DEAD ZONE
Zombie Crisis
Ada dua pilihan, antara bertahan dengan sisa amunisi pada pistolku, atau berlari keluar dari dalam aula gereja untuk menghindari serangan dari makluk tersebut.
Pandangan mataku mulai melesik, mengamati setiap sudut ruangan yang penuh darah. Berada tepat di hadapanku, sesosok pria bertubuh kekar dengan sebilah kapak besar yang tampak haus darah pada saat ia hendak menyerangku.
Makluk tersebut hendaklah bersiap melancarkan aksi pertamanya. Sebilah kapak yang berukuran besar nan tajam bekilau pantulan sinar mentari tampak terlihat menyeramkan pada saat terjunjung tinggi oleh kedua tangannya.
"Oh my god!" desisku.
Sebuah ayunan kapak melesat kencang bagaikan sambaran petir di bulan purnama.
Aku berusaha untuk menghindari serangannya secepat mungkin. Naas, makluk tersebut sama sekali tak ingin melihatku bernafas di hadapannya.
Sorot matanya yang tajam seakan melambangkan kebencian disetiap sudut mata memandang, dimana aku yang kini tengah mencoba untuk mengacungkan sebuah senjata api di hadapannya.
"Jangan bergerak!" seruku seraya mengacungkan pistol ke arahnya.
Entah dia manusia atau mayat hidup, yang kini tengah mengganjal didalam benakku ialah, bagaimana caraku agar aku mampu untuk mengalahkan makluk terkutuk yang tengah berusaha untuk mengakhiri hidupku.
Ia tak ingin mendengarkan ucapanku, hingga pada akhirnya aku pun mulai terpaksa melepaskan sebuah tembakan hingga mampu menembus lengan kirinya.
*DUUAR!
Makluk itu sama sekali tak memiliki rasa sakit meskipun sebuah peluru tengah bersarang pada lengan kirinya. Serentak ia berlari dan melompat ke udara seraya menjunjung tinggi kapaknya.
Sebuah tebasan kapak kian melesat kencang ketika ia hendak melakukan sebuah serangan untuk yang kedua kalinya.
Ketika ia tengah melompat ke udara seraya menjunjung tinggi kapaknya, sesaat itulah aku yang segera berguling ke depan untuk menghindari hantaman kapaknya.
Alhasil sebuah serangan pun meleset hingga mendarat pada sebuah lantai kramik didalam aula.
Aku segera bangkit dan kembali mengacungkan senjataku ke arahnya. Hanya dalam hitungan detik aku pun mulai memainkan jari telunjukku pada pelatuk pistol, sehingga berulang kali amunisi keluar dari dalam barelnya dan melesat kencang ke arah belakang kepalanya.
*DUAAR! DUUAR! DUAAR!
Suara itu bukanlah sirene ambulan, bukan juga suara lonceng tanda pengumuman penting tanda berkumpulnya seluruh pasukan kerajaan. Melainkan desingan peluru yang mampu menyayatkan gendang telinga.
Pria itu mulai melemah ketika beberapa amunisiku mendarat pada belakang kepalanya.
"Huh! Kini aku tahu dimana letak kelemahanmu, dasar brengsek!" sembariku tersenyum miris ketika mendapati ia yang hampir tersungkur pada saat itu.
Ia kembali bangkit dengan sebilah kapak yang masih tergenggam rapat pada sebelah tangannya.
Tak ingin kehilangan kesempatan, kini aku mulai menekan pelatuk pada pistolku. Naas, serangan biasa sama sekali tak membuatnya tumbang, malah ia semakin marah dan kembali menyerangku dengan kapaknya.
*Ckleck! Ckleck!
"Ahk! Ke-kenapa di saat seperti ini, pe-peluruku telah habis terpakai."
Tak ingin kehilangan kesempatan, makluk itu segera memutarkan tubuhnya, diikuti oleh ayunan kapak yang mulai menyambar dan hampir mengenai leherku.
*Deg, deg! Deg, deg!
Detak jantugku kian berpacu semakin kencang bagaikan genderang perang. Bisa dikatakan bahwa kini aku mulai kehabisan akal untuk membalas serangannya.
Entah apa yang harus aku lakukan, setidaknya aku masih bisa bernafas dikala serangannya meleset, meskipun hanya berjarak beberapa inci dari leherku yang hampir terputus oleh kapaknya.
Lantai keramik yang penuh dengan bencak darah seakan menyulitkanku untuk berlari. Tidak hanya licin, namun jika sampai aku terjatuh maka tamatlah riwayatku.
Aku terus berusaha untuk mencari cara agar diriku selamat dari mara bahaya. Kini aku mulai terdesak, tiada seorang pun yang berada di dekatku, terkecuali...
Pandangan mataku terbelalak menatap jauh kearah pembatas ruangan yang menghubungkan antara aula gereja dengan ruangan disebelahnya. Perlahan aku melangkah mundur, mendekati pembatas ruangan tersebut dengan dengan pandangan yang tepaku pada makluk tersebut.
Disana, aku melihat seorang polisi yang terkapar tak bernyawa dengan sebuah senjata api berjeniskan laras panjang pada genggaman tangannya.
Senjata itu mirip seperti sniper. Ah, tidak! Lebih tepatnya lagi, itu adalah
Shoutgun M1887-Winchester.
Seiring aku melangkah mundur, ia pun mulai bergerak maju dengan nafas besarnya.
Aku berbalik arah dan segera berlari sekuat tenaga dengan seluruh kekuatan yang bertumpuh pada kedua kakiku. Ia pun mulai berlari dan bersiap untuk melesatkan serangan terakhirnya.
Dikala aku berhasil meraih senjata tersebut, secepat mungkin aku segera berbalik dan mengacungkan senjata tersebut ke arahnya.
"Enyahlah kau..." ucapku lirih seraya mengacungkan sebuah Shoutgun ke arahnya.
*Ckleck, ckleck!
Shoutgun itu kosong, sama sekali tidak ada satu pun peluru yang tersisah didalamnya.
Kedua tangaku semakin gemetar tak karuan, diiringi oleh butiran keringat yang kian bercucuran. Entah apakah ini hari sialku atau sebuah keberuntungan pada seorang pria yang akan menemui ajalnya.
-Bersambung-
Author Note : Waow! Sensasi menegangkan telah dimulai, kini saatnya anda untuk menerkah, bagaimana cara Michael selamat dari maut yang akan merenggut nyawanya. Okey guys, secara logika... Senjata tersebut tidak akan bisa di gunakan jika memang belum di pompa untuk membuang ampas peluru yang telah dipergunakan.
So, anggapan Michael mengenai senjata itu kosong apakah benar? Ataukah ia memang tidak bisa menggunakannya?
Nah, pastinya anda penasaran, bukan? Simak terus kelanjutan ceritanya hanya di The Last One!