"Ijinkan aku menginap malam ini saja…"
Tidak ada jawaban, Laura bahkan tidak menoleh dan langsung pergi keluar dari dalam kamarnya.
Ia jelas sedang berusaha terlihat sibuk ketika Wisnu keluar dari dalam kamarnya dan melangkah menghampirinya.
"Apa yang ingin kamu makan?" Tanya Laura yang dengan sengaja menghindari Wisnu dan melangkah menuju lemari pendinginnya tapi Wisnu kali ini tidak mengijinkan Laura untuk menghindarinya karena ia dengan segera menutup pintu lemari pendingin yang belum sempat terbuka sempurna.
"Jangan menghindariku!"
"Aku tidak menghindarimu, ada apa dengan mu? Mengapa kamu terlihat kesal hanya karena aku tidak mengijinkanmu menginap?"
"Aku bukannya kesal, aku hanya…"
"Hanya apa?"
Wisnu terdiam begitu Laura meninggikan nada suaranya, semburat kemerahan sudah memenuhi matanya yang terlihat berkaca-kaca.
"Kamu tidak pernah ada di pihak ku, Wisnu… Tidak ada satupun dari kalian yang pernah ada di sisiku."
"Saat itu aku masih terlalu muda, aku tidak berani melawan ayah ataupun ibu, tapi sekarang aku sudah cukup dewasa untuk melindungimu, Laura!"
"Melindungiku?" Laura tertawa getir, "Kamu adalah orang yang selalu membuatku semakin hancur saat ayah dan ibu menunjukan kebenciannya kepadaku, kamu yang membuatku selalu merasa seperti anak pungut karena itu yang selalu kamu katakan kepadaku. Jika aku hanyalah anak pungut!" Air mata Laura tidak dapat terbendung, ia meluapkan rasa sesak yang selama ini ia tahan, rasa sakit yang ia simpan di sudut hatinya karena Wisnu selalu menyebutnya anak pungut sejak kecil. Kenyataan pahit yang membuatnya selalu merasakan kekuarangan dan sendirian.
"Aku pikir kita sudah cukup dewasa untuk melupakanya…" Ucap Wisnu pelan, ia terlihat menyesali apa yang telah ia ucapkan kepada Laura saat kecil.
"Melupakannya?" Laura melangkah mendekat dan tanpa ragu mendorong tubuh Wisnu. "Kamu hampir menyinggungnya lagi tadi!" Teriak Laura semakin emosional.
"Maafkan aku…"
"Kamu tidak tahu rasanya… Kamu tidak tahu bagaimana rasanya merindukan orangtua yang berada di depan matamu tapi mereka sama sekali tidak melihat mu. Kamu tidak tahu bagaimana aku hancur setiap detiknya melihat mereka memperlakukan mu dan Jesica dengan kasih sayang sementara mereka selalu mengabaikan ku. Dan kamu selalu menambahkan luka ku dengan mengatakan jika aku hanyalah anak pungut."
Wisnu hanya bisa diam dan membiarkan Laura memukuli dadanya dan meluapkan rasa frustrasinya yang selama ini terpendam.
"Berhentilah berpura-pura perduli padaku… Aku tidak sanggup menahan rasa sakit lain karena kecewa pada sikapmu yang palsu."
"Aku tidak berpura-pura, Laura… Aku minta maaf jika aku membuatmu semakin hancur dengan ucapan ku padamu dulu, tapi yang aku ucapkan dulu itu…"
"Hentikan… Aku tidak mau dengar apapun alasanmu!"
"Laura, dengarkan aku kali ini saja… Kita sudah cukup dewasa untuk membicarakan semua ini dengan baik." Ucap Wisnu, ia menatap wajah Laura dan memegangi lengannya agar Laura tidak menghindarinya lagi dan mau mendengarkannya tapi Laura dengan cepat menepis kedua tangannya dan melangkah mundur.
"Yang sudah hancur tidak akan bisa diperbaiki."
Seperti mendapatkan tembakan panas yang menembus jantung, air mata Wisnu perlahan menetes.
"Aku akan datang lagi besok."
Wisnu ingin menjelaskan semuanya, ia ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Laura tapi melihat Laura yang terlalu emosional membuatnya memilih untuk menunggu hingga Laura merasa tenang. Meskipun Ia sangat mengkhawatirkan Laura tapi Wisnu tidak bisa memaksakan dirinya untuk tetap berada disisi Laura jika ia tidak menginginnkannya sambil berharap semoga Laura menjadi lebih tenang besok.
Tubuh Laura jatuh luruh saat melihat Wisnu menghilang di balik pintu. Ia hanya bisa menangis di sudut dapur sendirian. Kebaikan Wisnu terasa tidak nyata, kehangatan yang Wisnu tunjukan terasa dingin saat ia kembali teringat jika kedua orangtuanya meminta ia membantu Wisnu dan Jesica mewujudkan mimpi mereka, itu membuat Laura merasa jika Wisnu juga memiliki maksud yang sama dengan kedua orangtuannya.
***
Dimas tidak dapat tidur memikirkan ucapan ayahnya kepadanya, ia masih memandangi surat pemberian pengacara ayahnya yang menunjukan surat yang sudah di sahkan oleh notaris jika ia akan kehilangan seluruh harta warisannya jika ia menolak menikahi Laura.
Wanita itu… Wanita yang dulu pernah sempat singgah dihatinya karena ia pikir Laura adalah gadis tulus saat mereka pertama bertemu namun cinta itu hilang begitu ia tahu jika Laura hanyalah gadis manipulatif yang selalu ingin terlihat tidak berdaya demi mendapatkan simpatik seperti apa yang selalu Wendy katakan kepadanya dulu dan semua itu terjadi secara nyata di hadapannya dan mengancamnya sekarang.
Dimas kemudian beranjak bangun, ia mengambil jaketnya dan kunci mobilnya. Ia tidak perduli meskipun ini sudah jam dua pagi tapi ia tetap pergi dari rumahnya.
Seharusnya ia tidak tertipu, seharusnya ia tahu jika Laura hanya memanfaatkannya, seharusnya ia tidak bermain api dengannya dan sekarang ia mulai terbakar.
…
Laura menoleh begitu mendengar suara pintu yang terbuka dengan kasar.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Laura dan Dimas secara bersamaan.
Laura yang bingung dengan kedatangan Dimas yang tidak terduga dan Dimas yang juga bingung karena melihat Laura sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper.
"Kamu akan pergi?" Tanya Dimas mendekat.
"Kenapa? Kamu ingin mencegahku?" Laura balik bertanya tanpa menoleh sedikitpun.
"Apa kamu bermimpi?" Cibir Dimas.
"Well, ini memang waktu yang indah untuk bermimpi. Seharusnya aku tidak terlalu lama saat tidur siang tadi, oh aku lupa… Aku bukannya tidur tapi pingsan karena dua pria tidak jelas berkelahi dihadapanku yang sedang sakit." Laura balas mencibir.
"Apa yang membawamu kemari?" Tanya Laura yang akhirnya menoleh dan menatap Dimas. Pria penyusup yang sudah berkali-kali nyaris membakarnya dalam gairah yang tidak terguga.
Dimas tidak menjawab tapi dia malah mengadahkan tangannya seakan meminta sesuatu dari Laura.
"Apa? Kamu ingin meneruskan ciuman tadi siang?" Tanya Laura menatap menggoda. Ia perlahan menyerinagi dan menyentuh dagu Dimas, "tapi maaf, aku sudah tidak menginginkannya lagi." Ucapnya sebelum akhirnya melangkah pergi keluar kamarnya.
Kamar akan selalu menjadi tempat yang berbahaya, tidak… Bukan hanya kamar tapi setiap sudut di apartemen ini berbahaya jadi Laura memilih untuk melangkah menuju balkon meskipun angin berhembus cukup kencang tapi ia merasa lebih aman dari pada di dalam bersama dengan Dimas karena atmosfer selalu berubah saat mereka berduaan. Permusuhan yang selama ini terjalin bisa menghilang entah kemana berganti menjadi luapan-luapan gairah yang tidak terbendung.
"Aku menagih janjimu…" Ucap Dimas melangkah menghampiri dan berdiri di sebelah Laura.
"Janji apa?"
"Cek yang aku berikan kepadamu…"
"Oh, itu…"
"Cepatlah buat surat pengunduran dirimu, kamu tidak bisa pergi begitu saja tanpa membuat surat pengunduran diri atau orangtua ku akan tetap mencarimu."
Bukannya menjawab, Laura malah tertawa mendengar permintaan Dimas.
"Kenapa kamu tertawa? Aku serius, Laura!"
"Kenapa aku harus pergi?" Tanya Laura setelah menghentikan tawanya.
"Itu kesepakatan kita!" Dimas menggeram kesal, ia menarik tubuh Laura dan mendengkram lengannya kuat-kuat, matanya menatap tajam seakan ia tidak akan sungkan untuk melemparkan tubuh Laura dari atas sini.
"Tenanglah, kenapa kamu begitu menggebu-gebu? Jika ingin menyentuhku maka sentuh saja aku, jangan berpura-pura marah padaku jika hanya ingin bersentuhan dengan ku."
"Laura, berhentilah bermain kata! Kita sudah sepakat sejak awal! Kamu sudah menerima cek yang aku berikan padamu jadi jangan berpura-pura bodoh!"
"Cek yang mana, sayang? Ada banyak orang yang memberikan ku cek."
"Laura, jangan buat aku benar-benar melemparkan mu dari sini."
"Oh, takut sekali…" Ketakutan itu jelas sebuah kepalsuan karena setelah itu Laura mendorong tubuh Dimas hingga ia terjatuh lalu mengunci Dimas di bakonnya sehingga Dimas tidak dapat mengejarnya.
"Apa yang kamu lakukan? Cepat buka pintunya!" Teriak Dimas kesal sambil mencoba membuka pintu tapi Laura malah bertingkah seakan ia tidak dapat mendengar apapun lalu tertawa dengan puas.
"Dimas tenanglah, aku akan pergi sekarang jadi bersenang-senanglah di luar sana." Ucap Laura tertawa, ia kemudian melangkah memasuki kamarnya lalu tidak lama setelah itu ia kembali ke luar dari dalma kamarnya dengan menyeret kopernya.
"Bye ganteng, mmmuachhh…" Ucap Laura setelah menempelkan secarik kertas pada pintu kaca dan setelah itu pergi meninggalkan Dimas sendirian.
Sekarang Dimas hanya bisa berteriak frustasi lalu membaca surat yang di tempelkan oleh wanita yang sudah membuatnya terjebak di balkon dengan angin malam yang berhembus kencang.
"Dimas sayang… aku harus pergi, jangan rindukan aku, Okay? Tapi aku tidak akan mencegahmu jika kamu memilih lompat untuk mencegah kepergianku. Ha…ha…ha… bercanda deh, aku tidak akan pergi, bagaimana aku bisa pergi meninggalkan pria yang tergila-gila dengan bibir manisku? Aku hanya pindah karena apartemen ini sudah tidak terasa nyaman setelah pria brings*k sepertimu terus menerus menerobos masuk. Jadi sampai jumpa besok, itupun kalau ada yang membukakan mu pintu besok. Opps…"
"LAURA!!!!"