Dimas menatap wajah Laura yang sedikit pucat pasca operasi. Laura masih tidak sadarkan diri sama seperti ibunya yang masih berbaring tidak jauh dari ranjang tempat Laura berbaring.
Pratama memang dengan sengaja menempatkan Laura dan Dita di ruangan yang sama agar ia bisa menjaga Laura karena takut jika Dimas mungkin akan melakukan hal buruk kepada Laura walaupun ia masih bingung mengapa Dimas terlihat sangat marah kepada Laura padahal pagi tadi mereka masih bermesraan di lift.
Suara helaan nafas berat terdengar membuat Dimas segera menoleh kearah ayahnya yang langsung membuang pandangannya. Terlihat dengan sangat jelas jika ayahnya masih sangat marah padanya tapi Dimas sama sekali tidak berniat untuk meminta maaf, ia bahkan tidak berani mendekati ibunya dan melihat bagaimana kondisinya karena tidak ingin kembali membuat keributan dengan ayahnya sehingga ia hanya bisa duduk di sisi Laura, menatap wanita yang sudah mengambil sisa kasih sayang yang dimiliki oleh kedua orangtuanya yang seharusnya adalah miliknya.
Tapi wajah Laura yang tidak terlihat cerah seperti biasanya membuat tangan Dimas perlahan tergerak untuk menyentuh wajahnya yang ternyata terasa hangat.
Ada perasaan lega saat ia merasakan wajah Laura terasa hangat karena itu artinya jika Laura baik-baik saja.
Tangan Dimas masih bergerak membelai wajah Laura, dari pipinya perlahan turun ke bibirnya yang terlihat pucat namun masih terasa lembut.
"Apa kamu sudah merindukan bibirku?"
Dimas segera menarik tangannya begitu mendengar suara Laura. Sebelumnya ia tidak menyadari jika Laura sudah tersadar karena sorot matanya sedang terfokuskan pada bibir Laura.
"Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya memastikan apa kamu masih bernafas."
"Aku tidak akan mati dengan mudah."
Tanpa sadar Dimas tersenyum setelah mendengar jawaban Laura namun ia dengan cepat kembali memasang ekspresi dingin saat menyadari jika Laura juga tersenyum padanya sehingga ia langsung beranjak bangun dan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun setelah itu.
Laura hanya bisa menatap kepergian Dimas dengan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, perasaan yang tidak dapat ia mengerti tapi membuatnya ingin menangis.
"Kamu sudah sadar?"
Laura segera menyeka air matanya begitu mendengar suara Pratama yang menghampirinya.
"Bagaimana dengan keadaan mami… Em maksud saya keadaan bu Dita."
"Kondisi mami sudah kembali stabil, terima kasih banyak… Semua ini berkat pengorbanan mu."
Cara Pratama berbicara kepadanya membuat Laura merasa jauh lebih baik apalagi saat Pratama menyebut Dita dengan sebutan "mami" seakan Pratama tidak keberatan jika ia memanggil Dita dengan panggilan "mami" karena biasanya Pratama selalu menyebut istrinya dengan sebutan "Ibu Dita" saat bicara dengannya.
"Aku tidak mengorbankan apapun, tolong jangan bicara seperti itu…"
"…Karena itu membuatku merasa seperti aku sedang memanfaatkan keadaan ini." Gumam Laura dalam hati. Pratama menyadari jika wajah Laura kembali terlihat murung sehingga ia menoleh kearah ranjang dimana Dita berbaring dan memastikan jika kondisi Dita baik-baik saja barulah ia duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Dimas.
"Terima kasih banyak, aku mendengar apa yang kamu ucapkan kepada dokter sebelum operasi dan itu tidak akan terbayarkan oleh apapun."
Laura berpikir sejenak, ia tidak merasa berbincang dengan Dokter sebelum operasi di mulai tapi kemudian ia teringat tentang ucapannya mengenai perasaannya kepada Dita.
"Laura, aku tidak tahu apa jadinya keluargaku jika kamu tidak ada. Terima kasih banyak."
Dimas langsung menghentikan langkahnya ketika ia kembali memasuki ruangan karena melihat ayahnya sedang memegangi tangan Laura dengan sangat erat yang membuat Dimas semakin terbakar oleh rasa cemburu.
… Laura POV…
Hari berlalu dengan sangat cepat, sudah hampir dua minggu aku menjalani masa pemulihan dan tidak ada satupun keluargaku yang mengunjungi ku padahal aku sudah memberitahu mereka jika aku sedang berada di rumah sakit, sama seperti kecelakaan yang aku alami sebelumnya, mereka sama sekali tidak perduli. Aku mungkin akan kembali merasa kesepian jika saja Dita tidak selalu menemaniku dan tentunya pria menyebalkan yang tidak pernah sedetikpun tidak membuatku kesal, siapa lagi jika bukan Dimas.
Pria itu sekarang duduk di tepi ranjang rawat ku sambil menatapku dingin tapi ia harus tetap menyuapiku bubur.
"Panas, bodoh!" Gumam ku pelan, tentunya aku tidak ingin Dita dan juga Pratama mendengar umpatan ku kepada putra mereka yang sudah mereka paksa untuk mengurusku selama aku di rumah sakit.
Dimas bahkan tidak di perbolehkan keluar dari ruangan ini jadi aku dapat sedikit mengerti mengapa ia selalu memasang wajah kesal setiap kali bertatap muka dengan ku karena sudah pasti dia merasa terpenjara disini.
"Makanlah dengan cepat, aku sudah muak berada di ruangan yang bau obat ini!" Ucap Dimas yang kembali menyuapiku dengan suapan yang sangat besar hingga aku tersedak.
"Pelan-pelan saja, aku tahu kamu sangat suka makan tapi aku tidak ingin kamu menelan sendoknya juga."
Oh Tuhan, kutuk lah dia menjadi kera sekarang juga! Sudah jelas jika dia dengan sengaja membuatku terlihat rakus di depan kedua orangtuanya, dasar pria sialan.
"Itu benar sekali, aku memang sangat suka makan jadi apa boleh aku minta satu porsi lagi? Entah kenapa bubur hari ini terasa sangat lezat."
Dimas membulatkan kedua matanya saat mendengar permintaanku karena itu sudah pasti hanya akan memperlambat waktu lagipula siapa yang membuatku terlihat seperti wanita rakus? Dia bukan? Jadi dia harus tanggung jawab!
"Kamu mau bubur lagi?" Dita bertanya dengan sedikit berteriak karena jarak ranjang rawat kami yang cukup berjauhan.
"Jika boleh…" Jawabku tersenyum malu-malu dan mengabaikan tatapan sinis yang Dimas tunjukan kepadaku, ya hanya kepadaku… Dimas akan selalu tersenyum saat menoleh ke arah ibunya dan berpura-pura baik kepadaku.
"Tentu saja boleh…" Sahut Dita, ia kemudian meminta perawat untuk membawakan satu porsi bubur untuk ku.
"Kamu harus makan yang banyak agar pulih lebih cepat." Ucap Pratama saat perawat yang diminta Dita telah kembali membawakan bubur sesuai keinginannya.
"Makanlah sendiri…" Gumam Dimas pelan seraya beranjak bangun dan bersiap untuk pergi.
"Dimas…"
Dimas menghentikan langkahnya ketika Dita memanggilnya.
"Kenapa mi? Mami butuh sesuatu?" Tanya Dimas yang dengan sigap menghampiri.
Dita menggelengkan kepalanya dan tersenyum sambil menyentuh lengan Dimas.
"Suapi Laura, dia masih lapar."
Oh seandainya saja aku bisa memiliki kekuatan super untuk dapat melihat ekspresi Dimas yang saat ini memunggungi ku karena aku sama sekali tidak menyangka jika Dita kembali menyuruh Dimas menyuapi ku lagi.
"Oh please, mom… Dia sudah sangat besar dan sehat untuk bisa makan sendiri lagipula aku sudah menyuapinya tadi dan selama dua minggu ini aku terkurung disini hanya untuk menjadi pelayannya, apa mami tidak kasihan kepadaku? Aku hanya ingin menjaga mami bukannya dia." Ucap Dimas yang akhirnya tidak tahan dan mengeluarkan seluruh keluhan yang sudah dua minggu ini ia tahan sama seperti ia yang menjadi tahanan di tempat ini.
"Dimas, jangan bicara seperti itu… Mami sangat berterima kasih atas perhatian kamu, tapi papi merawat mami dengan sangat baik lagipula Laura tidak memiliki keluarga disini selain kita."
Aku sama sekali tidak menduga Dita mengatakan hal seperti itu, hal yang membuat hatiku menghangat.
"Tapi dia bukan keluarga kita!"
Tapi Dimas memusnahkan kehangatan itu dengan sangat mudah, menarik ku kembali ke jurang kenyataan yang harus aku terima.
....