PEMUDA BERTUDUNG__10th Part
Luce akhirnya masuk ke ruang perpustakaan yang merupakan bagian dari Paviliun Naga tersebut. Di dalamnya, pemuda itu dipersilahkan duduk pada kursi yang mejanya telah tersedia satu teko teh mawar, sepiring biskuit, dan semangkuk buah persik berwarna merah muda. Beberapa buku bersampul cokelat diletakkan juga di meja tersebut, sementara yang lain berjajar rapi pada rak kayu setinggi dua meter. Pemandangan yang tidak asing bagi Luce, tapi tetap saja pemuda itu tak bisa mengingat apa yang telah dilakukannya dulu di tempat itu.
"Itu pasti ingatan yang paling tidak ingin kuingat," batin Luce sambil mengambil sebuah buku kemudian membaca lembaran demi lembaran. Tak begitu menarik, buku itu hanya berisi tulisan mengenai Tata Kelola Perpustakaan yang ditulis tangan oleh salah satu pegawai kerajaan.
"Sepertinya kau tak kehilangan kemampuanmu untuk hidup," Rick mendekati meja dan menuangkan secangkir teh untuk Luce kemudian duduk dan mengunyah beberapa biskuit sekaligus. "Kau masih bisa bertarung, masih bisa membaca, dan bicara layaknya seorang pangeran."
"Apa aku terlihat seperti itu di mata kalian?" tanya Luce sembari meletakkan kembali bukunya. Dia membuka tudung putih yang menutupi sebagian besar rambut hitamnya--sangat kontras dengan kedua mata birunya. "Sudah sepuluh tahun aku tinggal di jalanan. Selama itu juga aku hidup sebagai seorang kriminal. Mereka memang menahanku di ruangan khusus, tapi mereka tak bisa menolakku untuk mengendalikan mereka. Semakin lama, kriminal yang bekerja sama dengan kerajaan untuk mengekangku, sekarang berbalik melayaniku seperti seorang majikan saja. Ternyata waktulah yang telah membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Aku harap kau juga menyadari itu, Penasehat Agung."
Rick tertawa renyah. Dia mengambil buah persik di hadapan Luce kemudian mengulitinya dengan pisau. Tanpa perlu mencari tahu, sudah jelas sekali kalau pria itu suka makan. Luce belum menyentuh apapun di meja selain sebuah buku, sementara pria itu sudah menyentuh hampir semua benda di atas meja yang mayoritas adalah makanan.
"Panggil aku Paman," katanya sambil mengunyah. "Aku adalah kakak tertua dari Yang Mulia Ratu Giselda. Kau dan aku masih sekerabat. Tidak perlu sungkan begitu. Ceritakan saja apa yang ada dibenakmu padaku. Aku seorang Penasehat Agung. Bukan hanya Raja-Tertinggi yang bisa kuberi nasehat, tapi semua orang. Terutama pemuda yang tidak tahu arah dan tujuan sepertimu."
"Ngomong-ngomong soal yang kau katakan barusan, sejak sepuluh tahun lalu, aku sudah tahu siapa yang benar dan siapa yang salah," Rich mengakhiri senam mulutnya dengan minum teh kemudian menyalakan pipa tembakau. "Ellgar mungkin tak memberitahumu apa-apa karena menganggap kau masih terlalu muda. Tapi sebentar lagi kau akan memasuki usia enam belas tahun dan pada usia itu, semua anggota keluarga raja berhak mendapatkan upacara kedewasaan. Karena itu, aku perlu memberitahumu beberapa rahasia kecil agar kau bisa melaksanakan tugas dari Yang Mulia dengan tenang."
"Yang Mulia..." Luce menggenggam erat kedua tangannya yang tiba-tiba bergetar. "Paman, bisakah kau memberitahuku bagaimana dia, Raja-Tertinggi kita. Aku benar-benar sangat ingin berterima kasih padanya secara langsung. Bahkan meskipun aku tak tahu rahasia macam apa itu, aku akan tetap melaksanakan tugas darinya. Aku bahkan berpikir untuk melayaninya seumur hidupku karena tak tahu lagi bagaimana cara membalas kebaikannya."
Rick menegakkan tubuhnya yang sedikit condong ke arah Luce. Dia tahu benar, Luce tidak berdusta. Bisa dibilang kalau pemuda itu mengatakan semua kalimat itu dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Bisa memiliki pelayan yang setia dan abadi seperti dia merupakan keuntungan terbesar bagi Axton," pikir Rick sambil bertopang dagu. Netranya tak luput dari wajah sedih Luce yang sedang meratapi nasib. Dia bahkan tidak bisa membendung air matanya ketika menyadari apa yang telah dan akan ditempuh keponakannya itu karena terbebani kekuatan yang sangat besar. Bahkan lebih besar dari keseluruhan kekuatan yang ada pada masa itu.
"Kau bertanya tentang bagaimana Yang Mulia Raja-Tertinggi?" Rick menjawab. "Baiklah aku akan memberitahumu sedikit tentangnya. Seperti yang kau tahu, dia sosok yang misterius. Tidak seorangpun di sini pernah menemuinya. Lebih tepatnya, Raja-Tertinggi tidak ingin menemui siapapun kecuali aku dan Yang Mulia Ratu. Bahkan Devian dan Illiana pun sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak Devian diangkat menjadi Raja-Muda. Raja-Tertinggi hanya menjadi sebuah simbol saja sementara yang bertanggung jawab atas sistem pemerintahan di Axton adalah Raja-Muda."
"Jadi orang yang aku temui sebelum Paman tadi benar-benar bukan raja yang sesungguhnya?" Luce menepuk dahinya. Dia merasa konyol karena telah membungkuk di hadapan Devian dan mengira kalau dia adalah Raja-Tertinggi. "Padahal tadi dia sudah menjelaskan, tapi aku masih saja tidak mempercayainya."
"Dan lagi, apa maksud orang itu memanggilku adik ipar tadi," dalam batinnya Luce mendengus kesal dan semakin kesal ketika Rick menahan tawanya seolah tahu apa yang sedang dia pikirkan.
"Tapi jika kau beruntung, Raja-Tertinggi akan memintamu untuk menemuinya sendiri," Rick menepuk bahu Luce setelah meletakkan pipa tembakaunya, membuat asap tipis memenuhi hampir seluruah ruang perpustakaan.
"Aku rasa aku tidak mungkin seberuntung itu untuk saat ini," ucap Luce. "Jika Paman menemuinya nanti tolong beritahu pada Yang Mulia kalau aku sangat berterima kasih padanya karena memberi kesempatan kedua untukku hidup."
Rick tersenyum tipis. Wajah tampannya merona saat itu. Padahal bukan dia yang diberikan ucapan terima kasih, tapi bisa-bisanya dia ikut merasa malu. "Mungkin aku yang sudah terlalu tua sampai tak tahu kalau pada masa yang sulit seperti ini, masih saja ada anak muda yang setulus dia."
*bersambung ke part berikutnya