Setelah makan malam, Faeyza duduk di teras depan. Tangan gadis itu memegang ponsel, dilihat video dimana terdapat remaja sedang berkencan di pasar malam. Rasanya ia sangat ingin menjalani kehidupan seperti di video tersebut, tapi dia tidak yakin kalau sang Suami akan bersedia. Setelah makan malam, pria itu langsung kembali ke kamar lalu mengambil laptop kemudian bekerja, entah pekerjaan apa yang dilakukan pada malam hari.
Terdengar suara langkah kaki menghampiri gadis tersebut, sang gadis tidak peduli, tatapannya fokus pada layar ponsel.
"Za, fokus sekali sampai tidak melihat aku datang."
Faeyza mendongakkan kepalanya sejenak, melihat Tanvir berdiri di belakangnya ia memiliki ide untuk pergi bersama pria tersebut ke pasar malam.
Gadis itu bangkit dari tempat duduknya, membalikkan tubuh menatap sang Adik Ipar."Tanvir, mau tidak temani aku ke pasar malam? Maz Zein sedang sibuk, tapi aku sangat ingin pergi ke pasar malam."
Ekspresi memelas dan penuh harap, Tanvir tersenyum senang. Baginya ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk lebih dekat dengan wanita pujaan hatinya، ada benarnya jika Zein kembali mengurus perusahaan jadi dia ada waktu bersama gadis itu.
"Za, kamu serius ingin aku menemanimu? Kamu tahu sendiri bukan? Kak Zein mungkin tidak akan mengizinkan kita pergi."
Faeyza menundukkan pandangannya, apa yang dikatakan pria itu memang benar. Seorang pria seperti Zein Ekky Maulana tidak akan mengizinkan seorang pria dan wanita berduaan meski mereka adalah saudara ipar, tapi ia sangat ingin pergi seperti wanita pada umumnya. Selain itu Zein juga kurang sehat, kalau diajak keluar malam kondisi tubuhnya sering tidak baik.
"Kamu benar, Maz Zein tidak akan mungkin mengizinkan kita pergi. Tapi sekarang dia sibuk, selain itu Maz Zein itu tidak sehat. Aku tidak akan tega jika mengajaknya keluar malam, udara dingin tidak baik untuk kesehatan tubuhnya."
Tanvir menyeringai, dia tahu kalau seorang pria penyakitan akan sangat sulit untuk membuat Istrinya merasa bahagia. Karena selain selalu merasa khawatir, mau pergi kemanapun juga tidak akan bebas.
"Faeyza sepertinya merasa sedih karena Kak Zein tidak sehat, bagaimanapun juga dia wanita muda. Mana mungkin tidak ingin pergi bersenang-senang, apalagi Kak Zein mulai malam ini akan mengurus perusahaan Maula publisher. Aku akan main cantik saja, aku akan membuat image tentang ku, seorang adik yang baik dan pengertian," batinnya licik.
Tanvir tersenyum menenangkan."Kakak Ipar, bukannya aku tidak mau. Tapi aku tidak mau kalau selalu bertengkar dengan Kak Zein hanya karena seorang wanita. Kamu istri kakak ku."
Faeyza mengangguk, dia tersenyum bangga karena pria itu sepertinya sudah taubat dan tidak lagi mengejarnya.
"Tanvir, aku senang karena kamu sekarang mengerti. Kalau begitu aku akan meminta izin pada Maz Zein, aku akan meyakinkan kalau sekarang kamu berubah." Gadis itu begitu senang hingga sedikit pun tidak mencurigai kalau semua itu hanya manipulasi agar Faeyza bersedia dekat dengan Tanvir.
"Iya, Za. Aku akan menunggu di sini," balas Tanvir sabar.
Wanita itu mengangguk, dia segera berlari menuju kamar. Ia tak sabar untuk bertemu dengan sang Suami dan mendengar jawaban setuju.
"Maz." Faeyza segera membuka pintu kamar, tatapannya tertuju pada sosok sang Suami. Pria itu masih fokus laptop di pangkuannya, dengan langkah kaki ringan, gadis itu berjalan menghampiri sang Suami.
"Maz."
Zein mengalihkan perhatiannya pada sang Istri, ia tersenyum lembut melihat ekspresi kebahagiaan dia wajah gadis 19 tahun tersebut. Meski di dalam hati sebenarnya heran dengan apa yang membuat Istrinya merasa bahagia.
"Maz, aku ingin ke pasar malam. Tapi karena Maz sibuk, aku akan pergi bersama Tanvir. Boleh, ya?" Faeyza meminta izin pada sang Suami, wanita itu terlihat begitu bahagia dan sangat berharap mendapatkan izin.
Zein mengerutkan kening, entah sejak kapan mereka sangat akrab. Yang dia tahu selama ini Faeyza dan Tanvir seperti musuh tapi kenapa sekarang justru ingin pergi bersama?
"Iza, kamu yakin? Tidak masalah bagi Mas, selama itu tidak hanya berdua. Karena bagaimanapun juga, kalian tidak memiliki hubungan darah."
Faeyza diam, bibirnya terkatup rapat. Bukan karena tidak terima penjelasan sang Suami, tapi dirinya sungguh ingin pergi dan hanya Tanvir yang bersedia menemani.
Zein menghela nafas melihat ekspresi istrinya, gadis itu seperti sangat tidak puas dengan jawaban darinya. Ia menutup laptop di pangkuannya lalu menaruhnya di atas meja. Pria itu kembali menatap wajah cantik Istrinya."Maz akan menemanimu, itu lebih aman dan terhindar dari fitnah."
"Tapi, Maz … kondisi tubuh Maz tidak baik. Tadi siang saat di rumah Ibu, penyakit Maz kambuh. Kalau keluar malam-malam, belum tentu akan baik-baik saja. Aku pergi bersama Tanvir juga tidak apa-apa kok, aku sudah baikan dengannya." Faeyza protes, dia mencoba mengingatkan kondisi tubuh pria rupawan tersebut, selain merasa khawatir ia juga merasa kalau pergi ke pasar malam bersama Zein tidak akan seru. Suaminya itu sangat alaihim, sopan dan jarang bercanda dengan orang.
Tatapan Zein berubah menjadi sendu, tapi sebagai seorang Suami manalah mungkin dirinya akan membiarkan seorang Istri berduaan dengan pria lain.
"Sayank, bukannya Maz tidak bisa percaya padamu. Tapi Maz hanya ingin menghindari fitnah, kenapa kamu tidak mau pergi dengan Maz? Apa Maz pernah buat salah?"
Faeyza tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk sang Istri agar mengizinkan dirinya pergi bersama Tanvir ke pasar malam, tapi tidak tega juga jika melihat sang Suami begitu sendu.
"Ya, aku pergi bersama Mas saja deh. Tapi aku ingin kita seperti orang pacaran."
Zein tersenyum getir mendengar nada tidak ikhlas dari sang Istri."Iya, Sayank. Maz ambil kunci mobil dulu."
Di depan kamar Maulana tersenyum tipis, dia merasa prihatin dengan kondisi putranya. Sekarang Zein pasti sedang sedih karena penolakan secara tidak langsung dari sang Istri."Zein, meski Ibumu dulu tidak suka pada Ayah. Tapi dia selalu bangga memiliki Suami seperti Ayah, tidak pernah memiliki ekspresi menolak dan tidak puas. Kamu sabar ya, Nak," batinnya.
Pria 60 tahun itu membalikkan tubuh dan pergi, langkah kakinya menuju pada sosok sang Istri di sofa panjang. Seperti biasa, wanita itu bermalas-malasan sambil telponan dengan Nita.
"Hahaha, Nit, say. Aku memang sudah tua, tapi Paman Maulana tetap sayank padaku. Kamu tahu, sekarang aku sedang rebahan sambil telponan. Aku seperti seorang Ratu." Fira video call dengan sahabatnya, wanita 48 tahun tersebut selalu pamer kemesraan tapi hanya pada sang sahabat, karena mereka saling memahami satu sama lain.
"Yadis, sudah deh kamu jangan pamer terus." Nita kesal sendiri, malam-malam ditelpon hanya untuk mendengarkan orang pamer. Memang si Suaminya tidak sekaya Maulana, tapi tetap saja jengkel, untung sahabat sendiri kalau tidak mungkin ogah.