Chereads / The Second Throne / Chapter 5 - The Hoodie One (5)

Chapter 5 - The Hoodie One (5)

PEMUDA BERTUDUNG__5th Part

Sang pemuda bertudung merapatkan pintu utama setelah Erich masuk ke sebuah bangunan malam, tempat segala aktivitas dunia kelam berpusat di Estefania. Tidak hanya karena aktivitasnya, bangunan yang terletak di lorong sempit tersebut memang didominasi oleh warna kelam. Lampu berwarna kuning menghiasi setiap sudut langit-langit. Totem bersimbol phoenix keemasan terpatri pada semua pintu-kayu kamar yang menjadi tempat bermalam para tamu. Banyak wanita berpakaian sutera mondar-mandir membawa nampan berisi arak beras dan daging panggang. "Aroma yang lezat," Erich mengusap air liurnya yang menetes saking tergodanya.

Tak hanya itu, suara keras orang-orang beradu koin emas juga terdengar. Sepertinya bukan hanya menjadi rumah bordil, bangunan itu juga adalah kasino termewah yang pernah Erich lihat. Pengunjungnya bukan hanya dari kalangan rakyat biasa, tetapi juga para bangsawan dan pejabat kerajaan. "Mungkin itu alasannya, tidak boleh sembarang orang masuk ke lorong ini. Kalau Raja-Tertinggi menanggapi semua ini dengan serius, pasti banyak sekali pejabat yang diberhentikan. Untung saja, aku tadi menyamar. Kalau sampai ketahuan mereka yang mengenaliku, habislah aku. Misi rahasia ini kan tidak boleh sampai ketahuan siapapun," Erich membatin.

"Jangan gugup begitu, Kepala Prajurit," kata pemuda bertudung. "Selama kau berjalan di sisiku, mereka takkan berani mengusikmu. Seperti yang kau dengar tadi, aku pemimpin di sini."

"Bagaimana bisa anda berkeliaran di tempat seperti ini. Dulunya saya berpikir kalau anda benar-benar dijatuhi hukuman mati. Saya tidak lupa saat itu melihat kepala anda..." Erich berhenti mengoceh karena sadar dia sepertinya telah salah ucap. Langkahnya pun terhenti. "Maaf atas kelancangan saya. Saya tidak bermaksud..."

"Phoenix, aku rasa kau pernah mendengar legenda itu. Legenda yang telah diceritakan secara turun-temurun di Axton sejak ratusan tahun lalu," tukas sang pemuda. Dia tak berhenti berjalan hingga Erich mengikutinya lagi. Tanpa berpaling ke belakang, pemuda itu melanjutkan penjelasannya. "Phoenix tak bisa mati. Dia akan membakar tubuhnya sendiri agar bisa terlahir kembali. Seperti itulah diriku. Ketika mereka semua mengadakan kremasi, mereka pikir itu akan melenyapkanku. Sebilah golok memang telah memenggal kepalaku. Tapi saat mereka menyalakan api di atas tubuhku, mereka tidak sadar saat itu mereka telah membangkitkanku lagi."

"Apakah itu sebuah anugerah atau kutukan, kekuatan itu pastinya sangat mengerikan," Erich berpikir. Kedua matanya tak bisa luput dari pemandangan di hadapannya. Seorang pemuda yang pernah merasakan bangkit dari kematian di tengah nyala api yang seharusnya menyakitinya.

"Orang yang mengelola tempat ini sebenarnya adalah pelayan setiaku dan dia adalah orang yang berhak mengambil keputusan untuk melindungiku dan juga tempat ini. Sayangnya, seminggu yang lalu seorang archerias menyerang kelompok kami dan melukainya dengan panah beracun. Terompah Iblis, tanaman yang memiliki bunga sangat indah, namun mematikan. Untungnya di kerajaan lama kami, pengawal keluarga kerajaan wajib mendapatkan terapi kekebalan. Kalau tidak, nyawanya sudah tak tertolong lagi."

"Jadi itu alasannya mencuri ekstrak Sclefferium," lirih Erich. Dalam hatinya, dia sedikit merasa iba atas nasib yang menimpa sang pemuda. Bagaimanapun, di dunia yang sangat luas ini, orang sepenting dia harus hidup di tengah-tengah kebusukan masyarakat dan tak seorangpun dari keluarganya yang peduli. Kalau saja bukan Penasehat Agung, tidak mungkin ada yang mau mengangkat derajatnya lagi. Padahal kalau dipikir-pikir, tidak ada hubungan darah antara keduanya atau mungkin semua itu hanya berdasarkan asas manfaat saja.

Erich menggeleng dan menolak semua pemikiran buruknya. Setelah tiba di ujung koridor gedung, sang pemuda menggeser sebuah lemari besar yang berdiri tegar pada sebuah lubang yang menuju ruang bawah tanah. Sederet anak tangga yang terbuat dari kayu berjajar rapi menurun ke bawah. Suaranya berderit pelan ketika Erich dan sang pemuda berjalan di atasnya. Sesampainya di dasar, lemari yang berada di atas mereka bergeser kembali menutup lubang di dinding.

*bersambung ke part berikutnya