"Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu."
Maya menoleh saat Marve dengan cepat berlari memasuki kamarnya dan mengambil sesuatu di dalam lacinya.
"Apa itu?" Tanya Maya saat Marve telah kembali kehadapannya.
Marve kemudian membuka kotak kecil berwarna merah itu, dan ada sepasang anting bermata biru yang berkilauan di dalamnya.
"Anting mawar biru untuk istriku yang cantik."
"Terimalah dek.."
Maya tersenyum, bukan karena hadiah yang diberikan Marve untuknya melainkan karena cinta yang selalu Marve berikan padanya dengan cara yang tidak terduga.
"Terima kasih..." Maya mengecup lembut pipi Marve tanpa terduga, membuat wajah Marve menjadi merah merona kini.
"Kamu sudah membelikan ku satu toko perhiasan, dan kamu masih memberikanku perhiasan lain. Aku tidak tahu jika suamiku ternyata terlalu kaya. Seharusnya aku menikahi mu lebih cepat." Gurau Maya membuatnya Marve tertawa.
"Aku sudah bilang bukan, jika tidak ada yang tidak dapat aku berikan untuk mu."
Maya kembali tersenyum dan meraih kotak anting itu.
"Izinkan aku memakaikannya..."
Marve meraih salah satu anting itu dan mencoba memakaikannya pada telinga Maya, namun Maya sudah memakai sepasang anting jadi Marve bermaksud untuk membukanya tapi Maya menghentikannya.
"Disini saja." Maya menunjukan posisi yang diinginkannya, tepat berada diatas antingnya yang lain ada sebuah lubang kosong bekas tindikan.
Marve tertawa karena Maya tidak mau melepaskan antingnya yang lain "Bagaimana bisa kamu memakai dua pasang anting sekaligus?"
Maya tidak menanggapi, ia hanya tersenyum dan meraih sisa anting yang lain di dalam kotak itu.
Maya berniat menyimpannya karena sebelah telinganya hanya memiliki satu tindikan tapi kemudian ia melihat telinga Marve yang memiliki bekas lubang tindikan.
Marve pernah menjadi anak nakal juga rupanya, pikir Maya tertawa dalam hati.
Mungkin itu bekas tindikan saat masih kuliah dulu, tapi Maya tidak mau ambil pusing..
siapapun punya masa lalu..
Ia kemudian memasangkan anting itu di telinga Marve.
"Anggap saja ini simbol setengah hatiku yang lain untukmu." Ucap Maya setelah selesai memakaikan anting itu di telinga Marve.
Marve terdiam, saat Maya menyentuh telinganya membuatnya tidak dapat berkutik.
"Kembalikan padaku, saat aku mengatakan jika aku sudah mencintaimu sepenuh hati." Lanjut Maya.
Marve tersenyum mengangguk tanda setuju.
Anting ini mengikat mereka.
Marve tidak dapat menahan senyumnya, hatinya berdebar kencang saat nafas Maya menyentuh lehernya.
Ya.. Maya masih memandangi bagaimana anting itu bersinar di telinga Marve.
"Terlihat cocok untukmu." Puji Maya tersenyum menatap Marve.
Kini Maya baru menyadari jika mereka sudah hampir tidak memiliki jarak lagi dan Marve telah menatapnya penuh ketegangan.
"Ayo kita tidur..." Ucap Maya segera beranjak bangun segera sebelum suasana berubah.
Marve tersenyum kecewa tapi kemudian ia menurut dan mengikuti langkah Maya.
"Sayang, sepertinya ada yang masih punya hutang satu ciuman padaku." Ucap Marve yang dengan sengaja menyindir Maya yang sedang mengeluarkan kasurnya dan tentunya Maya dengan sengaja berpura-pura tidak mendengarnya sampai akhirnya Marve menghampirinya dan memeluknya dari belakang lalu mengambil alih remot yang dipegang Maya dan menekan kembali tombol agar tempat tidur itu kembali menyatu.
"Tidur berpisah denganmu hanya akan membuatku semakin lama mendapatkan hatimu, jadi mulai sekarang aku ingin kamu tidur di tempat tidur yang sama denganku." Bisik Marve membuat bulu kuduk Maya merinding seketika.
Marve kemudian melemparkan remot itu kesembarang arah hingga membuatnya hancur tentu saja Maya langsung berbalik dan menatap Marve kesal.
"Kenapa kamu membuangnya?"
"Karena aku tidak ingin kamu kabur saat aku tidur."
"Astaga, Marve!" Maya merasa Marve sangat konyol hingga membuatnya tertawa sampai akhirnya Maya tersadar jika ia baru saja memanggil Marve dengan sebutan Marve saja tanpa adanya panggilan 'mas'.
"Maya..." Suara Marve berubah seketika, ia mendesak Maya hingga membuat Maya melangkah mundur meskipun tangannya masih memegangi pinggang Maya.
"Marve..." Maya sangat gugup hingga ia tidka mampu mengatur kata-katanya.
Tumit Maya sudah merasakan sisi tempat tidur Marve yang membuatnya akhirnya terjatuh duduk karena Marve masih terus bergerak mendesak.
Gerakan Marve sangat lembut sampai Maya tidak menyadari jika ia sudah berbaring di bawah tubuh Marve dengan kaki yang masih menggantung dibawah tempat tidur sementara Marve menopang tubuhnya dengan kedua lengannya, tentunya itu membuat jarak diantara mereka nyaris tidak ada.
Marve tidka mengatakan apapun, sorot matanya mengatakan segalanya dan sialnya Maya malah menantikan Marve bergerak lebih dekat lagi karena hari ini mereka tidak berciuman sama sekali dan entah bisikan apa yang mempengaruhinya sehingga Maya perlahan memejamkan kedua matanya seolah ia tidak akan pernah keberatan jika Marve menciumnya atau mungkin melakukan hal lebih daripada sekedar ciuman.
Marve tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ia dapatkan saat Maya tidak menolaknya seperti saat ini dan perlahan Marve mulai mencium bibir Maya lembut.
Marve menarik kembali kepalanya seakan semuanya tidaklah nyata karena Maya langsung membalas ciumannya dan sekarang mata mereka kembali bertemu.
"Aku hanya ingin mencium mu, apa kamu keberatan?" Suara lembut Marve yang terdengar tertahan membuat hati Maya luluh lantak, ia tidak bisa menolak permintaan Marve karena ia menginginkan hal yang sama apalagi Marve sudah menepati ucapannya jika ia akan meminta izin jika ia ingin menciumnya.
"Bagaimana bisa aku menolakmu?" Suara Maya terdengar sangat menghormati, jika saja Maya sudah membalas perasaannya maka Marve tidak akan hanya meminta sebuah ciuman.
Marve tersenyum sekali lagi, ia mengecup kening Maya, kedua kelopak matanya secara bergantian lalu turun ke leher jenjang Maya.
Maya seperti sudah tahu apa yang harus ia lakukan, dengan sengaja Maya mendongakkan kepalanya agar Marve dapat leluasa mengecup dan menyesap lehernya yang dapat Maya pastikan jika itu akan berbekas, tapi Maya tidak perduli.
Sentuhan Marve membuat sekujur tubuhnya memanas, ia mengerang tanpa ia sadari dan Marve langsung mencium bibir Maya dan membungkamnya sebelum erangan Maya membuatnya kehilangan kendali.
Tangan Maya mengalung di leher Marve, ia mulai membalas ciuman Marve dan membuka mulutnya agar Marve dapat memperdalam ciuman mereka.
Perlahan Marve mengangkat tubuh Maya dan membuat Maya berada diatas tubuhnya tanpa melepaskan tautan bibir mereka.
Marve menggila, seluruh tubuhnya memanas, ia sudah sangat tegang dan tangannya tidak terkendali dan mulai menyusup dibalik gaun tidur Maya.
Ciuman ini sungguh gila dan memabukkan, lidah Marve membelit lidahnya dan terasa sangat Manis, bahkan sentuhan Marve dibalik gaun tidurnya membuat Maya semakin ingin memperdalam ciuman mereka walaupun nafasnya sudah mulai tercekat sekarang.
Saat akhirnya Maya sudah benar-benar kehabisan nafas, ia memukul pelan dada Marve dan akhirnya membuat Marve tersadar.
Nafas mereka terengah-engah, Maya masih duduk diatas tubuh Marve dengan gaun yang sudah berantakan dan bibir yang membengkak, mentp Marve dengan malu-malu.
Marve tersenyum, ia membelai wajah Maya dan membetulkan tali gaun tidur Maya yang terjatuh dibawah bahunya.
"Kamu sudah mengantuk?" Tanya Marve.
"Sedikit..."
Marve tidak ingin Maya beranjak dari atas tubuhnya, ia sengaja membelai lengan Maya dan membuat Maya senyaman mungkin, tapi yang dilakukannya justru membuat Maya semakin tegang, ketegangan tubuh Maya dapat Marve rasakan dan membuat Marve juga tidak kalah tegang.
"Kamu sudah mengantuk?" Tanya Maya karena Marve hanya memandanginya sambil tersenyum dan tidak dapat Maya pungkiri jika senyuman Marve sangat menawan.
"Bagaimana bisa aku mengantuk saat aku merasa terbakar seperti ini?"
"Maka seharusnya jangan bermain api."
"Aku hanya ingin kita tidur saling memeluk dengan hangat tapi naluri ku menginginkan lebih dari sekedar pelukan. Seharian ini aku tidak mencium mu, aku merasa seperti ada yang tidak lengkap." Ucap Marve, ia mengusap bibir Maya yang lembut dan berisi dengan ibu jarinya. "Mengapa rasanya sangat manis?"
"Dulu kamu bilang bibirku pahit." Ucap Maya dengan nada yang terdengar sedikit merajuk.
"Tidak sayang, lipstik yang kamu pakai saat pertama kali kita berciuman itu terasa pahit."
"Jadi jika aku tidak memakainya lipstik apa rasanya berbeda?"
Marve sangat menyukai percakapan ini, intens dan juga intim.
"Rasanya membuatku mabuk, aku tidak ingin melepaskannya tapi kamu mudah kehabisan nafas."
"Benarkah? Jadi kamu merasa kurang puas?"
"Aku tidak akan pernah puas, bahkan setelah aku melepaskannya, aku masih menginginkannya."
Oh Tuhan, wajah Maya merah padam sekarang, Maya mungkin tidak melihat cermin tapi ia yakin jika wajahnya sudah berubah warna karena tubuhnya seketika memanas apalagi saat Marve perlahan bergerak duduk tanpa menyuruhnya beranjak dari atas tubuhnya.
Dengan lembut Marve menuntun kaki Maya agar melingkar di pinggangnya.
"Apa posisi ini membuatmu tidak nyaman?" Tanya Marve terdengar berbisik.
Sebenarnya Maya ingin mengatakan jika ada sesuatu yang mengganjal dibawah tubuhnya yang Maya yakin jika itu adalah pusat diri Marve tapi Maya terlalu malu untuk mengatakannya hingga ia hanya dapat tersenyum dan menyembunyikan wajahnya di bahu Marve.
"Aku tidak bisa mengendalikannya sayang. Kamu yang membuatnya menjadi seperti itu" Bisik Marve, ia sendiri sadar jika reaksi tubuhnya tidak dapat disembunyikan tapi ia tidak ingin melepaskan Maya sedikitpun.
"Apa tidak sakit?" Tanya Maya yang masih menyembunyikan wajahnya di bahu Marve.
"Sakit kenapa?" Marve balik bertanya seolah-olah ia tidak mengerti.
"Aku mendudukinya..." Oh Maya! Apa yang baru saja kamu katakan!
"Aku menyukainya..." Bisik Marve.
Maya mengangkat wajahnya, ia kembali menatap Marve dan perlahan tangannya menyentuh bibir Marve dan membelainya.
"Satu ciuman lagi sebelum tidur bagaimana? Apa kamu keberatan?" Tanya Maya, ia sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya sehingga menanyakan hal seperti itu yang tentu saja Marve tidak akan pernah keberatan.
"Kamu bisa menciumku kapanpun kamu ingin, sayang..."
Maya tersenyum malu, tapi meskipun malu Maya tetap mendaratkan ciumannya tepat di bibir Marve.
Dan sesuai ucapannya, Maya langsung turun dari atas tubuh Marve sebelum mereka terperangkap pada lingkaran api yang mereka buat sendiri. Maya kemudian tidur di dalam pelukan Marve.
Pelukan Marve sangat menenangkan hingga Maya langsung terlelap sementara Marve masih terjaga, ia harus mandi air dingin jika tidak maka ia akan terjaga sepanjang malam tapi Marve tidak ingin meninggalkan Maya meskipun hanya sejenak jadi meskipun tersiksa, Marve tetap bertahan, memeluk Maya sepanjang malam.
"Aku mencintaimu, Maya. Aku akan menunggu sampai kamu membalas perasaanku..."
....
Beberapa hari telah berlalu, Maya dan Marve menjadi semakin dekat.
Pesta pernikahan tinggal dua hari lagi, jadi semua orang semakin sibuk.
Verronica terus mengajari Maya sebelum waktunya tiba dan Marve selalu bekerja dan tidak lupa mengecek sampai mana persiapan acara pernikahan mereka hingga terkadang ia pulang larut malam.
Saat ini sudah hampir tengah malam dan Marve belum juga pulang, biasanya ia sudah tidur saat Marve kembali jadi waktu mereka mengobrol sangat terbatas.
Dan kini Maya mulai merindukan Marve.
bahkan sangat merindukannya.
Maya sungguh tidak dapat tidur, ia memutari rumah agar tidak jenuh namun ia sudah mengelilingi rumah sebanyak enam kali dan Marve belum juga kunjung datang membuatnya sedikit kesal.
"Tidak usah pulang saja sekalian." Oceh Maya kesal sambil membuang tangkai mawar merah yang dipegangnya ke sembarang arah.
"Jadi aku tidak boleh pulang?"
Maya begitu terkejut saat mendengar suara Marve sehingga ia segera berbalik dan lantas memeluk Marve erat.
Marve sangat senang karena Maya menunggunya seperti ini.
"Mengapa kamu pulang begitu larut? Jika bunga belum menikah maka aku akan mengira kamu berselingkuh dengannya karena sangat betah bekerja." Ucap Maya mendumal setelah melepaskan pelukannya.
Marve hanya dapat tertawa melihat wajah Maya yang kesal padanya, sungguh menggemaskan.
Ia kemudian mengangkat tubuh Maya dan mendudukkannya diatas meja dapur.
"Aku sibuk mempersiapkan pesta pernikahan kita sayang." Jelas Marve.
"Mengapa tidak mengajakku?"
"Aku tahu kamu sudah cukup lelah dengan Verronica, aku hanya tidak ingin kamu sakit." Jelasnya.
Maya dapat mengerti kini. "Mas.."
"Ya dek?"
Maya ingin kekali mengatakan jika ia merindukan Marve, namun ia sangat malu untuk mengungkapkannya.
"Dek?"
Marve mendekatkan wajahnya dan membuat Maya semakin gugup kini.
"Aku merindukanmu mas.." Ucap Maya pelan, nyaris tidak terdengar.
"Aku tidak dapat mendengarnya dek." Bisik Marve mendekat, bahkan jika Maya berbisik dalam hatipun ia mampu mendengarnya karena ia dapat merasakan jika Maya merindukannya hanya dari caranya menatap tadi tapi ia berpura-pura tidak mendengar apa yang Maya ucapkan padanya baru saja.
Maya menghela nafas "Ya sudah jika tidak dengar.."
Mengapa wanita suka sekali marah..
"Aku juga merindukanmu dek.." Bisik Marve.
Maya menahan nafasnya, saat Marve tiba-tiba mengecup bahunya dan menyesap aroma tubuhnya membuatnya merinding seketika.
"Aku sangat merindukanmu.." Bisik Marve sebelum akhirnya mencium Maya lembut.
Maya mengalungkan tanganya pada leher Marve dan merasakan hangatnya esapan dari bibir Marve.
Mungkin ia telah jatuh cinta sepenuhnya..
Marve benar, cinta bisa datang dengan cepat.. secepat sebuah senyuman.
Entah karena suasana malam yang dingin atau karena perasaan mereka sudah tidak terbendung lagi, ciuman lembut mereka berubah menjadi sebuah tuntutan yang menggali gairah jiwa.
Dengan tidak sabar Marve membuka jasnya, dan kemudian menggendong tubuh Maya tanpa melepaskan tautan di bibir mereka.
Maya sama sekali tidak menahan diri, ia merindukan Marve hinga rasanya ia ingin tetap seperti ini sepanjang malam.
Bahkan saat Marve merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur, ia menerima semua perlakuan lembut dan menutut pada dirinya yang mulai merasa panas.
"Bolehkah aku menyempurnakan pernikahan kita?" Marve berbisik, wajah Maya sudah merah padam dan hanya dapat mengangguk saat Marve perlahan menurunkan baju tidurnya dan mengecup bahu polosnya.
"Aku mencintaimu.." Marve bergumam sambil kembali mencium Maya dan membuka kemejanya.
Tapi kemudian suara ponsel Marve yang berdering membuat Marve melepaskan ciumannya.
Marve segera mengangkat ponselnya karena sejak tadi ponselnya tidak berhenti berdering.
Maya menunggu dengan sabar, ia sudah terlihat sangat kacau kini dan setelah mematikan ponselnya Marve kembali kesisi Maya.
Dikecupnya kembali bibir Maya dengan lembut.
"Maafkan aku.."
....