"Dek.."
"Ya?"
"Ada apa? Apa kepalamu sakit?"
Maya masih memikirkan haruskah ia menceritakan tentang masa lalunya pada Marve dan meminta Marve membantunya?
"Dek?"
"Ya?"
Maya mengedipkan matanya saat menyadari jika ia menyahut ketika Marve memanggilnya dengan sebutan 'dek'.
Dasar Maya bodoh! Oceh Maya dalam hati, Marve sudah terlihat sangat senang saat ini saat Maya menanggapi panggilannya dan itu artinya ia tidak keberatan jika Marve memanggilnya seperti itu.
Jujur saja jika sebenarnya perut Marve terasa tergelitik saat ini namun Marve tetap berusaha untuk tenang bahkan ia berniat menggoda Maya kembali dengan panggilan seperti itu.
Memanggil Maya seperti itu membuat Marve merasa semakin tidak memiliki batasan diantara mereka dan itu membuatnya menjadi bahagia.
"Kamu sudah sangat lapar dek? Kamu terlihat tidak bersemangat saat ini." Marve mengusap lembut rambut Maya kembali membuat Maya seketika terdiam kaku.
"Marve.."
Maya baru saja membuka mulutnya setelah mempertimbangkan tentang masalahnya dengan Kania, Maya memutuskan untuk memberitahu Marve dan berharap Marve dapat membantunya, tapi yang terjadi Marve telah menyergapnya kini.
Ia membuat Maya tanpa sadar sudah bersandar hampir terbaring dan Marve telah berada diatas tubuhnya sambil menatapnya lekat.
"Marve..." Kini Maya hanya mampu memanggil nama Marve dan kehilangan rangkaian kata yang telah disusunnya untuk memberitahukan Marve tentang rahasia hidupnya.
Marve bodoh...
Mengapa suasana yang menyelimuti mereka seketika berubah, Marve hanya berniat untuk menggoda Maya tapi kini ia bahkan mematung tanpa dapat berkedip memandang wajah Maya sedekat ini.
Hasrat untuk dapat menyentuh Maya dengan lembut penuh kasih sayang tiba-tiba saja merasukinya hingga tangan Marve perlahan menyentuh tengkuk Maya.
"Maya..."
Nafas Maya tercekik, Marve memanggilnya dengan lembut dan terus menatapnya lekat.
"Hentikan aku, atau aku..." Marve tidak sanggup melanjutkan kalimatnya lagi, bibir Maya mengalihkan pandangannya hingga ia ingin segera mencium bibir Maya dan menyesapnya dengan lembut.
Maya memejamkan matanya saat Marve perlahan menyentuh bibirnya dengan lembut.
Rasanya sangat manis saat Marve perlahan menyesapnya dan menautkan bibir mereka yang saling menarik kini.
Perlahan Maya membuka matanya dan saat bola mata mereka kembali bertemu, ciuman memabukan itu semakin dalam terasa.
"Marve.."
"Ya sayang..."
"Apa kamu mencintaiku?"
Marve baru akan menjawab pertanyaan Maya saat pintu mobil kembali terbuka membuat Maya dan Marve segera saling menjauh.
"Kita sudah sampai..."
Dengan senyum kaku, Maya keluar dari pintu yang telah dibukakan oleh sang supir dan Marve melangkah dari sisi yang berbeda.
Maya menunggu Marve menghampirinya dan setelah Marve mendekat ia segera menyambut uluran tangan Marve yang menggandengnya perlahan memasuki mall.
"Kita harus meneruskannya di rumah nanti." Bisik Marve membuat Maya tidak segan untuk mencubit lengan Marve karena merasa sangat malu. Mungkin jika mereka tidak berada di dalam mobil maka keperawanannya sudah hilang, haruskah aku bersyukur? Tapi kenyataannya Maya merasa sedikit kecewa, ia masih ingin merasakan lembutnya bibir Marve yang juga terasa sangat manis.
"Kita harus makan dulu Marve, aku bisa pingsan karena kelaparan." Ucap Maya mengeluh sekaligus mengalihkan pembicaraan, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi getaran hasrat yang masih menyelimutinya sampai detik ini
Hari sudah malam dan tadi siang Maya bahkan belum sempat makan saat Marve mengatakan soal insiden ketika ia demam saat itu.
Tapi Marve tidak menggubris ucapan Maya dan terus melangkah meninggalkan Maya yang saat itu sudah berhenti di depan sebuah restoran.
"Marve.." Panggil Maya kembali, Marve tidak menoleh tapi ia menghentikan langkahnya jadi Maya dengan cepat menghampirinya.
"Mengapa kamu tidak menyahut? Menyebalkan.." Ucap Maya kesal, Marve tersenyum dan dan dengan cepat menarik pinggang Maya dan membawanya kesisinya.
"Marve.. lepaskan aku, banyak yang memperhatikan kita." Ucap Maya pelan, mengapa Marve begitu menyebalkan dia bahkan bersikap seolah-olah di dalam mall ini hanya ada mereka berdua saja.
"Panggil aku Marve lagi dan aku akan menciummu lagi." Ucap Marve, ia mendekatkan wajahnya pada Maya sehingga Maya harus mencondongkan kepalanya kebelakang agar Marve tidak dapat menggapainya.
"Baiklah.. M...ma..mas.." Ucap Maya terbata, memanggil Marve dengan sebutan 'mas' membuatnya seakan baru saja menelan batu bata karena sangat sulit baginya.
Marve tersenyum dan sedetik kemudian ia menarik tangan Maya dan membawanya memasuki restoran "Mari kita makan dek.."
Maya membanting kakinya karena kesal, Marve sungguh senang menggodanya seperti ini bahkan saat ini masih banyak yang memperhatikan mereka.
....
Marve dan Maya telah selesai makan malam, karena hari semakin larut maka Marve segera membawa Maya ketoko perhiasan untuk mencari cincin pernikahan yang pas untuk mereka.
Deretan cincin-cincin pernikahan telah dikeluarkan, mata Maya seketika menjadi silau.
"Semuanya bagus, boleh aku memiliki semua ini?" Tanya Maya, ia hanya bergurau tapi ia tidak bohong soal keindahan cincin-cincin dihadapannya kini.
"Mana menejer disini? Aku ingin membeli toko ini." Tanya Marve pada pegawai toko perhiasan yang melayani mereka yang tentu saja membuat pegawai itu dan beberapa rekan kerjanya langsung saling memandang tidak percaya.
"Cepatlah, ini sudah malam." Ucap Marve lagi, menegaskan jika ia tidak main-main dengan ucapannya. Pegawai toko itu lantas segera pergi untuk memanggil manajernya sementara pegawai lainnya menunggu.
"Marve.. Apa yang kamu katakan?" Maya segera menepuk bahu Marve dan dengan cepat mengatakan pada pelayan jika "Suamiku hanya bergurau." Ucap Maya saat pegawai itu datang bersama dengan manajer toko mereka.
"Marve?" Marve mendekat dan mulai menyentuh punggung Maya dan mengusapnya lembut.
Astaga Marve.. mengapa kamu sangat mesum kuadrat? Maya merasa menciut saat semua orang yang berada di dalam toko menatapnya iri kini.
"Mas.. Aku memanggilmu mas.." Ucap Maya bergingsut menjauh sambil menarik tangannya.
Tapi kemudian pandangan matanya teralihkan pada anting bermata biru yang terlihat seperti mawar biru yang berada ditaman mereka.
"Kamu suka?" Marve kembali mendekat dan dengan sigap pelayan toko perhiasan itu mengeluarkan anting yang sedang diperhatikan Maya.
"Cantik seperti mawar biru ditaman rumah kita." Ucap Maya tersenyum.
"Ambilah jika kamu suka.."
"Aku suka, tapi kita disini untuk membeli cincin Marrve... eh maksudku mas."
Maya kemudian segera berjalan menuju dimana deretan cincin-cincin itu berada sebelum Marve melakukan hal yang membuatnya tidak berkutik karena ia memanggilnya Marve bukan mas.
"ini sangat bagus." Ucap Maya, ia menunjuk sepasang cincin dengan garis berwarna biru dan batu permata kecil ditengahnya.
"Ini terlihat sangat sederhana.." Marve segera meraih cincin pilihan Maya dan memakaikannya pada jari manis Maya.
"Tapi terlihat sangat indah ditanganmu.." Puji Marve, ia kemudian mengecup punggung tangan Maya dan membuat Maya tersipu seketika.
"kita lihat apa ini pas untukmu.."
Maya berusaha terdengar setenang mungkin saat memakaikan cincin dijari Marve perlahan.
Jujur saja hatinya berdetak tidak karuan saat ini.
"Sangat pas.. kamu mengenalku dengan baik."
"Tentu saja, karena aku adalah istrimu.."
Marve tersenyum, Maya sudah tidak sungkan mengakui pernikahan mereka jadi itu artinya mereka bisa bersama tanpa ada batasan mulai sekarang?
Cinta memang datang dalam waktu yang tidak dapat dihitung, kadang butuh waktu yang lama tapi terkadang hanya karena sebuah senyuman yang tidak sampai satu detik.
Aku mencintainya...
sudah aku pastikan jika aku telah jatuh cita...
Aku telah jatuh cinta padamu Maya...
Maya menunggu Marve membayar cincin padahal sebenarnya Marve benar-benar membeli toko perhiasan itu untuk Maya, menejer toko mengatakan akan mengirimkan sisa perhiasan yang lainnya pada hari berikutnya.
Ketika menunggu, Maya tidak sengaja melihat Andre melintas didepannya dan dengan cepat ia membalikan badannya agar Andre tidak melihatnya.
Maya tidak ingin Marve menjadi marah kembali, jadi menjauhi Andre itu lebih baik toh Andre hanya pembeli kue-kuenya dulu.
Tapi apa ini berlebihan?
"Dek.. "
Maya terperanjak saat Marve sudah berada tepat dihadapannya.
"Sudah?"
Marve mengangguk, ia kemudian membawa Maya keluar dari toko dengan merangkulnya.
Mereka telah memiliki cincin pernikahan, jadi tidak akan ada lagi yang meragukan pernikahan mereka.
Dibalik sisi toko, Andre melihat bagaimana Maya dan Marve berjalan beriringan terlihat sangat mesra.
"Aku ingin melepaskanmu.. tapi hatiku tidak sanggup." Andre memegangi hatinya yang terasa sesak, ia memang sengaja mengikuti Maya dan Marve saat tadi dilampu merah mobil mereka bersebelahan dan pintu kaca mobil yang ditumpangi Marve dan Maya sedit terbuka memperlihatkan bagaimana Maya duduk terdiam sedangkan Marve sibuk dengan tabletnya.
"Dimataku kamu tetap tidak bahagia Maya.."
...