Marve baru saja meminta Verronica untuk kembali besok karena hari ini keluarga Maya datang jadi ia tidak ingin mengganggu waktu kebersamaan Maya dengan bibi dan adiknya.
"Nona Herlyn telah datang tuan..." Ucap salah seorang pelayan memberitahu.
Dengan segera Marve datang menyambut kedatangan Herlyn dan setelah itu memperkenalkan Herlyn dengan keluarga Maya.
Setelah berkenalan Herlyn langsung memulai pengukuran tubuh Mina dan Arya untuk membuat baju untuk pesta pernikahan nanti.
Karena waktu mereka tidak banyak jadi Herlyn dan kedua asistennya sangat gesit mengukur tubuh Mina dan Arya. Sedangkan Maya memperhatikan Herlyn yang memperlakukan Mina dan Arya dengan sangat ramah, sepertinya keluarga Marve sangat baik hingga meskipun mereka kaya tapi mereka tidak angkuh, ya kecuali Darwis, pikir Maya.
"Mau aku ukur juga?" Tanya Marve menggoda.
Maya menyipitkan kedua matanya karena kesal saat Marve menghalangi pandangannya yang tengah serius memperhatikan Mina dan Arya dari kejauhan.
"Sini biar aku ukur seberapa besar..." Marve sudah memegangi pita pengukur kini dan dengan cepat Maya menutupi dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya.
"Apa yang kamu pikirkan heuh?" Marve tertawa saat melihat sikap berlebihan Maya lalu duduk disebelahnya.
"Aku ingin mengukur, apa cintamu sudah mulai tumbuh untuk ku belum?" Marve berbicara dengan serius kini dan duduk disebelah Maya.
"Ya sekitar segini..." Jawab Maya bergurau dengan menunjukan jari kelingkingnya.
Tanpa terduga Marve kemudian menautkan jari kelingkin Maya dengan kelingkingnya.
"Aku berjanji, akan membuatmu jatuh cinta padaku dan untuk itu berjanjilah untuk menjadi istriku sepenuhnya, artinya jangan merahasiakan apapun padaku. Katakan apa saja yang ada di dalam hatimu tidak perduli itu sebuah luka atau rasa sakit, kamu bisa membaginya padaku."
Maya terdiam, haruskah ia mulai jujur dengan Marve tentang masa lalunya.
Apakah sekarang waktu yang tepat untuk membicarakan masalahnya dengan Grup Wings pada Marve.
"Mas... " Maya baru akan bercerita pada Marve saat Herlyn tiba-tiba memanggilnya.
"Aku akan segera kembali." Ucap Marve sebelum pergi menghampiri Herlyn.
Maya duduk sendiri kini, melihat Maya tidak dikelilingi siapapun, Arya kemudian memutuskan untuk menghampirinya.
"Apa yang kamu pikirkan kak?" Tanya Arya begitu duduk disebelah Maya.
"Tidak ada."Jawab Maya berbohong, ia ingin menceritakan pada Arya jika ia bertemu dengan Kania kemarin tapi Arya masih menjadi mahasiswa baru jadi ia tidak ingin membuat Arya terbebani dengan masalahnya dengan Kania.
Dan tentang Grup Wings yang berada di ambang kehancuran, sudah pasti Arya akan sangat terpukul mendengarnya.
"Kak..."
Maya menoleh, saat Arya tiba-tiba mengeluarkan ponselnya.
"Kak Marve memberikannya padaku." Jelas Arya lebih dulu tanpa menunggu Maya bertanya tentang dari mana Arya mendapatkan ponsel itu.
"Mengapa kakak tidak meminta bantuan kak Marve saja untuk menyelesaikan masalah kita dengan Kania." Tanya Arya dengan hati-hati.
"Dia suamimu, dan dia berpengaruh. Dia pasti dapat membantu kita." lanjut Arya.
"Aku juga berpikir begitu, tapi pernikahan kami baru seumur jagung. Kakak merasa takut jika Marve mungkin akan malah merasa terbebani. Dia sudah sangat banyak membantu keluarga kita."
Arya menghela nafas, benar apa yang diucapkan oleh kakaknya.
ia kemudian menunjukan sebuah artikel dari ponselnya.
"Kania merekayasa kematian kita berdua." Jelas Arya.
Betapa terkejutnya Maya, inikah yang Kania maksud dengan semua orang telah menganggapnya sudah mati?
Ia membuat kami seolah-olah benar-benar telah mati.
Air mata Maya menetes seketika, hatinya sungguh sakit kini.
"Kita tidak bisa tiba-tiba saja muncul dan mengaku sebagai anak dari Rahayu pemilik grup Wings yang telah meninggal enam tahun yang lalu. Mereka hanya akan mengolok kita." Ucap Maya sambil menyeka air matanya, meminta bantuan Marve mungkin hal yang terbaik tapi bagaimana jika Marve tidak percaya akan ucapannya karena artikel itu jelas menunjukan dua orang mayat yang dijelaskan sebagai dirinya dan Arya.
"Kania membunuh kita, dia merekayasa kematian kita seolah dia takut kita akan kembali... hatiku sangat sakit kak, dia benar-benar menyingkirkan kita!" Ucap Arya menahan sesak di dadanya.
Maya dengan cepat mengusap punggung Arya agar ia menjadi tenang.
"Tenanglah.. kakak akan mencari jalan keluarnya dan kakak tidak akan menyerah untuk mendapatkan hak kita kembali."
"Apa yang kalian bicarakan? Sepertinya serius sekali?" Marve tiba-tiba datang menghampiri dan dengan cepat Maya dan Arya menyeka air mata mereka.
"Apa ada masalah?" Tanya Marve setelah menyadari jika Maya dan Arya baru saja menangis.
"Tidak ada mas, kami hanya tiba-tiba merindukan orangtua kami." Ucap Maya berbohong.
"Sungguh?"
"Benar kak..." Timpal Arya meyakinkan.
Kini Maya dan Arya sama-sama terdiam, mereka ingin sekali memberintahu Marve tapi ketakutan akan Marve yang mungkin tidak akan mempercayai ucapan mereka sungguh membuat hati mereka menciut.
....
Hari telah larut Maya tengah duduk di balkon merasakan hembusan angin menerpanya, ia sedang menimbang-nimbang apakah harus memberitahukan masalahnya pada Marve atau sebaiknya ia menunggu sampai ia memiliki cukup bukti untuk mengaku.
Maya memutar otaknya, ia mencari-cari sosok masa lalu yang kira-kira akan mampu membantunya, seseorang yang mengenalnya dengan baik dan memihaknya.
Maya pernah mendengar jika ibunya dulu memiliki saudara laki-laki yang sejaki kecil berpisah dengannya karena Kakek dan neneknya dulu berpisah saat muda.
Tapi mereka tidak pernah bertemu sekalipun, lantas bagaimana ia dapat membuktikan jati dirinya jika tidak ada satu orang keluargapun yang sedarah dengan ibunya untuk menunjukan bukti tes DNA dirinya sebagai putri kandung Rahayu yang masih hidup.
Siapa...
Seseorang yang mengetahui silsilah keluarga ibu dengan baik selain Kania dan bibi Mina...
Maya memejamkan kedua matanya sambil berpikir lalu kemudian matanya lebar saat menemukan jawaban dari pertanyaan.
Ada! Maya mengingat seseorang yang sangat berpihak pada keluarganya dan mengetahui silsilah keluarganya dengan baik.
Dia adalah Agung!
Agung mantan penasehat hukum keluarganya dulu.
Kania tidak menyukainya, jadi begitu kedua orangtuanya meninggal ia segera memutuskan kontrak dengan Agung.
Pasti Agung dapat membantunya!
Tapi dimana ia dapat menemukan Agung?
Dunia begitu luas dan ia tidak memiliki apapun untuk mencarinya.
Kini Maya kembali mengacak rambutnya karena kesal, mengapa semua hal begitu sulit baginya.
"Apa yang kamu lakukan disini? Memikirkan perasaanmu padaku?"
Maya menoleh saat mendengar suara Marve, pikirannya kembali melayang kini.
Apa Marve mungkin dapat membantunya menemukan Agung.
"Aku memikirkan bagaimana caranya memanfaatkanmu dengan baik."
Marve tersenyum dan kemudian duduk disebelah Maya.
"Cukup dengan memberikan hatimu padaku, maka aku akan melakukan segalanya untukmu."
Maya tersenyum, ia kemudian bersandar dibahu Marve.
"Jika aku tidak dapat memberikan hatimu padaku bagaiamana?"
"Bagaimana ya..." Marve pura-pura berpikir.
"Tapi aku merasa setengah hatimu telah menjadi miliku.." Lanjutnya.
Maya tersenyum, Marve benar, ia sudah mulai jatuh cinta padanya.
"Tidak akan sulit mendapatkan setengah hatimu lagi.." Ucap Marve tersenyum.
"Kata siapa aku telah memberikan setengah hatiku padamu?"
"Kata kamu."
"Kapan aku mengatakannya?"
"Kamu tidak mengatakannya dengan sebuah kalimat tapi dengan bentuk perhatian dan senyuman yang kamu berikan padaku dan tentunya kecupan manis diatas tangga itu sebagai buktinya."
Wajah Maya memerah, susah payah ia melupakan kejadian itu tapi kini Marve mengingatkannya kembali.
"Jangan menahannya... Cinta bisa melakukan beribu cara untuk menyusup ke dalam hatimu, jika kamu menahannya itu hanya akan membuat hatimu sesak." Ucap Marve tersenyum.
ia kemudian menyentuh lembut pipi Maya dan tersenyum hangat.
Maya tidak akan menjadi serakah, tapi ia akan satu persatu menyelesaikan masalahnya.
Dan yang harus ia lakukan sekarang adalah untuk memantapkan hatinya menata hubungan dengan Marve.
Dan selama itu juga ia bisa mencari sedikit demi sedikit bukti yang akan membuatnya mendapatkan jati dirinya dan melawan Kania.
....