PEMUDA BERTUDUNG__6th part
Sang pemuda berjalan menuju ke tengah ruangan. Tangan kanannya melambai di atas sebuah tatakan lilin yang menempel pada dinding kayu. Sepercik api--menyalakan lilin tersebut--entah darimana dan membuat semua yang ada di ruangan sempit itu terlihat jelas. Erich terkejut dan nyaris berteriak, tapi dia urungkan. Bagaimanapun ini pertama kali baginya melihat langsung sesuatu yang disebut sebagai sihir. Karena itu adalah sesuatu yang terlarang di Axton, tidak ada yang mau mempelajarinya, apalagi menggunakannya di hadapan orang lain.
"Itu bukan sihir," sang pemuda tiba-tiba berkata sambil menahan tawa. "Itu adalah api murni yang berasal dari keberadaanku. Tak perlu kujelaskan lagi, kan?"
"Ah, Phoenix!" tebak Erich. Phoenix adalah seekor burung api. Tubuhnya diselimuti api abadi karena itu sang pemuda dapat menciptakan percikan api. Namun hanya itu saja. Tidak lebih.
"Namanya Ellgar Wagner," pemuda itu menanggalkan mantel bertudung yang dia kenakan kemudian meletakkannya di gantungan sementara Erich mendekati pria lainnya yang terbaring lemah pada ranjang yang terletak di sudut ruangan. Pria itu memiliki rambut panjang berwarna keemasan dan tubuh kekarnya dililit oleh perban yang tidak mampu menahan cairan kemerahan merembes di antaranya. Darah kehitaman yang tak bisa mengering sejak lama. Luka di tubuh pria tersebut cukup serius dari yang terlihat.
"Seminggu yang lalu ini adalah ruangan pribadiku. Benar-benar pribadi sampai rasanya ingin mati terkurung di sini saja. Selama sepuluh tahun aku tidak punya izin untuk bersosialisasi dengan dunia luar sampai kejadian tak terduga ini terjadi. Kalau hanya mengandalkan kemampuan para bandit di sini, yang ada mereka hanya akan membuka kedokku saja. Mereka tidak terbiasa menyelinap di antara para prajurit jadi aku terpaksa turun langsung dan mencuri obat tadi," sang pemuda menjelaskan. "Maafkan aku. Andai kau bisa membawa serta Ellgar ke kastil dan menjamin keselamatan orang-orangku di sini, apapun yang Penasehat Agung perintahkan, akan kulakukan dengan senang hati."
"Itu..." Erich menggaruk kepalanya karena bingung, "Sepertinya kalau saya yang menjadi Penasehat Agung, tidak akan perlu berpikir lama untuk menyanggupi permintaan anda."
"Boleh kutambahkan satu lagi permintaan?" suara pelan berbisik di belakang telinga Erich tanpa disadarinya. Sebilah pedang siap mengiris tenggorokan Erich kalau saja dia bergerak tiba-tiba. Rupanya pria bernama Ellgar yang tadi terbaring telah berdiri di sisinya dengan santai. Bahkan sepertinya tidak terlihat bahwa pria itu sedang menahan rasa sakit.
"Jadi ini semua hanya lelucon saja?" Erich menggertakkan giginya kesal. "Aku pikir kalian benar-benar membutuhkanku tadi."
"Prajurit sialan, beraninya kau berteriak pada Tuanku!" hardik Ellgar semakin mengekang Erich dengan pedangnya sementara sang pemuda hanya tersenyum melihat guratan tipis pada leher Erich yang mulai memerah.
"Apa lagi yang kalian inginkan?" tanya Erich pelan. Dia tidak mau memperkeruh suasana. Sudah sejauh ini, kalau sampai pemuda bertudung itu tidak mau ikut bersamanya ke kastil, Erich harus mengulanginya dari awal lagi. Benar-benar menyusahkan, tapi dia sudah terbiasa bernegosiasi seperti ini daripada bermain kekerasan. Hanya beberapa syarat dan semuanya akan beres tanpa ada korban.
*bersambung ke part berikutnya