PELAYAN DAN TUANNYA__7th Part
"Terence..." Jean melanjutkan kembali perjalanannya. "Apa kau sudah menyiapkan apa yang kuminta kemarin?"
"Sudah saya persiapkan semua, Tuan Besar," pria berambut ungu berkata. Dia adalah Terence Collin, salah satu anggota bangsawan St. Claire. Matanya kuning berkilat seperti kucing sedangkan tubuhnya tinggi dan ramping. Bisa dibilang, dia jauh kelihatan lebih tinggi daripada Jean. Terence adalah adik sepupu dari kepala keluarga sebelumnya, yaitu Fletcher St. Claire dan semenjak Jean diangkat menggantikannya, Terence pun diberi tugas untuk melayani Jean seumur hidup. "Tapi Tuan, sebenarnya menyerahkan tugas seperti itu pada salah satu orang Gretasha bukanlah pilihan yang tepat. Demi kepingan emas, dia bisa mengkhianati kita kapan saja."
"Kita tetap harus menggunakannya untuk memancing pelaku sebenarnya keluar," ucap Jean. "Aku tak bisa membiarkan orang lain mempengaruhi Luce semakin dalam. Aku harus melindunginya sekali lagi." Kedua mata biru Jean tiba-tiba disilaukan oleh mata logam yang melesat di hadapannya. Sebuah anak panah perak patah menjadi dua ketika Luce menghalaunya dengan api di ujung jemarinya. Jean terperanjat. Tubuhnya sedikit gemetar ketika tahu siapa yang berdiri di depannya saat itu. Tapi Luce sama sekali tak menghiraukan Jean yang nyaris terluka.
Seseorang di balik rimbunnya kanopi pohon terlihat melompat turun dan berlari, membuat Luce berteriak, "Mau lari ke mana kau, Archerias brengsek!"
Pemuda itu kemudian berlari mengejar orang berbaju hitam yang dia lihat. Baginya, anak panah yang baru saja dia hancurkan terlihat tidak asing. Benda yang sama pernah menusuk tubuh Ellgar di Estefania, ketika melindunginya. Luce tidak bisa tinggal diam. Tidak hanya dirinya, seseorang berencana untuk membunuh kakaknya juga. "Kakak, maafkan aku. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyapamu," lirih Luce. "Aku harus mengejar orang sialan itu."
"Anda tidak apa-apa, Tuan Besar?" Terence bertanya pada Jean yang tiba-tiba gemetar. Illarion dan Ellgar datang menyusul kemudian. Teriakan Luce sepertinya membuat semua orang di Ruang Jamuan panik dan berusaha keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Aku tidak apa-apa," jawab Jean berusaha menghela napas panjang. Pria itu berusaha mengendalikan rasa terkejutnya ketika melihat Luce untuk pertama kali sejak sepuluh tahun lamanya. "Kalau saja tidak ada anak panah itu," lirihnya ketika melihat Ellgar bersujud, meneliti patahan anak panah tersebut. Mata panahnya yang terbuat dari perak menghitam oleh cairan kental beraroma menyengat, membuat Ellgar sadar kalau itu adalah racun yang pernah menembus tubuhnya beberapa waktu yang lalu.
"Sebaiknya anda tetap tinggal di sini malam ini," kata Ellgar tanpa basa-basi menyebabkan raut wajah Jean berubah kesal seketika.
"Padahal aku sudah punya rencana sendiri malam ini. Tapi kalau aku tak menuruti nasehatnya, mungkin akan ada pembunuh bayaran lain yang memburu nyawaku malam ini. Tidak disangka, pada hari di mana mereka akan mengembalikan Luce pada posisinya semula dalam silsilah keluarga kerajaan, seseorang menginginkanku mati bahkan sebelum aku menuntut hal yang sama," Jean membatin.
"Anak panah ini telah dilumuri racun 'Terompah Iblis', tanaman yang sangat mematikan. Kalau anda bersikeras kembali sekarang, kami tak bisa menjamin keselamatan anda jika peristiwa yang sama terjadi nantinya," Ellgar berusaha menjelaskan dengan nada terpaksa, "Tuan, berhentilah membuat orang-orang di sekitar anda khawatir karena keegoisan anda."
"Kau bicara seolah-olah telah lama mengenalku, Yang Mulia Argus," Jean tersenyum sinis mendengar Ellgar menyebutnya dengan kata 'Tuan', panggilan yang sudah lama tak disebut oleh pria berambut pirang di hadapannya. Sepuluh tahun yang lalu, Ellgar telah membulatkan tekad untuk melayani keluarga St. Claire. Sejak kecil dia memang terlihat lebih dekat dengan Luce daripada Jean. Meskipun begitu, Jean sudah menganggap Ellgar sebagai teman sebayanya. Tak ada hirarki dalam pertemanan mereka. Bahkan jarang sekali mendengar Ellgar memanggil Jean dengan sebutan itu tapi bukannya membuat Jean senang, malam itu justru Ellgar telah memancing kemarahan Jean sampai pada batasnya.
"Lalu keegoisan apa yang kau maksud? Aku bukanlah pangeran yang bisa tenang menghabiskan waktu dalam sebuah pesta sementara orang-orangku kelaparan," Jean membalas, bahkan tanpa perlu bertata krama lagi pada mantan pelayannya tersebut. "Aku harus bekerja siang malam untuk memberi makan mereka dan itu jauh lebih penting daripada keegoisan yang kau maksud tadi. Benar-benar..."
"Maaf atas kelancangan kami, Tuan," Illarion memotong. "Kalau memang anda sudah memiliki rencana lain, kami tidak akan menahan anda lagi. Anda bisa pergi sekarang. Saya akan memerintahkan beberapa prajurit untuk mengawal anda sampai di Grissham dengan aman. Terima kasih sudah menyempatkan waktu kemari dan maaf kalau semua ini mengganggu kegiatan anda."
Jean hanya diam ketika Illarion memberikan salam dengan menempatkan tangan kanannya di dada. Ellgar pun demikian. Tak ada rasa takut sedikitpun ketika menatap kedua mata Jean yang seolah berkilat merah karena kemarahannya yang memuncak. Dia tahu, Jean tak berani melakukan apapun padanya di hadapan umum seperti ini, apalagi dengan identitas palsu yang sedang Ellgar gunakan sekarang. Seolah tak peduli, Jean akhirnya meninggalkan Ilarion dan Ellgar kemudian pergi bersama rombongannya meninggalkan kastil Alcander.
*bersambung ke part berikutnya