Chereads / Calon Imamku (Tamat) / Chapter 6 - Enam

Chapter 6 - Enam

Calon Imam Ku episode 6

Faeyza, Nita dan Riko berhenti di depan sebuah toko baju. Rico sengaja menghentikan mobilnya karena kedua gadis yang ada dalam mobilnya tersebut ingin membeli sebuah kado ulang tahu dalam toko tersebut, dari dalam mobil dia melihat seorang pria yang sangat mirik dengan Tanvir hanya saja sepertinya ada yang beda tapi tidak tahu apa.

"Za, Nita. Kalian lihat pria berbaju taqwa itu tidak?" tanyanya memastikan kalau pendengarannya tidak salah.

Kedua gadis itu mengikuti arah pandangan Rico."Itu Tanvir? Kenapa dia ada di sini? Bukankah katanya tadi mau pulang? Sepertinya dia sudah berbohong," kata Faezya.

"Za, jangan buruk sangka dulu. Karena sepertinya dia bukan Tanvir, lihat saja caranya berbicara. Dia begitu sopan dan sama seakan tidak suka bertatapan langsung dengan wanita," kata Nita memberikan sedikit teguran pada sahabatnya.

Faeyza memperhatikan lagi pria tersebut, memang sepertinya sedikit berbeda."Biar tidak buruk sangka, bagaimana kalau kita pastikan saja," usulnya.

"Ide bagus, sekalian kita cari kado di sini," kata Rico mengangguk, begitu pun Nita. Setelah itu mereka berdua pun turun dari mobil dan melangkahkan kaki memasuki butik tersebut.

Zein masih menatap anak dari bibinya tersebut heran."Karina, pikirkan ucapan kak Zein barusan ya? Kakak pulang dulu."

"Tunggu." Karina berusaha menghentikan kakaknya, ia mengambil sebuah syal merah lalu diserahkan pada pria tersebut.

"Kak Zein, kakak harus ingat apa yang dokter katakan. Setelah kecelakaan itu, kondisi jantung kakak kurang baik, jadi kakak harus menjaga kesehatan."

Zein tersenyum, ia menerima syal tersebut lalu mengalungkannya ke leher."Baiklah, terimakasih."

Setelah itu, pria bermata safir tersebut membalikkan tubuh dan melangkahkan kaki meninggalkan gadis pirang tersebut, di tengah jalan dia berpapasan dengan Faeyza, Nita dan Rico. Pria rupawan tersebut hanya tersenyum ramah menyapa pengunjung yang baru datang tersebut.

Deg…

Senyum itu menggetarkan jantung Faeyza, ia bahkan tidak bisa mengalihkan perhatiannya pada sosok rupawan berbaju taqwa serta bersyal merah tersebut.

"Sepertinya Faeyza sudah tersihir oleh pesona Tanvir," kata Rico melihat sahabatnya terkesima ketika melihat seorang yang dikira Tanvir itu tersenyum.

"Tanvir, tunggu!" Rico langsung mengejar pria tersebut sebelum benar-benar pergi jauh. Dia ingin memastikan sendiri apakah pria itu benar-benar Tanvir teman sekelasnya atau bukan.

Zein menghentikan langkah kakinya, ia membalikkan tubuhnya menatap pria yang tadi memanggil dirinya dengan nama saudara kembarnya."Tuan, apakah tuan barusaja memanggil saya dengan nama Tanvir?" tanyanya memastikan, sopan dan ramah.

"Tanvir, kamu … kamu ngapain di sini? Bukankah tadi kamu bilang kamu ingin segera pulang?" tanya Rico juga heran. Faeyza dan Nita menyusul sahabatnya tersebut, mereka juga merasa ada yang aneh dengan pria rupawan di depannya tersebut.

"Tuan, sepertinya Anda sudah salah mengenali orang. Saya Zein, bukan Tanvir." Zein berusaha menjelaskan kesalah pahaman yang telah terjadi.

Faeyza terdiam membisu, tubuhnya terasa kaku seketika. Kilas balik seorang pria yang hadir dalam mimpinya kembali terngiang, selendang merah di leher pria itu sama persis dengan seorang pria yang ada dalam mimpinya, bahkan namanya juga sama persis.

"Kau adalah calon istriku." Tanpa sadar dia mengucapkan kata tersebut seakan ingin Zein teringat akan kata yang pernah diucapkan dalam mimpinya.

"Maaf?" Zein tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh gadis tersebut, sangat jelas tatapan gadis itu seperti memintanya untuk mengingat kata yang baru saja diucapkan.

"Kamu yang mengatakan itu padaku, aku ingat dengan sangat jelas kalau kamu mengatakan kalimat tersebut," kata Faeyza penuh semangat seperti memaksa Zein untuk mengingatnya.

"Nona, saya mohon maaf. Tapi saya sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Anda, dan … apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" balas Zein masih tidak mengerti, sekali pun dia merasa kalimat itu sangat familiar tapi ia tidak ingin melakukan sesuatu yang meragukan.

Faeyza syok dan terpukul, dia merasa sangat malu karena ternyata pria yang di didepanhya itu sama sekali tidak mengenal dirinya."Kamu … kamu Zein Ekky Maulana. Ya, aku ingat dengan benar, kamu pernah bertemu dengan ku dalam mimpi. Saat itu kamu duduk di sebuah ruangan, di koridor depan ruangan itu ada karpet berwarna merah, kamu berdiri dari tempat dudukmu saat aku datang. Kamu mengatakan kalau aku adalah calon istrimu." Dia masih belum bisa menerima kalau semua yang dialami hanyalah sebuah mimpi kosong.

Rico dan Nita merasa kasihan melihat sahabatnya tersebut, Nita mencoba untuk menenangkan sang sahabat dan Rico mencoba meminta maaf pada Zein.

"Za, kamu jangan seperti itu. Tuan ini bukan pria yang ada dalam mimpimu, lagi pula mungkin saja kalau pria yang ada dalam mimpimu itu adalah Syehan Tanvir Mizan, bukankah wajah mereka sangat mirip," kata Nita tidak tega melihat sang sahabat.

Zein diam tidak mengatakan apapun ketika nama adiknya disebut, 2 tahun mereka berpisah. Perasaan rindu pada keluarga tercinta tidak bisa dihindari, tapi ia harus tetap bersabar hingga mereka kembali bertemu.

"Tuan, Zein. Saya atas nama sahabat saya minta maaf, kalau begitu kami permisi dulu." Rico menarik tangan Nita dan Nita menarik tangan Faeyza pergi meninggalkan pria bermata safir tersebut.

Diam-diam Karina mengamati saudara sepupunya tersebut, ia pun mendekati sang kakak setelah orang-orang yang tadi bersamanya pergi."Kak Zein, apakah kakak baik-baik saja? Jangan dipikirkan, aku yakin kok kalau kakak akan bertemu kembali dengan Paman Maulana dan Tente Fira serta kak Tanvir. Kakak sabar saja ya? Nanti aku akan bilang pada nenek untuk membiarkan kakak kembali."

Zein tersenyum tipis."Karina, Nenek bukan tidak mengizinkan aku pulang. Nenek hanya tidak tahu kalau aku adalah cucunya, tapi tadi aku sudah memberitahunya. Nenek sangat senang dan tidak melarang aku untuk kembali."

"Sukurlah, kakak adalah orang yang sangat baik. Allah akan selalu menyayangi orang yang berhati sabar dan berbuat baik." Karina tersenyum memberi semangat pada pria tersebut.

Zein menghela napas, ia lupa kalau hari ini belum meminum obat dan cek up ke dokter hingga dadanya terasa sesak dan nyeri.

"Kak Zein, kakak belum ke rumah sakit ya? Kakak jangan meremehkan kesehatan, lihatlah … wajah kakak terlihat sekali kalau kakak sedang sakit, bagaimana mungkin kakak tidak akan membuat nenek khawatir," kata Karina heran terhadap pria tersebut.