Semenjak pergi meninggalkan Andre menggunakan helikopter, perasaan Elia bercampur antara senang bisa bertemu Andre dan sedih karena akan segera menikah dengan pria yang tidak sama sekali ia cintai, meski Max adik Andre, tapi mereka itu sangat berbeda.
Grusak..grusuk.." Selamat sore!!", kejut Candra sambil tersenyum dari belakang jok Kepala desa. Candra? Oh,,jadi tadi dia menghilang dari para penjaga, ia ikut ke helikopter ini.
" Candra? Kenapa? Kenapa kamu bisa disini?", tanya Elia penuh keheranan.
"Akhirnya Aku lolos dari kejaran para penjaga, lelah sekali berlari mengelilingi bunker itu", ucap Candra.
Kepala desa yang duduk di bagian depan bersama si pilot pengemudi heli juga ikut terkejut, ia langsung berbalik badan dan mengernyitkan dahi sambil tersenyum kecil. Tapi ada satu wanita yang tak ia kenal di dalam helikopter itu. Ia duduk disamping Elia.
" Hei siapa dia?", tanya Candra yang memang tak pernah menyaring perkataannya.
" Dia Misha, saudaraku. Dia tadi menyamar jadi pelayan agar menggagalkan kesepakatan antara Bapak dengan Max", jelas Elia.
Kesepakatan? Kesepakatan apa? Candra penasaran dengan apa yang dibicarakan Elia, lantas tanpa pikir panjang lagi, ia pun kembali bertanya, " Kesepakatan apa?".
Kepala desa segera menjawabnya sebelum Elia ditambah dengan senyuman, "Bukan apa-apa".
Candra percaya begitu saja pada Kepala Desa. Kemudian ia diam, dalam diamnya ia berpikir. Kenapa kalau bukan apa-apa, mereka sampai berencana menggagalkan kesepakatan itu? Ya sudahlah, Candra tak mau terlalu ikut campur urusan mereka. Bisa bebas dari mereka saja hatinya sudah lega.
" Terus kenapa kamu bisa ada di heli ini,Can?", tanya Elia sambil membalikkan badannya ke arah Candra.
Candra menjelaskan semua peristiwa dari awal, lengkap, tanpa ada bagian yang terlewat. Ditambah lagi Candra memang suka ngobrol. Apalagi kalau dipancing duluan. Pasti dia juaranya kalau disuruh ngobrol.
Saat Candra menghentikan pembicaraannya, Elia menimpalinya, " Beres curhatnya, Pak?".
Candra kesal, terlihat dari gerakan bola matanya yang diputarkan ke arah lain. Ia sudah sangat serius bercerita, Elia malah menanggapinya begitu.
Candra dan Elia sudah berteman sejak kecil. Bahkan sejak masih balita. Mereka bermain bersama. Pergi sekolah bersama. Pulang sekolah pun begitu. Tak boleh ada yang mengganggu Elia. Bila ada pun, Candra akan ada di barisan paling depan untuk melindunginya.
Saat mereka tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba sang pilot melihat sebuah fenomena yang tak ia lihat saat pemberangkatan, padahal mereka melalui rute yang sama.
" Apa itu? ", ucapnya.
Pandangan semua orang menjadi tertuju pada sebuah pusaran air laut. Ditambah gumpalan awan yang tampak menyeramkan. Helikopter semakin mendekat ke tempat gumpalan awan itu berada. Mereka belum bisa melihat jelas apa yang ada di hadapan mereka. Tiba-tiba...
" Balik arah! balik arah!!!!", instruksi Kepala desa
Sesegera mungkin sang pilot memutar balikkan helikopternya. Tapi karena jarak helikopter mereka dengan gumpalan awan itu cukup dekat. Dan tanpa mereka ketahui gumpalan awan itu sepertinya menghisap mereka. Sang Pilot mulai panik dan bisa merasakan kalau helikopter mereka terhisap.
" Pak!! Sepertinya kita terhisap!", ucap Pilot panik.
" Ayo!! Menjauhlah dari sini!!!", perintah Pak Kepala Desa.
Elia dan Saudaranya juga panik. Mereka berpegangan erat. Candra yang tak mengenakan seat-belt, ia mencoba berpegangan pada jok depan. Helikopter mereka mulai menghunjam ke arah pusaran. Candra yang hanya berbekal kekuatan tangannya, tiba-tiba tangannya kram dan pegangannya terlepas. Ia terjungkal ke kaca bagian depan helikopter. Sehingga tak sengaja badannya menyentuh salah satu tombol di bagian depan.
Tutt,,tutt,,tutt,,Suara itu keluar dari helikopter canggih itu. Dan tiba-tiba saja helikopter yang tadinya hampir masuk ke dalam pusaran, kembali seperti semula. Tanpa pikir panjang lagi, Sang Pilot melajukan kembali helikopter itu, dibuatnya semakin menjauh dari pusaran itu. Entah ke arah mana. Kompas di helikopter mereka terus berputar tanpa henti. Tapi yang pasti ia melajukan heli itu menjauh dari pusaran.
Hati mereka sedikit lega. Tapi kompas milik helikopter mereka masih saja berputar tak jelas. Pilot itu mencoba mencari-cari jalan pulang. Ia mencoba mengingat kawasan sekitar yang ia lewati. Luasnya laut. Warna air yang sama. Tak membuat pilot itu kebingungan. Ia sudah biasa melewati ribuan pulau, banyak mil laut. Hingga akhirnya, dengan ingatan yang masih segar, Pilot itu bisa menemukan jalan pulang.
Pulau tempat desa mereka berada sudah nampak di pelupuk mata. Girangnya mereka bisa lolos dari pusaran air itu. Untung Tangan Candra kram. Kalau tidak, mungkin mereka sudah tersedot.
Helikopter mendarat di tanah lapang luas tepat di tengah-tengah desa. Tepat di tengah-tengah benteng pelindung buatan Max. Dan mereka masuk tanpa harus melewati sapi robot, gerbang besar yang tak bisa asal orang membukanya.
Deru dari baling-baling terdengar saat helikopter hendak didaratkan ke tanah lapang itu. Kepulan tanah yang terkibas baling-baling menyesakkan pernafasan. Trap..helikopter itu mendarat. Deru baling-baling berhenti. Diikuti kepulan tanah yang juga ikut turun kembali ke asalnya.
"Akhirnya, kita tiba juga", ucap Kepala desa sembari melepas headphone di kepalanya. Pintu terbuka. Dan mereka pun turun dari helikopter itu.