Episode 3
Universitar Madangkara menjadi tempat kedua saudari tersebut menimba ilmu."Ulfi, hari ini kakak ada kelas penuh, jadi kalau nanti kamu sudah selesai kelas, kamu bisa pulang terlebih dulu. Nanti kakak bisa naik ojek atau angkutan umum," pesan Faeza.
"Iya, kak. Aku mengerti, kalau begitu aku masuk dulu." Ulfi tersenyum, setelah itu mereka berpisah ke kelas masing-masing.
Syehan Tanvir Mizan memandang bosan kampus tiga lantai tersebut, Ayahnya memintanya untuk jalan-jalan, tapi ternyata dirinya sudah didaftarkan menjadi mahasiswa. Usia 30 tahun masih duduk di bangku kuliah, apakah itu masuk akal?.
"Kalau bukan karena Ayah yang mengusirku dari rumah, aku mungkin tidak akan terdampar di Universtitas Madangkara ini," gerutunya. Pria bermata safir tersebut melangkahkan kaki menuju ruang kelas semester 3 PGMI, memang Maulana paling ahli membuat pria rupawan tersebut jengkel setengah mati.
Bruk...

"Astagfirullah hal adzim, apakah tadi aku menabrak buldoser?" Tanvir segara membalikkan tubuh tidak berani menatap seseorang yang tak sengaja menabraknya, biasanya kalau terjadi tabrakan ketika ingin masuk kelas, orang yang menabraknya itu wanita gendut.
"Tampang saja alim, tapi ternya bisa juga ngatai orang," celetuk Nita sambil membantu Faezya bangkit, ia jengkel karena seorang pria menabrak sahabatnya bukannya mintak maaf malah menyebut sang sahabat buldoser.

"Sudah, Nit. Kamu jangan marah, Allah itu menyuruh kita untuk bersabar. Yang terpenting semua orang juga tahu bahwa aku ini manusia bukan benda. Kecuali orang yang matanya sliwer," balas Faezya menyindir pria yang tadi menabraknya.
Kedua gadis itu langsung masuk ke dalam kelas, karena hati sudah jengkel bertemu dengan manusia yang suka menghina.
Tanvir membalikkan tubuhnya, bibirnya tersenyum ketika mendengar mendengar suara Faezya."Ayah, aku telah menemukan calon istri. Aku yakin dia adalah orang yang cocok untuk menjadi menantumu."
Pria bermata safir tersebut melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kelas, iris safirnya mencari keberadaan Faezya, ia kembali tersenyum ketika melihat sosok tersebut duduk di pojok. Dia melangkahkan kaki menghampiri gadis manis tersebut.
"Hai, maaf. Aku tidak sengaja menyinggungmu, namaku Syehan Tanvir Mizan, namamu?"
Faezya mendongakkan kepalanya, jantungnya terasa terhenti ketika melihat sosok tersebut. Sorot safir tersebut mengingatkan dirinya pada seorang pria yang ada dalam mimpinya, hanya saja pria di depannya ini tidak begitu terlihat memiliki sopan santun, jadi mungkin dirinya salah orang.
"Faezya Farzan, tidak apa."
Tanvir mengangguk, ia mendudukkan dirinya di samping gadis tersebut." Dingin banget," batinnya.
"Faeyza, kamu mau tidak menikah denganku? Ayahku memintaku untuk menjadikanmu istri, katanya kamu adalah gadis sholehah." Pria bermata safir tersebut langsung mengatakan maksud hatinya tanpa permisi.
"Baik." Tanpa sadar Faezya bahkan menyetujui ucapan pria tersebut, ia sendiri tidak mengerti kenapa bibirnya mudah sekali mengatakan itu.
"Tapi ... jangan sampai ada orang tahu kalai kita sudah menikah," tambahnya seakan seperti orang gila.
Tanvir tertegun, ia tidak perlu usaha keras untuk mendapatkan seorang wanita? Tapi dengan begitu setidaknya dia tidak harus melakukan dosa dengan dekat wanita."Kalau begitu nanti aku akan langsung ke rumahmu."
"Tidak perlu, aku tidak jadi setuju. Lupankanlah." Faezya bangkit dari tempat duduknya dan langsung pergi meninggalkan pria tersebut.
"Ada apa dengannya? Dia memberikan jawaban seperti tanpa menyadarinya, Faezya. Kenapa aku merasa kita pernah ketemu sebelumnya, tapi di mana? Aku merasa kalau kamu menang istriku," gumam Tanvir, ia mencoba untuk mengingat-ngingat tapi tetap tidak berhasil.
Faezya duduk di depan kelas semester satu, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung."Sebenarnya kamu siapa? Kenapa setiap kali aku bersedih aku mengingatmu."
"Akh." Tanvir menyentuh dada kirinya, ia selalu merasakan perasaan sesak dan seperti terrtusuk di jantungnya, ketika periksa ke dokter, dirinya tidak memiliki masalah dengan jantung tapi terkadang selalu saja merasakan sakit dan perih.
"Kamu kenapa?" tanya seorang pria berambut cepat hidung setengah pesek, ia mendudukkan diri di depan pria bermata safir tersebut.
"Tidak apa, aku hanya merasa dadaku tiba-tiba saja merasa sakit. Aku sudah periksa ke dokter, tapi dokter bilang aku baik-baik saja," jelas Tanvir.
"Mungkin orang yang sangat kamu sayang sedang sedih, ia menyebut namamu dan merindukanmu. Coba kamu telpon pacarmu sekarang, oh ya, namaku Yayang Dwi Saputra." Yayang tersenyum ramah.
"Syehan Tanvir Mizan," balas Tanvir, ia menatap teman barunya itu dalam diam. Jangankan pacar, dekat dengan wanita saja belum pernah.
"Nama yang bagus," komentar Yayang.
"Terimakasih," jawab Tanvir, tersenyum ramah tapi dalam hati dia masih memikirkan perasaannya.
Tak lama kemudian dosen datang dan Faezya masih belum kembali, pria bermata safir tersebut tidak tenang sama sekali, ia pun pergi mencarinya. Dan benar saja ternyata gadis itu menangis, dia menghampiri wanita cantik itu lalu mengulurkan tangannya.
"Aku tidak berpikir bahwa kamu gadis gampangan, tapi aku sangat berharap kamu serius menikah denganku. Dari pada pacaran bukankah lebih enak menikah, masalah cinta itu bisa tumbuh belakangan, yang terpenting kita saling menjaga dan saling setia."
Faeyza mendongak, bagaimana mungkin dirinya bisa menikah dengan orang lain kalau dalam hatinya ada seorang pria yang selalu muncul dalam mimpi. Tapi mungkin juga lebih baik menikah sehingga dia tidak lagi terjebak dalam sebuah ilusi."Aku harus mintak izin pada kedua orang tuaku dulu, bagaimana kalau mereka tidak setuju?"
"Aku berniat baik, aku akan menghubungi ayah dan ibuku. Aku akan langsung menikah denganmu, kamu tinggal bilang pada orang tuamu bahwa kamu setuju menikah denganku," balas Tanvir sedikit memaksa, siapa suruh ayahnya terus memintanya untuk pulang membawa istri kalau tidak maka dilarang kembali.
"Kita belum saling kenal." Faiza masih tidak yakin.
"Kenalan dong, yakinlah aku tidak akan menyia-nyiakan seorang istri. Aku diajari oleh kedua orang tuaku untuk selalu bertanggung jawab." Tanvir berusaha meyakinkan Faiza.
"Jangan memaksakan kehendak pada orang, itu tidak baik."
Pria bermata safir tersebut mengerutkan kening, ia seperti mendengar suara ayah tercinta, tidak mungkin bukan orang tuanya itu ikut menyusul.
"Faiza, apakah kamu mendengar suara pria tadi?" tanyanya memastikan.
"Itu pak Maulana, beliau dosen favorid di sini," jawab Faiza malu-malu, ia menundukkan kepala di depan dosennya tersebut.
"Ha?" Tanvir terkejut, ia pun membalikkan tubuhnya. Ternyata memang ayahnya, pria itu bahkan tersenyum tanpa merasa bersalah.
"Ayah, kenapa ayah bisa di sini? Jangan-jangan ayah menguntit ya?"
"Kamu mirip dengan ibumu kalau bagian ini, bukankah ayah sudah bilang, jangan selalu buruk sangka pada orang. Karena itu sangat tidak baik, ayah memang sesekali ke sini untuk memberikan pengarahan," balas Maulana dengan senyum manis tapi membuat Tanvir jengkel setengah mati.