah lepas dari leher Andre. Kalung itu berharga baginya. Kalung rantai kecil dengan liontin dari besi lempeng kecil berukirkan nama Maxendra. Nama Max. Max juga punya kalung seperti itu. Sama persis dengan milik Andre. Namun nama yang terukirnya adalah nama Andre. Kalung itu sengaja dibuat Andre. Saat hari ulang tahun Max, ia memberikannya sebagai kado spesial.

Kini kalung itu jadi pengintai bagi Andre. Hari-hari dilalui seperti biasa. Andre diberi kamar oleh Max. Tepat di samping kamarnya. Dan..tak lupa juga Max memasangkan cctv tersembunyi disana.

Kamar itu tak seluas kamar Max. Hanya berukuran 3 meter x 3 meter. Ditambah satu kamar mandi kecil. Kamar itu bersih dan tertata rapi. Tempat tidur di salah satu bagian dinding. Jendela kaca besar ada di bagian yang menghadap sungai deras. Pemandangan indah sekaligus menyeramkan tercipta disana. Satu buah lemari pakaian disamping kamar mandi. Dan cermin selebar 80 cm terpasang vertikal dari langit-langit ke lantai.

Setelah membersihkan dirinya, Andre berdiri di depan kaca itu. Menatap setiap detail tubuhnya yang hanya berbalut handuk selutut. Dulu ia hanya anak kecil tak berdaya. Kini tubuh kecilnya bertranformasi jadi kekar. Berubah warna menjadi agak sawo matang, terbakar matahari saat perjalanan beberapa minggu lalu menuju kesini. Tapi tetap terlihat seksi.

Ia masih saja menatap dirinya di cermin. Melihat ke arah kalungnya. Merabanya. 'Apa ini?'. Jemarinya menyentuh sesuatu di balik kalung itu.

Sontak saja ia langsung melihatnya. Berbentuk setengah bola. Menempel di lempengan besi berukirkan nama Maxendra. Kecil memang. 'Tapi apa ini?'.

Kakinya melangkah ke arah tempat tidur. Kemudian ia duduk di kasur yang sepertinya nyaman itu. Masih mengamati benda kecil di kalungnya. Ia mencoba melepasnya. Tapi sepertinya ia kesulitan. Benda kecil itu seperti telah menjadi bagian dari lempengan itu. Ia mencoba melepasnya. Mengambil kaca pembesar. Dan..tampak dari benda itu seperti sebuah microfon. Ada lubang-lubang kecil di sekitarnya.

" Benda apa ini, ya?", tanya Andre pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja, Max memanggilnya lewat pengeras suara yang terpasang di sudut langit-langit kamarnya.

" Andre !! Kak !! Cepat ke atas!", ucap Max dalam pengeras itu. Dengan cepat Andre segera mengenakan pakaiannya. Dan segera menuju ke tempat adiknya berada.

Singkat cerita, mereka, Max dan Andre telah bertemu di ruangan pengendali. Max meminta Andre untuk mengawasi setiap gerak-gerik di desa lain yang dikendalikan Max. Desa ini sama-sama dikurung, terpencil, dan tak dapat dijangkau dengan mudah.

Max mempercayakan tugas itu pada Andre. Seolah-olah ia telah luluh pada Andre. Tapi sebenarnya itu sekedar akting belaka. Hanya untuk mengetes apakah Andre benar-benar mengikuti instruksinya itu atau hanya pura-pura.

Setelah memberikan tugas itu,Max pergi meninggalkan Andre. Ia tetap akan mengawasinya dari speaker yang ia pasang di kalung Andre walau dari jauh. Speaker itu terhubung dengan earphone yang selalu terpasang di telinganya.

5 jam berlalu. 'Aneh, kok dari tadi aku tak mendengar apa yang Andre bicarakan, Apa dia tak berbicara dari tadi? Tapi mana mungkin dia tak berinteraksi dengan orang sekitarnya', pikiran Max bergelut.

Lantas ia pun mencoba menemui Andre. Tapi jika ia tanyakan langsung pada Andre, bisa jadi Andre curiga. Max yang sudah melangkah kira-kira 5 meter hendak menuju lift mengurungkan niatnya. Ia kembali ke ruangannya. Bisa jadi juga jika memang ia tak berbicara pada siapapun. Ya sudahlah. Max tahu kalau Andre tak pernah melanggar janji.

Malam semakin larut. Jam di tangan Andre menunjukkan pukul 9 P.M. Lalu ia memutuskan kembali ke kamarnya. Masuk ke lift. Karena kamarnya bersebelahan dengan kamar Max yang ada di lantai paling bawah. Otomatis sebelumnya ia melewati lantai yang berisi penjara-penjara. Saat itu juga ia melihat Beno memandang melas wajah Andre. Andre yang hanya melihatnya sekilas, saat ia tiba di lantai dasar, ia naik lagi ke lantai banyak penjara, tempat Beno berada. Lalu ia keluar dari lift dan mendekat ke tempat Beno di penjara.

"Ben?", sapa Andre pada Beno yang tengah terduduk di lantau penjara yang dingin.

Mata Beno menatap Andre. Matanya terlihat memelas. Nampaknya ia kurang sehat. Badannya lesu. Tanpa kobaran semangat seperti dulu.

"Kamu kenapa?", tanya Andre lagi.

Beno diam beberapa saat sebelum akhirnya ia menjawab, " Aku baik-baik saja. Aku ingin keluar Dre".

Tatapan memelas Beno membuat Andre kasihan padanya. Walau bagaimanapun, Beno yang mengantarnya kemari. Ia berjanji akan berusaha membebaskan Beno bagaimanapun caranya.

Karena takut ketahuan adiknya, Andre segera kembali ke lantai dasar kemudian masuk ke kamarnya. Menjatuhkan tubuhnya yang kelelahan ke atas kasur empuk dari Max.

Setelah beberapa lama ia tak merasakan kasur senyaman ini. Hanya waktu ia tinggal di rumah mewah dengan orang tua angkatnya. Setelah itu pindah, dan kasurnya tak seempuk ini. Kemudian masuk penjara, kualitas kasurnya makin buruk. Dan baru kali ini lagi ia merasakan kasur yang benar-benar membuat badannya nyaman merebah.