Chereads / Main Love / Chapter 3 - Cara terbaik melukai harga dirinya

Chapter 3 - Cara terbaik melukai harga dirinya

Marve perlahan melepaskan ciumannya dan kemudian meraih tangan Maya lalu membawanya pergi. Disaat bersamaan Darwis mulai memegangi dadanya dan terjatuh kesakitan.

" Kakek !! " Herlyn menopang tubuh kakeknya yang terjatuh lemas, semua orang sangat terkejut dengan drama keluarga yang mereka saksikan dan dengan kepanikannya, ayah Herlyn segera menelpon ambulan, namun Marve tidak perduli dan melanjutkan langkahnya meski ia mendengar teriakan-teriakan kepanikan karena kakeknya terjatuh, walaupun Marve merasa berat hati tapi kesabarannya telah habis kini.

Tidak peduli apa yang terjadi, Marve tetap melangkah dengan langkah yang lebar dan pasti meninggalkan ruangan yang mulai kacau.

Mata Darwis mengintip dibalik kerumunan keluarganya yang mengerumuninya melihat apakah cucunya perduli padanya tapi Marve telah benar-benar menghilang.

Dengan wajah kesal Darwis segera bangun seperti ia tidak mengalami sakit apapun. Sandiwaranya tidak berhasil kali ini.

" Bocah kurang ajar! " Ucapnya geram sambil menghentakan tongkatnya kelantai dan dengan kemarahanya ia berjalan menuju pintu keluar.

" Dia bahkan tidak menoleh... " Gerutu Darwis yang sangat kesal kini setelah melewati pintu keluar meninggalkan para tamu yang kebingungan dan anggota keluarganya yang membeku tidak percaya karena hampir saja mereka yang akan terkena serangan jantung karena begitu terkejut saat Darwis pura-pura kesakitan.

***

plak ! Sebuah tamparan melayang menghantam pipi Marve dengan kasar saat ini mereka berada di luar hotel lebih tepatnya tempat parkir kendaraan.

Dengan perasaan jengah Maya menatap Marve tajam, ia tidak terima karena Marve telah mencuri ciuman pertamannya yang sudah ia jaga selama ini.

" Apa kamu pasien rumah sakit jiwa? Aku akan menuntutmu karena sudah bertindak kurang ajar padaku! " Ucap Maya sebelum memalingkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan Marve.

Marve sangat terkesan dengan keberanian Maya yang menamparnya tanpa segan.

Sebenarnya Marve hanya mengikuti amarahnya dan tidak benar-benar melamar Maya, ia hanya muak dengan Darwis yang terus mencela ibunya dan caranya itu berhasil membuat Darwis malu.

tapi sepertinya bukan hal buruk jika ia benar-benar menikahi gadis itu untuk membalas semua sakit hatinya pada kakek tua itu.

" Bisma, cari tahu lebih banyak tentang gadis yang telah memecahkan kaca lampu mobilku. Aku mau besok pagi datanya telah berada diatas mejaku. " Marve mematikan ponselnya, dan tersenyum senang.

Ini adalah cara terbaik untuk melukai harga diri kakeknya sama banyaknya seperti ia melukai ibunya selama hidupnya.

" Kakek, besok aku akan menikah jadi datanglah.."

Senyum itu kembali terukir saat Marve berhasil mengirimkan pesan singkat pada kakeknya.

Mungkin kini kakeknya akan benar-benar mengalami serangan jantung pikirnya senang.

***

Maya mencuci wajahnya dengan air dingin, membersihkan make up menyebalkan yang sejak tadi mengganggu wajahnya.

" Menikahlah denganku... " Kata-kata itu kembali terngiang membuat pikiran Maya menjadi kusut seperti benang layangan yang terputus.

" Berhenti memikirkannya Maya.. Kamu akan ikut menjadi gila jika terus memikirkannya! " Ucap Maya berbicara pada dirinya sendiri sambil menyeka wajahnya yang basah dan berjalan memasuki rumahnya dimana bibi dan adiknya telah terlelap kini.

Rumah mereka sangat kecil dan sempit serta hanya memiliki satu kamar bahkan kamar mandi mereka terletak di belakang rumah.

" Mengapa mereka tertidur disini? " Maya berjalan perlahan saat adiknya tertidur ditempat dimana dirinya biasa tidur dengan bibinya yaitu diruang tengah.

" Apa mereka menungguku pulang? " Ucap Maya bingung sambil menutupi tubuh bibi dan adiknya dengan selimut lusuh.

Perlahan Maya memasuki kamar Arya, ada banyak buku berserakan tidak beraturan. Arya memang sangat rajin belajar itulah sebabnya ia sangat pintar selama ini.

Sambil menyusun buku-buku milik adiknya, Maya menemukan secarik brosur universitas dengan jurusan kedokteran yang telah ditandai oleh adiknya.

Rasa sedih tiba-tiba menghinggapi hati Maya. Ia menyesali keadaan mereka saat ini karena memiliki hidup yang sangat sulit.

Jika saja ibu dan ayahnya tidak mengalami kecelakan enam tahun yang lalu, jika saja ia tidak merengek meminta dibelikan oleh-oleh membuat kedua orang tuanya harus kembali mencarikan oleh-oleh untuknya saat mereka dalam perjalanan bisnis di luar kota maka kecelakaan itu akan terjadi.

Hidupnya kini menjadi buruk karena kesalahannya dan Arya harus menanggung semua ini.

Ayahnya adalah seorang jaksa sedangkan ibunya adalah CEO Grup Wings tapi begitu mereka meninggal dunia, semua hartanya hilang, katanya ibunya menggelapkan uang oerusahann tapi bahkan ayahnya juga tidak meninggalkan apapun karena mereka sama-sama anak tunggal jadi Maya dan Arya tidak mendapatkan apapun selain kesedihan dan kenyataan jika mereka harus menerima dua penderitaan sekaligus yaitu kehilangan orangtua dan menjadi miskin.

Maya menghela nafas berat bahkan ia tidak membawa sepeser uangpun hari ini dan bagaimana ia harus mengganti uang modal untuk berjualan besok. Jangankan untuk biaya kuliah Arya bahkan untuk makan besokpun tidak ada.

Maya menyeka air matanya, menangis hanya akan membuatnya lemah. ia kemudian melihat televisi cembung miliknya yang terpajang di dekat Mina tertidur dan sebuah ide melintas dengan cepat difikirannya.

***

Seperti hari sebelumnya, Maya telah bangun dan bersiap untuk pergi dengan membawa televisi cembungnya berukuran 14 inch dan mengikatnya disepedanya.

Dinginnya udara yang masih berembun tidak menggoyahkan Maya yang sudah bersemangat sejak semalam, ia akan pergi ketoko barang antik dan menjual televisi miliknya dan berharap jika ia akan mendapatkan uang yang cukup untuk biaya pendaftaran kuliah adiknya.

Maya menunjang sepedanya dan membuka ikatan tali yang mengikat televisinya, tokonya masih tutup tapi Maya tidak kecewa, ia akan menunggu hingga tokonya buka.

Satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda pemilik toko tiba sedangkan ia sudah cukup lelah menunggu hingga mengantuk tapi sosok bayangan seorang pria yang berdiri dihapannya membangunkannya.

Maya mendongakkan kepalanya dan melihat dengan samar-samar pria yang memakai setelan jas itu, wajahnya terhalang sinar matahari yang menyilaukan membuat Maya harus menyipitkan matanya agar dapat melihat wajah pria itu dengan jelas.

" Kamu... " Seketika Maya beranjak bangun dengan cepat sambil membopong televisi miliknya.

" Orang gila! " Ucap Maya lagi menatap sinis sebelum melangkah menjauh dari Marve.

" Menikahlah denganku... " Ucap Marve membuat langkah Maya terhenti.

Mata Maya terpejam, ia berdoa dalam hati jika ini adalah mimpi maka ia ingin bangun saat ini juga. Mengapa pria yang telah mencuri ciuman pertamannya itu ada disini dan melamarnya lagi?

" Maya... " Panggil Marve, ia melangkah mendekat, dalam hati enggan karena Maya sungguh jual mahal. Wanita lain mungkin akan bersujud syukur jika mereka ada diposisi Maya saat ini. Ketampanannya dan juga kekayaan yang dimilikinya tidak akan ada wanita di dunia ini yang akan menolak jika seorang pria sepertinya ingin menikahinya tapi gadis ini sungguh berbeda. Marve sungguh tidak habis pikir.

Maya menoleh dan menatap tajam lalu berkat dengan ketus " apa kamu akan memberiku uang satu milyar jika aku mau menikah denganmu? " pertanyaan Maya sukses membuat Marve tertegun dan itu artinya Marve tidak bersungguh-sungguh jadi Maya krmbali melanjutkan langkahnya.

" Koh Ahok... " Maya berteriak penuh semangat saat pemilik toko yang dinantinya sejak tadi akhirnya tiba, dengan tertatih Maya berlari mendekat dan mengikuti langkah kaki pemilik toko itu, ketika pemilik toko itu membuka tokonya, Maya langsung melangkah masuk mengikutinya.

" Ini masih begitu pagi, mengapa kamu bisa sampai disini Maya? " Tanya pemilik toko berkepala botak itu dengan perut buncitnya. Meski nada suaranya terdengar tidak ramah tapi Maya tidak merasa keberatan, ia kemudian meletakan televisi miliknya diatas meja pemilik toko itu.

" Aku ingin menjualnya padamu... " Ucap Maya, Ahok menurunkan kaca matanya dan mengintip, saat Marve datang menghampiri dan berdiri disebelah Maya.

" Kamu memiliki kekasih seperti orang kaya tapi mengapa masih menjual barang bekas padaku? " Maya baru akan menanggapi ucapan Ahok tapi Ahok telah lebih dulu berbicara lagi. " Minta saja uang padanya. " Lanjut pemilik toko itu, ia masih merapihkan barang-barangnya dan menata mejanya.

" Ayolah koh Ahok, aku bukanlah pengemis dan pria aneh ini bukan kekasihku. " Jelas Maya tidak terima, Marve masih tidak mengerti dengan situasi yang terjadi, semua ini terlalu asing baginya jadi ia hanya diam dan melihat meski Maya jelas-jelas menolak keberadaannya.

Maya kemudian menarik kursi plastik dan duduk saat pemilik toko itu mulai duduk. " Mari kita buat penawaran... "

Pemilik toko itu menggaruk kepalanya, karena Maya sepertinya benar-benar berniat menjual televisi bututnya dengan stiker lusuh menempel disetiap sudutnya.

" Begini saja, aku akan memberimu dua ratus ribu dan tinggalkan televisi itu disini. " Ucap Ahok, ia tidak ingin mengecewakan Maya karena Maya kadang membantunya jika keadaan toko antiknya ramai pada hari minggu.

" Murah sekali... Televisi ini seusiaku, bagaimana bisa harganya semurah itu. Mari bermain jujur jangan coba menipuku. bagaimana jika lima puluh juta? "

Marve menahan tawanya saat Maya membuka harga untuk televisinya. Maya yang tidak terima menatap tajam membuat Marve menghentikan tawanya sedangkan Ahok menepuk keningnya yang mulai terasa pusing, bahkan semua barang antik yang berada ditokonya kini tidak bernilai begitu mahal, lalu televisi butut seperti ini tidak akan ada yang mau membelinya.

" Begini saja Maya, lebih baik kamu pulang dan tidur kembali karena sepertinya kamu masih mengigau. " Ucap Ahok, ia membalikan badannya dan mengabaikan permohonan Maya yang tidak terima dengan penawaran yang pemilik itu berikan, bagi Maya televisi ini sangat antik karena yang Maya tahu sekarang jika bentuk televisi sudah tidak cembung lagi, itu artinya televisi miliknya sudah menjadi barang antik kini.

" Koh... tiga puluh lima juta tidak masalah koh. "

" Kamu ingin memerasku? Pulanglah Maya! " Ucap Ahok geram, tidak akan ada orang yang mau mengeluarkan uang sebanyak itu demi barang yang mungkin sudah rusak itu.

Dengan rasa terpaksa Ahok mendorong tubuh Maya yang menggendong televisinya keluar dari tokonya.

" Pulanglah Maya.. Bibimu mungkin mencari-cari kemana televisinya pergi. '' Ucap Ahok sebelum akhirnya meninggalkan Maya yang kini berada beberapa meter dari toko antik itu.

" Dia tidak tahu barang bagus. " Cibir Maya kesal. Maya kemudian meletakan televisinya di atas sepedanya dan mengikatnya kencang tapi saat Maya akan mengayuh sepedanya Marve datang menghalangi.

" Aku akan membeli televisimu seharga satu milyar. "

Maya menghela nafas, ia sudah mulai lapar saat ini dan moodnya juga buruk, dan pria ini tetap mengatakan hal omong kosong seperti itu.

" Baiklah... Aku mau tunai saat ini juga. " Ucap Maya menantang.

Marve tersenyum dan kemudian menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Tidak sampai lima belas menit sebuah mobil datang dan sang supir segara turun untuk membuka bagasi belakang dan betapa terkejutnya Maya melihat kilauan cahaya merah berasal dari uang pecahan seratus ribu rupiah begitu banyak memenuhi garasi.

" Aahk.. " Marve meringis saat Maya mencubitnya, dia kesakitan dan itu artinya ini nyata, wajah Maya berubah menjadi sumringah kini.

" Apa kamu akan menjualku menjadi pekerja prostitusi? " Tanya Maya curiga, Marve membulatkan matanya. Bagaimana ia dapat memikirkan hal seperti itu? Apa gadis ini tidak tahu siapa dirinya.

" Aku masuk jajaran orang paling kaya di Indonesia, jadi jangan sembarangan menuduh. " Jelas Marve, ia mendekatkan wajahnya sehingga Maya dapat merasakan aroma mint dari hembusan nafas Marve.

" Baiklah aku percaya.." Jawab Maya pelan, ia menjauhkan wajahnya karena Marve sangat dekat dengannya kini. 

Maya kemudian turun dari sepedanya dan membuka ikatan televisinya.

" Ambilah, remot dan baterai serta antenanya dijual terpisah. " Maya menyerahkan televisinya pada Marve dengan mudahnya membuat Marve sedikit keberatan, dengan cepat supirnya mengambil alih televisi itu dari tangan Marve, ia tidak ingin dipecat jika Marve sampai cidera.

Uang-uang itu seperti memanggil jiwanya bahkan kini Maya tidak dapat merasakan langkah kakinya menapak bumi karena begitu senang, tapi Marve kemudian berjalan mendahului Maya dan dengan cepat menutup bagasi mobilnya.

" Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi sebelum mengambil semua uang ini. "

Maya menatap kesal, ia tidak membicarakan tentang syarat tadi saat menawar televisinya lantas mengapa kini ucapannya berbeda.

" Katakan apa syaratnya, aku tidak memiliki banyak waktu. " Ucap Maya ketus, Marve mengeratkan giginya karena merasa kesal. Mengapa gadis ini bertingkah seolah jika dirinya yang orang kaya disini dan bertindak mendominasi.

" Menikahlah denganku... " Ucap Marve, Maya dapat melihat jika kata-kata Marve bukanlah sebuah lelucon karena matanya terlihat bersungguh-sungguh saat ini tapi apa yang pria tampan ini lihat dari gadis lusuh sepertinya.

" Jangan mempermainkanku..."

" Aku serius, menikahlah denganku Maya. "

....