PELAYAN DAN TUANNYA __ 1st Part
Seorang pangeran bergelar Putra Mahkota, berdiri di balkon tertinggi Kastil Alcander yang bagian pagarnya dipenuhi oleh mawar merah. Bunga tersebut tumbuh dari taman yang ada di bawah balkon dan merambat hampir ke semua tempat. Mengamati tanaman yang tak terawat tersebut, sang pangeran mengerutkan dahinya tak senang. Salah satu sudut bibirnya yang melengkung menggerakkan titik hitam yang ada di sisinya. Tanda lahir yang menambah manis wajah tampannya.
Dia begitu termasyur di kerajaannya hingga banyak paket hadiah berdatangan memenuhi sudut kamarnya hari itu. Tidak hanya dari kerajaan lain dan para bangsawan, paket tersebut juga merupakan kiriman khusus dari penggemarnya yang ada di Gretasha, ibukota Alcander. Surat-surat cinta juga berserakan di antara tumpukan hadiah tersebut. Banyak sekali putri dari kerajaan lain yang berusaha menghiburnya, bahkan rakyat jelata pun seperti tak bisa melepaskan namanya dari telinga mereka.
Illarion de Alcander adalah putra tunggal dari Raja Abraham Hamlet dan Ratu Dimitria. Dia mewarisi seluruh kekayaan Alcander---wilayah, kastil, bahkan semua rakyat kerajaan tersebut adalah miliknya, tak terkecuali. Hanya satu yang tidak dia miliki saat itu, yaitu ketenangan batin. Semua yang bergelimang di sisinya adalah hasil dari merebut hak saudara tirinya.
Sebelum menikah dengan Ratu Dimitria, ayahnya telah memiliki putra dari seorang wanita yang selalu disembunyikan keberadaannya. Tidak hanya seorang, bahkan ada dua orang putra, yang seharusnya berada di hadapan Illarion sebagai pewaris tahta. Bagi pemuda itu, semua yang ada dalam genggamannya seperti air yang tak bisa dia pertahankan selamanya. Dia selalu hidup dalam bayang-bayang ketakutan, mengingat apa yang pernah dilakukan ayahnya pada mereka---wanita itu dan kedua putranya. Hanya demi mematuhi tradisi yang sudah ada sejak dulu, sang Raja tega menghabisi ketiganya dan semua orang yang setia pada mereka. Walaupun Illarion bukan pelakunya, rasa bersalah selalu timbul dalam benaknya.
"Paman Evan, apakah dia benar-benar akan datang hari ini?" tanya Illarion pada pria muda di sisinya, seorang pengawal pribadi yang tidak lain adalah pamannya sendiri, Evandra Hamlet.
"Saya sudah memastikan undangan kita sampai di Axton tepat waktu. Kalau hanya untuk bertemu dengan Raja-Muda Devian Argus, tidak akan sesulit bertemu dengan Raja-Tertinggi," Evan menjawab. "Tapi kali anda meminta beliau membawa serta Pangeran Kedua. Saya sempat berpikir kalau anda terlalu buru-buru, Yang Mulia."
"Pergerakan bangsawan St. Claire kembali terlihat di wilayah ibukota," tukas sang Putra Mahkota. Iris matanya yang hijau-cerah tak dapat luput dari bunga mawar yang bermekaran di sekitar pagar balkon. Sangat indah namun menakutkan. Durinya yang berusia sangat tua menambah ketajamannya. Sekali tertusuk bisa dipastikan darah menetes keluar dari permukaan kulit. "Aku tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Kita harus bergerak lebih cepat dari Pangeran Jean karena dia pasti sudah mempersiapkan diri sejak lama. Tidak hanya dengan melindungi tahta ini selama ayahanda masih hidup, tapi juga mengembalikan kehormatan pada adik kesayangannya. Setelahnya aku harap pria itu akan berubah pikiran."
"Pangeran Jean bukanlah Fletcher St. Claire," Evan memandang punggung tegar Illarion dari balik jubah merahnya yang berkibar. Siluet tubuh pemuda di hadapannya seolah hilang ditelan mentari fajar yang meninggi. Hari semakin siang ketika rombongan kereta kuda terlihat memasuki gerbang utama kastil. "Setelah yang dilaluinya selama ini, tidak akan mudah untuk meredam api kebenciannya pada Yang Mulia Raja. Meskipun hari ini dia bisa bertemu dengan adik kandungnya, tidak bisa dipastikan bahwa dia akan luluh begitu saja. Bahkan setelah mendapat kabar bahwa Pangeran Kedua kehilangan ingatannya, saya rasa mempertemukan mereka berdua hanya akan sia-sia. Apalagi membuat keduanya berkumpul sebagai keluarga lagi dalam waktu semalam. Sepertinya itu mustahil."
"Di dunia ini tidak ada hal yang mustahil, Paman," Illarion berbalik, memandang lekat wajah tampan pamannya yang masih belum juga beristri di usia produktifnya saat itu. Dia menambahkan, "Selama masih ada niat dan keyakinan, kita pasti bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan perseteruan ini."
Evan tersenyum simpul. Dia tahu tak ada gunanya membujuk keponakannya itu untuk berhenti melibatkan diri dalam persoalan pribadi ayahnya. Karena itu menerima kenyataan bahwa Illarion telah diberkati dengan keyakinan yang kuat adalah hal terbaik yang bisa Evan lakukan saat itu. "Anda yang memutuskan, Yang Mulia. Saya hanya bisa mendukung semua itu dari belakang."
*bersambung ke part berikutnya