Chereads / Main Love / Chapter 43 - Rasa sakit yang membunuh

Chapter 43 - Rasa sakit yang membunuh

Hari telah pagi, Bisma nyaris kehabisan tenaganya saat ia terus menggali menggunakan alat skop, sedangkan para tim SAR dan para pekerja juga warga yang membantu terus melakukan penggalian.

"Kamu harus selamat Marven... Aku mohon bertahanlah!" Bisma menangis disetiap cangkulan yang dilakukannya, Marve sudah sangat baik padanya.

Bisma adalah juniornya saat masih sekolah SMA dulu dan ia hanya hidup dengan neneknya dan juga saudara perempuannya yang masih kecil.

Hidupnya sangat susah bahkan ia nyaris berhenti sekolah, suatu hari ia terpilih menjadi siswa pertukaran pelajar di sekolah elit tempat anak orang kaya menuntut ilmu, disaat itulah ia bertemu dengan Marve, pereman sekolah yang selalu membuat onar.

Suatu hari, seseorang membuang bekalnya, ia di bully dan tanpa terduga Marve membantunya.

"Mengapa kamu membantuku?"

"Karena hanya kamu yang tersenyum padaku."

Ya, Marve sangat ditakuti pada masa itu, tidak ada yang berani menatap wajahnya tapi Bisma dengan polosnya tersenyum menyapanya saat hari pertama ia melakukan pertukaran pelajar.

Kalimat sederhana itu akan diingatnya sampai mati, karena itu adalah awal dari persahabatannya dengan Marve.

Marve membantunya, ia membiayai sekolahnya hingga tamat kuliah dan juga membiayai sekolah adiknya.

Kebaikan Marve tidak akan pernah ia lupakan.

Disaat Marve perlahan menjadi dingin karena satu persatu orangtuanya meninggal, Marve tetap memperlakukannya dengan baik meskipun terkadang ia meneriakinya.

Tapi setiap jam kerja usai, Marve selalu mendatanginya dan meminta maaf jika sikapnya kadang keterlaluan.

Marve harus selamat bagaimanpun caranya, bahkan ia rela menukar nyawanya saat ini untuk Marve.

"Marven, bertahanlah.. aku pasti dapat menemukanmu." Bisma membuang skopnya, ia sudah tidak memiliki tenaga untuk memegang skop dan kini ia mengoreki tanah basah itu dengan tangan kosongnya.

Berharap jika keajaiban datang, dan Marve dapat ditemukan dengan selamat.

***

Agung datang bersama dengan Andre ke pesta pernikahan Maya dan Marve, meskipun Agung berniat tidak datang tapi rasa penasarannya tentang gadis itu membuatnya memutuskan untuk datang.

Saat memasuki aula pernikahan, dilihatnya hanya Maya yang duduk sendiri di atas pelaminan dengan wajah murung.

Andre tidak melihat Marve berada di pesta ini, jadi ia memutuskan untuk duduk dengan jarak yang cukup jauh dan diam-diam memperhatikan Maya.

Agung sendiri duduk menemani Andre, sejujurnya ia cukup riasu karena wajah Andre seperti menyimpan amarah, ia takut jika Andre akan melakukan hal buruk di pesta pernikahan ini.

"Dia terlihat tidak bahagia.. jika saja kejadian itu tidak terjadi maka Maya akan menjadi pengantinku." Ucap Andre, matanya terus menatap lekat bagaimana Maya terlihat sangat gusar di atas sana.

Agung menghela nafas berat, harus berapa kali ia katakan jika Maya telah meninggal dan gadis itu mungkin hanya kebetulan mirip.

"Lebih baik kita pulang saja.. Berada di sini hanya akan membuatmu menggila." Ucap Agung.

"Aku akan tetap disini.. Mayaku sedang berada di atas pelaminan seorang diri. Aku akan membawanya pergi bersamaku jika suaminya tidak juga datang hari ini."

"Jangan bodoh!" Agung memekik kesal, perasaan Andre pada Maya sungguh sudah di luar batas.

"Meskipun jika benar gadis itu Maya, dia telah menikah dan berhentilah mencintainya." Ucap Agung, ia mengeratkan giginya dan mengecilkan suaranya agar tidak ada yang dapat mendengar percakapan mereka.

"Maya ku tidak bahagia dengan pernikahannya, ayah lihat sendiri bukan bagaimana dia duduk sendirian dipelaminan." Andre memekik, beberapa tamu menoleh kearahnya karena keributan yang dibuatnya.

Agung mencoba tersenyum pada tamu yang lain agar mereka tidak memandangnya dan Andre dengan tatapan aneh.

"Kamu ingin membuatku mati malu disini? Mari kita pulang." Ucap Agung, ia menghentakan tongatnya kelantai dan beranjak bangun.

"Aku akan tetap disini." Ucap Andre kukuh.

"Ayo kita pulang, atau akau akan menyuruh penjaga menyeretmu. Aku sudah terlanjur malu disini, menyeretmu bukanlah masalah besar lagi bagiku." Ucap Agung dengan tegas.

Wajah Andre sangat tidak senang, namun ia mengenal ayahnya dengan baik, setiap ancaman yang dikatakannya bukanlah omong kosong karena ia akan selalu melakukannya jika dirinya melanggar ucapan ayahnya itu.

Akhirnya Andre menyerah dan bergegas pergi meninggalkan pesta dengan wajah kesal karena Maya harus berada sendirian di atas pelaminan sementara Marve masih tidak terlihat.

"Ia memperlakukan Mayaku dengan sangat buruk, aku akan merebutnya, Mayaku..

Aku akan membawamu bersamaku Maya..

Itu janjiku!"

Agung memegangi kepalanya yang kembali merasa pusing saat Andre telah meninggalkan pesta, ia baru saja akan berjalan keluar, tapi langkahnya terhenti saat melihat wajah yang tidak asing baginya.

Wanita gemuk yang berusia sekitar empat puluh tahun itu terlihat sangat khawatir saat berjalan cepat melewatinya.

Matanya mengikuti kemana wanita itu berjalan, ia bersama seorang pria muda dan menaiki pelaminan.

Agung berjalan mendekat untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah.

"Maya.."

Air mata Agung seketika menetes saat wanita itu berteriak dan segera memeluk Maya yang nyaris pingsan.

Dia tidak salah mendengar, ia melihatnya dengan jelas jika Wanita itu menyebut gadis yang mengaku sebagai Maya itu dengan sebutan Maya dan pria muda bersamanya ia panggil Arya.

Wanita itu adalah Mina, kepala pelayan di rumah Hendra dan Rahayu.

Wajahnya tidak berubah jadi ia mengenalinya dengan sangat baik.

Jadi gadis itu benarlah Maya..

Agung terlalu syok sampai ia tidak tahu harus melakukan apa, ia melangkah mundur dari kerumunan para tamu yang melihat Maya terjatuh lemah, ia tidak begitu memperdulikan akan musibah yang menimpa Maya karena ia sendiri merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ketahui.

Maya dan Arya masih hidup..

***

Air mata Maya seakan telah mengering, ia sudah tidak dapat lagi mengeluarkan air mata saat berita di televisi kembali menyiarkan jika telah ditemukan dua orang mayat di lokasi kejadian.

Pembawa berita menyebutkan ciri-ciri korban dan salah satunya terdengar seperti Marve.

Hati Maya menghilang...

"Bukan itu bukan suamiku... Marve masih hidup, benarkan kakek?" Maya menoleh dengan cepat meminta Darwis mengiyakan ucapannya.

Darwis terdiam, mungkinkah itu Marven cucunya...

"Aku masih dapat merasakan detakan jantungnya kakek, jangan diam saja! Katakanlah jika kamu masih dapat merasakan hembusan nafas Marve." Maya mulai histeris, ia menggoyangkan tubuh Darwis yang mematung.

Mina dengan cepat menarik Maya dan mendekapnya erat begitupun dengan Herlyn yang menangis dan mendekap Darwis yang seperti telah kehilangan rohnya.

Semua orang hanya dapat menangis melihat pemandangan menyedihkan di atas pelaminan ini.

Maya kembali bangun, hatinya tiba-tiba merasa berdetak kembali.

Perasaan ini, perasaan hangat saat Marve bersamanya.

Marve telah kembali, Maya yakin akan hal itu.

Dengan melepaskan pelukan Mina, Maya berlari melintasi altar sambil menangis.

Mina berteriak dan mengejarnya bersama Arya namun langkah Maya begituh lebar, ia berlari seakan angin mendorongnya dari belakang hingga akhirnya ia terjatuh tepat di depan pintu masuk.

Maya kembali menangis "Marve... Aku mohon kembalilah padaku..." Suara Maya telah serak, ia terus menangisi Marve dengan posisi duduk menunduk karena kini bahkan ia tidak mampu untuk berdiri rasanya.

Ia tidak mampu untuk kehilangan hatinya lagi kali ini.

Hatinya telah hilang saat kedua orantuanya meninggal dunia dan di saat ia telah memiliki hati yang baru untuk Marve, tapi mengapa Tuhan juga mengambilnya.

"Jangan tinggalkan aku Marve." Maya menangis sambil memegangi dadanya yang terasa sesak membuatnya nyaris tidak dapat merasakan nafasnya.

Nafasnya sudah tercekik, ia mungkin akan segera mati saat ini... Rasa sakit ini sungguh membunuhnya, Maya hanya dapat menangis tidak berdaya.

Sampai maya merasakan seseorang datang berlutut dan memeluknya erat.

"Jangan menangis.. Aku disini."

..