sudah beberapa hari berlalu dan Laura terus memikirkan perkataan Rini, ia tidak bisa terus-terusan bersembunyi, tekadnya untuk balas dendam semakin memudar, itu terus menerus mencekiknya. Ia ingin membuat Dimas hancur tapi disaat yang bersamaan ia juga mulai hancur.
Saat Laura masih melamun di dalam apartemen Rini yang sepi sendirian, suara ketukan pintu membuat Laura terkejut. Setaunya Rini tidak memiliki keluarga disini, atau mungkin kekasih Rini datang mencarinya? Namun saat Laura menoleh melihat jam di dinding, ini masih jam sepuluh pagi, kalau memang itu kekasih Rini pasti dia tahu kalau Rini sedang bekerja sekarang.
Ingin sekali Laura mengabaikan bunyi bketukan pintu itu tapi suara itu tidak mau berhenti dan mengganggunya jadi dengan terpaksa ia membuka pintu tanpa mengintip terlebih dahulu siapa yang datang.
"Laura..." Tubuh Laura membeku saat Dita tanpa ragu memeluknya dengan sangat erat, wanita itu bahkan menangis seakan ia baru saja menemukan anaknya yang hilang.
Pelukan itu sangat hangat, sesuatu yang memang sangat ia butuhkan sekarang namun melihat wajah Dimas yang berdiri dibelakang tubuh Dita dan menatapnya dalam membuat Laura mengurungkan niatnya untuk membalas pelukan Dita dan memilih melepaskannya.
"Kenapa kalian ada disini? Rini sudah berangkat bekerja sejak tadi." Tanya Laura dengan dingin walaupun sikap dinginnya jelas menyayat hatinya sendiri apalagi ketika melihat ekspresi muram Dita dan Pratama.
"Kami datang bukan untuk mencari siapapun melainkan kamu, kenapa kamu menghilang tanpa kabar, nak?" Tanya Dita dengan lembut, ia sadar jika Dimas sudah melakukan kesalahan yang membuat Laura menjadi seperti sekarang. Kehilangan cahaya dalam dirinya.
"Untuk apa mencari saya?"
Dita dan Pratama kembali tertegun saat Laura tiba-tiba saja berbicara secara formal. "Saya akan menuliskan surat pengunduran diri besok, maaf jika sudah menghilang dan tidak bertanggung jawab dengan pekerjaan saya."
Air mata Dita kembali menetes, tanpa sungkan ia merengkuh kedua tangan Laura ,"Kami datang bukan untuk itu, maafkan kami... Ayo kita perbaiki semuanya, kita kembali seperti dulu ya... Mami mohon."
"Bu..." Panggil Laura pelan seraya melepaskan genggaman tangan Dita, bukan mami tapi ibu. "Saya tidak bisa menjadi wanita manipulatif."
"Apa yang kamu bicarakan, Laura? Kami tidak pernah sekalipun merasa kamu memanipulasi kami." Pratama akhirnya angkat suara, ia tidak tahan dengan situasi ini. Jelas-jelas jika Laura sangat menderita sekarang.
"Justru kami lah orangnya... kami yang sudah memanfaatkan kamu, menarik kamu kesisi kami lebih dari sekedar atasan dan sekretarisnya. Kami membawamu masuk ke dalam keluarga kami, bukan kamu yang meminta tapi kami yang menginginkannya." Pratama kembali meyakinkan, kalimat itu membuat Laura seketika menatap Dimas yang sekarang memilih memalingkan wajahnya.
...
"Kenapa kamu pergi begitu aja?"
Laura memalingkan wajahnya saat Dimas memasuki kamarnya. Ia memang akhirnya tidak kuasa terus menerus dihajar oleh tangisan pilu Dita dan bujukan Pratama sehingga ia berakhir disini sekarang. Disebuah kamar kosong yang sepertinya sudah disiapkan oleh Dita di kediamannya untuk dirinya.
"Kamu berhasil membuat keluargaku semakin kacau." Ucap Dimas lagi, ia duduk di sebelah Laura meskipun Laura terang-terangan mengabaikannya.
"Apa kamu tidak ingin meminta maaf kepadaku?"
Laura akhirnya menoleh menatap Dimas, "Jika aku manipulatif maka kamu adalah yang paling licik." Ucap Laura, ia sama sekali tidak ingin berdekatan dengan Dimas jadi dia beranjak bangun tapi Dimas menahannya dengan mencekal pergelangan tangannya.
"Apa mau mu?" Tanya Laura dengan dingin.
Sejujurnya Dimas tidak tahu apa yang terjadi padanya, kenapa ia bisa berada di kamar ini dengan alasan ingin mendengar permintaan maaf dari Laura tapi itu justru yang membuatnya tersesat sekarang. Sikap Dingin Laura dan kesedihan yang terpancar dimatanya membuatnya ingin menariknya dan memeluknya.
"Mau bertengkar denganku?" Ajakan itu terdengar konyol tapi itu berhasil membuat Laura menyunggingkan sedikit senyumannya.
Dimas kemudian beranjak bangun, ia sama sekali tidak melepaskan tangan Laura dan menatapnya dengan senyuman lega.
"Kita harus tetap menjadi musuh." Ucap Dimas lagi, ia memukul pelan bahu Laura lalu sedetik kemudian membawanya kedalam pelukannya.
"Jangan sedih lagi, kita bertengkar saja. Aku tidak tahan melihat wajah jelekmu sekarang."
"Marahlah padaku jadi aku bisa marah padamu juga." Ucap Dimas lagi, suaranya terdengar pelan hampir tidak pasti.
"Bukannya kamu yang menyuruhku pergi, tapi Rini bilang kamu mencariku seperti orang gila."
Dimas tersenyum malu, ia semakin mempererat pelukannya tanpa ragu. "Jadi kamu sudah jatuh cinta padaku?"
"Oh, astaga... Tentu saja tidak. Bangunlah dari mimpimu, Laura."
"Lalu apa?"
"Aku hanya sedikit merindukan saat kamu membuatku kesal."
"Maka jangan menyesal, aku sudah terlanjur terluka. Setelah ini aku akan menghajarmu habis-habisan hingga kamu ingin menyeretku dan membuangku ke laut."
"Kamu ingin menjadikanku seorang pembunuh."
"Sejujurnya aku tidak masalah jika mati, aku ingin melakukannya tapi ku dengar bunuh diri akan membuatku tersesat selamanya disini."
Mendengar Laura menyinggung tentang mati dan bunuh diri membuat Dimas segera melepaskan pelukannya. Sebenarnya seberapa dalam luka yang Laura miliki?
Dimas ingat saat ia dan orangtuanya kembali mendatangi kediamana orangtua Laura dan berharap menemukan Laura disana tapi betapa terkejutnya ia saat memasuki rumah itu, tidak ada foto Laura yang terpasang satupun disana, kedua orangtuanya dan adik perempuannya juga terlihat senang dan terkesan biasa saja saat mereka mengatakan Laura menghilang, mereka malah terang-terangan menjelekan Laura dan meminta banyak hal dari keluargannya karena Laura telah mendonorkan ginjalnya. Mereka mengerikan, lebih buruk dari orangtua manapun. Pantas saja Laura sangat terluka.
"Biar aku saja yang menyakitimu, aku akan mengisi luka dihatimu jadi kamu bisa menghapus luka yang lain."
Sekali lagi Laura tersenyum, ada apa dengannya? Kalimat itu jelas bukan kalimat romantis bujukan cinta tapi itu malah membuatnya merasa lebih baik.
"Ok, lakukanlah mulai besok jadi kamu bisa keluar sekarang."
"Kamu mengusirku? Rumah ini masih menjadi rumah ku loh..."
"Jadi akan ada saatnya menjadi rumah ku?"
Dimas menyeringai, ia mencubit pipi Laura dengan gemas, "Coba saja jika kamu bisa."
"Aku mendapat firasat jika aku akan segera dilamar."
"Hey, kamu bilang mulai besok kan?"
"Jadi benar ya?"
"Laura, ayolah... Bertengkarnya besok saja."
"Kira-kira bagusnya kita menikah dimana ya?"
"Dasar gadis nakal! Sial sekali kamu pulang kesini jadi aku tidak bisa membungkam mu dengan ciuman."
Tubuh Laura merinding seketika setelah mendengar gumaman yang sepertinya tidak sengaja terlontar dari mulut Dimas. "Hey, apa kamu sudah kecanduan dengan bibir ku?" Goda Laura, tidak lupa ia menarik baju Dimas sehingga jarak diantara mereka semakin menipis.
"Siapa yang bilang?" Dimas mengelak dengan gugup, tapi wajahnya jelas memerah dan tentu saja Laura tidak sungkan untuk menertawakannya.
"Satu ciuman tidak akan ketahuan..." Suara Laura mendadak berubah, sorot mata itu jelas sebuah godaan yang langsung membuat tubuh Dimas memanas.
"Boleh?" Cicit Dimas pelan.
"Tentu saja..."
Dimas sudah tidak bisa lagi menyembunyikan senyumannya dan tanpa ragu ia menarik tubuh Laura kebelakang pintu yang terbuka jadi tidak akan ada yang mengintip mereka.
Wajah Dimas sudah mendekat, ia tidak akan munafik jika ia merindukan bibir itu dan sudah membayangkan betapa manisnya saat bibir mereka bersentuhan tapi sialnya biibirnya tidak dapat menjangkau bibir Laura karena wanita itu sengaja menghindar.
"Tentu saja aku bohong!" suara lembut itu berbanding terbalik dengan hentakan kaki Laura yang yang menginjak kaki Dimas hingga ia meringis kesakitan.
"Tunggu sampai kita menikah baru kamu boleh menciumku lagi." Tukas Laura dan tanpa ragu membuka pintu semakin lebar tanda jika Dimas harus keluar sekarang.
"Mungkin besok juga aku sudah dapat." Ucap Dimas tersenyum penuh percaya diri dan tangan nakalnya dengan sengaja membelai perut bagian atas Laura sebelum pergi meninggalkan kamar.
Laura segera menutup pintu kamarnya dengan rapat, sentuhan tangan Dimas berhasil membuatnya tegang tapi ia harus berubah, ia tidak boleh terbuai dengan sentuhan Dimas lagi karena selalu ada masalah yang mengikuti dibelakangnya setelah mereka melupakan fakta jika mereka adalah musuh sejati.
***