Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 18 - Titik terendah

Chapter 18 - Titik terendah

"KALIAN ADALAH RASA SAKIT TERBESAR YANG PERNAH AKU MILIKI!"

Segera setelah aku mengungkapkan kepedihan hatiku yang hancur, salahku mengharapkan mereka bersimpatik karena yang aku dapatkan hanyalah sebuah tamparan keras yang menyakitkan hingga aku dapat merasakan nyeri pada rahang ku dan perih di sudut bibirku. Kali ini aku tidak bisa mengelak, itu terjadi sangat cepat dan menyakitkan.

Aku hanya bisa menatap ayahku yang masih terlihat marah tanpa sedikitpun rasa bersalah terpancar dari raut wajahnya yang baru saja menamparku dengan sangat keras bahkan ibuku dan Jesica tidak sedikitpun memperlihatkan rasa kasihannya kepadaku.

Sepertinya aku memang tidak disayangi…

Yang dapat aku lakukan hanyalah beranjak bangun dan pergi meninggalkan mereka.

Ayah dan ibuku, mereka berdua menamparku secara bergantian. Apa salahku?

Aku hanya ingin berbuat baik, aku tidak ingin menjadi wanita manipulatif…

Mereka bahkan tidak menahan kepergian ku, sampai akhir aku memang dibuang.

Aku membuka pintu, air mata yang sudah tertahan di pelupuk mataku akhirnya kembali menetes saat melihat seseorang yang tidak pernah aku bayangkan muncul dihadapan ku.

Dia melihatku pada titik terendah yang pernah aku rasakan dan membuat harga diriku semakin jatuh ke dasar jurang yang tidak berujung. Keangkuhan dan ketegaran yang selama ini aku tujukan hancur dalam waktu yang bersamaan.

"Laura, apa yang terjadi denganmu?"

Aku tidak mampu menjawab, aku hanya bisa menangis seperti wanita lemah tapi tidak pernah aku bayangkan jika dia akan menarik ku kedalam pelukannya dan memelukku dengan sangat erat, sesuatu yang sangat aku butuhkan sekarang.

Hanya menangis, hanya itu yang dapat aku lakukan dan membiarkan dia memeluk ku dengan sangat erat seolah dia adalah satu-satunya orang yang dapat mengerti rasa sakit yang aku rasakan.

Musuh terbesarku, Dimas dirgantara… Kenapa dia? Kenapa harus dia orangnya? Kenapa harus dia yang melihatku disaat aku seperti ini?

***

…Author POV…

"Obati lukamu…"

Laura mengabaikan obat yang Dimas berikan kepadanya, saat ini mereka berada di minimarket dekat stasiun karena Laura memintanya untuk mengajaknya pergi jauh dari rumahnya.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Laura yang akhirnya bersuara setelah sebelumnya hanya diam meskipun tatapan matanya masih terlihat kosong dan terluka.

"Aku ingin memintamu membuat surat pengunduran diri agar orangtua ku berhenti menanyakan keberadaan mu." Jawab Dimas yang akhirnya memilih duduk disebelah Laura dan mengobati luka memar di sudut bibirnya meskipun tanpa persetujuannya.

"Aku membuang cek yang kamu berikan."

Ucapan Laura membuat Dimas tertegun terlebih saat kedua mata mereka tidak sengaja bertemu dan ia dapat melihat dengan jelas kesedihan dari sorot mata yang biasanya angkuh itu.

"Apa kurang? Aku akan menambahkannya setelah kamu menuliskan surat pengunduran diri." Ucap Dimas yang memilih untuk kembali fokus mengobati luka Laura karena tidak ingin terpengaruh oleh rasa kasihan yang tiba-tiba saja muncul.

"Aku tidak mengerti mengapa semua orang ingin mengusir ku, apa aku begitu buruk rupa?"

Dimas langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Laura seakan ia tidak percaya dengan apa yang muncul dalam pikirannya setelah Laura mengatakan hal yang terasa sangat menyedihkan itu serta luka disudut bibirnya membuat Dimas berpikir mungkinkah laura mendapatkan perlakuan kasar dari keluarganya, apa dia juga tidak diinginkan seperti dirinya?

Mungkinkah nasib mereka sama?

"Terima kasih obatnya." Ucap Laura yang tiba-tiba saja beranjak bangun. "Pinjamkan aku uang, dompet dan ponselku tertinggal disana." Lanjutnya yang bahkan tidak sanggup menyebut tempat dimana orang-orang yang ia anggap sebagai keluarga itu tinggal sebagai rumah karena rumah itu lebih terasa seperti neraka baginya.

"Aku akan mengantarkan mu…" Dimas tidak menunggu Laura menjawab tawarannya karena dia langsung menarik pergelangan tangan Laura dan membawanya memasuki mobilnya.

"Mau kemana?" Tanya Dimas yang dengan sengaja membuat nada suaranya terdengar datar agar Laura tidak menganggapnya sebagai bentuk perhatian.

"Ke apartemen ku." Jawab Laura tidak kalah dingin.

Dimas menoleh, ia melihat Laura masih memasang ekspresi yang sama, sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk menuntutnya pergi sekarang.

"Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa wajahmu memar?" Tanya Dimas yang tidak bisa menahan rasa penasarannya karena perjalanan cukup jauh.

"Karena dipukul, apalagi?"

"Siapa yang melakukannya?"

Laura menoleh dan menatap Dimas, "Ayah ku…"

"Bagaimana bisa dia melakukan itu?" Dimas tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya hingga suaran terdengar marah. "Apa ayahmu selalu bersikap kasar? Bagaimana dengan ibu mu? Apa dia juga mendapatkan kekerasan dari ayahmu? Kamu harus melaporkannya agar jera." Ucap Dimas menyarankan. Ia sungguh tidak habis pikir ada ayah yang tega memukul putrinya sendiri hingga memar.

"Ibu ku…"

Dimas menanti, ia menanti Laura melanjutkan ucapannya yang tertahan.

"Apa perlu kita kembali dan membawa ibumu pergi bersama kita?" Tanya Dimas tapi Laura malah tertawa pedih.

"Ada apa dengan mu? Mengapa kamu tertawa?"

Laura menoleh, sekali lagi ia menatap Dimas yang mendadak sangat perhatian bahkan membuatnya merasa jika Dimas mengkhawatirkannya.

"Karena ibuku menampar ku lebih dulu…"

Dimas seketika terdiam, ia tidak menyangka jika Laura mendapatkan perlakuan buruk dari kedua orangtuanya.

"Lalu kenapa kamu ingin pulang jika mereka tidak bersikap baik padamu?" Suara Dimas terdengar pelan sekarang meskipun ia bertanya tanpa menatap Laura.

"Karena kamu… Kamu membuatku muak." Jawab Laura pelan membuat Dimas tidak lagi bicara.

Mereka akhirnya terus diam sampai akhir mereka sampai di tempat parkir apartemen dimana Laura tinggal.

"Aku akan mengantarmu ke atas?" Tanya Dimas begitu mereka keluar dari mobil.

"Tidak perlu…" Tolak Laura yang langsung melangkah pergi meninggalkan Dimas namun tiba-tiba saja tubuhnya terangkat.

"Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!" Pinta Laura tapi Dimas tidak mendengarkannya, ia tetap melangkah dan menggendong tubuh Laura hingga memasuki lift, bahkan di dalam lift Dimas tidak juga menurunkan Laura dari gendongannya.

"Apa kamu sedang berusaha membuatku jatuh cinta padamu?" Ucap Laura bergurau meskipun ia sama sekali tidak menunjukan senyumannya.

"Anggap saja begitu karena aku yakin jika kamu akan melompat dari gendonganku jika aku mengatakan aku kasihan padamu."

"Syukurlah hatiku sedang hancur sekarang jadi aku tidak bisa jatuh cinta padamu…"

Dimas tanpa sadar tersenyum tipis saat mendengar jawaban Laura. Ia kemudian melangkah keluar dari lift begitu pintu lift terbuka dan membawa Laura menuju unit apartemen miliknya.

"Apa kamu bolos kerja hanya untuk mendapatkan surat pengunduran diri dari ku?" Tanya Laura saat Dimas sedang berusaha membuka pintu apartemennya dengan sedikit kesusahan karena Dimas tidak mau menurunkan tubuhnya.

"Itu salah satu alasannya…"

"Lalu apa alasan lainnya?"

Dimas tidak langsung menjawab karena akhirnya ia berhasil membuka pintu apartemen Laura dan membawanya masuk.

"Sudah sampai sebaiknya turunkan aku kecuali kamu memang senang bersentuhan denganku." Pinta Laura.

"Kamu masih bisa menggodaku disaat seperti ini?"

"Apa kamu tergoda?"

Dimas hanya bisa tertawa lalu membuka pintu kamar Laura dan menurunkannya tepat diatas tempat tidurnya.

"Aku tidak akan menyentuh wanita yang sedang terluka hatinya." Bisik Dimas setelah selesai merapihkan selimut untuk menutupi tubuh Laura.

"Syukurlah karena aku rasa bukan hanya hatiku yang sakit tapi juga luka bekas operasi ku terasa sakit,"

Dimas hanya diam, ia terlihat menghela nafas sebelum akhirnya keluar dari dalam kamar Laura.

Laura tidak ingin terluka lebih dalam, ia tidak akan mengharapkan Dimas akan berada disisinya disaat ia rapuh seperti ini.

...