"Berani sekali kamu menampar calon menantuku!" Tidak hanya tamparan tapi Dita mengucapkan hal yang membuat semua orang tercengang termasuk diriku.
Dita kemudian menarik tubuh ku kebelakang tubuhnya tanda jika ia berada di pihak ku dan melindungi ku.
"Mami... Tenanglah, aku baik-baik saja." Ucapku dengan suara sendu seakan aku baru saja terzolimi padahal aku diam-diam tersenyum dibelakang tubuhnya untuk mengejek Wendy yang masih tertegun sambil memegangi pipinya.
"Mami?" Dimas menatapku tidak percaya dengan apa yang ia dengar atas panggilanku kepada ibunya.
"Ini adalah peringatan terakhir, jauhi putraku dan calon istrinya atau kamu akan menyesal!" Tukas Dita kepada Wendy sebelum akhirnya menarik ku dan Dimas pergi bersamanya meninggalkan Wendy yang masih menangis pilu, sekarang ia malah terlihat seperti wanita jalang yang mengejar pria yang sudah memiliki calon istri dan tidak lupa aku dengan sengaja menoleh dan tersenyum sambil memperlihatkan cincin yang aku ambil diam-diam dari meja kerja Dimas sehingga Wendy semakin terbakar cemburu dan tentunya aku langsung memasukkan kembali cincin itu ke saku jas Dimas tanpa sepengetahuannya ketika kami sudah berada kembali ke ruangan Dimas dan harus duduk bersebelahan karena perintah Dita.
"Bagaimana bisa kamu membiarkan gadis rendahan itu menampar sekretaris ayahmu di muka umum? Ditempat yang begitu dekat dengan perusahaan kita? Kamu ingin menghancurkan reputasi perusahaan ini?" Tanya Dita yang terlihat sangat marah hingga memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi tanpa menunggu Dimas menjawabnya lebih dulu.
"Mami tidak tahu alasannya, semua itu terjadi karena sikap Laura sendiri." Jawab Dimas yang tidak terima disalahkan.
"Katakanlah sesuatu! Jangan berpura-pura lugu dihadapan ibu ku!"
"Maafkan aku..." Aku menangis sambil meminta maaf, apa yang harus aku jelaskan? Oh Dimas, sepertinya kamu memang sangat bodoh! Aku tidak mungkin mengatakan jika semalam kita nyaris bercinta dan Wendy mencurigai kita, aku tidak akan menghancurkan reputasi ku hanya untuk melindungi mu!
"Ini semua memang salah ku, tidak seharusnya aku tersenyum ketika Dimas menyapaku lebih dulu daripada Wendy hingga Wendy menjadi cemburu."
"Astaga, hanya karena masalah seperti itu dia menampar mu?" Dita terlihat semakin marah, dari caranya, aku tahu jika Dita menyayangiku dengan tulus sementara Dimas kehilangan kata-katanya.
Aku dapat merasakan jika tingkat rasa muak yang ia rasakan untukku sekarang naik level.
"Bagaimana bisa aku menerima gadis itu menjadi menantuku jika ia begitu tempramental! Mungkin nanti dia bisa mengusirku saat aku menjadi tua dan tidak berdaya!" Dita begitu emosional sehingga ia langsung pergi meninggalkan aku dan Dimas, aku yakin dia akan mengadukan kejadian ini kepada suaminya.
"Kamu puas sekarang?"
Aku menyeka sisa air mataku dan menoleh menatap Dimas yang masih tegang dengan semua kemarahan memenuhi isi kepalanya.
"Apa yang kamu bicarakan? Mendapatkan tamparan bukanlah hal yang akan membuatku merasa puas dan senang, itu menyakitkan hatiku, Dimas." Ucapku yang kembali berpura-pura lemah.
"Berhentilah memanipulasi kedua orangtuaku! Kamu tidak akan mendapatkan apapun dari semua yang kamu lakukan ini!"
Aku hanya tersenyum meskipun Dimas menatapku dengan tajam.
"Aku mendapatkannya, aku hampir mendapatkannya!" Ucapku pelan bahkan terdengar berbisik.
Aku kemudian beranjak bangun, aku harus melihat bagaimana kondisi pipiku sekarang karena rasanya masih terasa nyeri tapi Dimas menahan langkahku, ia menyudutkan ku di pintu dan menahan kedua tanganku diatas kepala ku hingga aku tidak dapat bergerak.
"Dengar ini baik-baik... Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita sepertimu bahkan jika kamu membelah dada mu dan memberikan jantung mu kepadaku, aku tidak akan pernah menerimanya! Selamanya kamu adalah musuhku, orang yang akan aku hancurkan dengan tanganku sendiri."
Dia sudah sering marah kepadaku, dia sudah sering mengancam ku tapi baru kali ini aku merasa gelisah dan takut apalagi sorot matanya seakan ia baru saja membuat perjanjian dengan iblis untuk menghancurkan ku.
Tanpa terasa air mataku menetes, aku tidak bisa mengatakan apapun saat Dimas mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur.
"Aku sudah hancur!" Ucapku tanpa menoleh ataupun mencoba untuk bangun saat Dimas baru akan membuka pintu ruangannya.
"Kehancuran membawaku ketempat ini, kepadamu..."
Ucapan ku langsung menyulut emosi Dimas hingga ia kembali dan mencengkram pipiku dengan sangat kuat hingga rahang ku kesakitan.
"Maka nikmatilah neraka mu disini!"
Kalimat itu terus saja terngiang di kepalaku sehingga aku terus-menerus melamun meskipun sekarang aku sedang menemani Dita berbelanja.
"Apa kamu sakit?"
Aku menoleh saat mendengar suara Dita bertanya kepadaku namun aku tidak mendengar dengan jelas apa yang ia tanyakan.
"Ya?"
Dita menghela nafas pelan lalu membelai wajahku, mengusap sudut pipiku yang sebelumnya di tampar oleh Wendy.
"Lain kali kamu harus membalas apa yang sudah orang lain lakukan padamu apalagi jika kamu tidak bersalah."
"Dia tidak akan marah jika aku tidak salah."
"Apa salahnya jika Dimas menyapamu lebih dulu, kalian bertemu setiap hari di perusahaan jadi wajar saja jika kalian dekat apalagi kalian sudah lama kenal."
Aku hanya tersenyum tipis, ucapan Dita membuatku merasa bersalah padanya. Dia sangat mempercayai jika aku adalah gadis baik yang tulus padahal aku sangat manipulatif seperti yang Dimas katakan dan membuatku tidak nyaman sejak tadi.
"Kita harus segera memeriksakan keadaan mu, kemarin kita sudah berbelanja banyak kan, mi..." Aku memilih mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin terperangkap oleh rasa bersalah karena terus membahas tentang Wendy sementara Dita terus menerus menyanjungku.
"Tapi aku masih ingin membelikan mu baju, ada banyak gaun indah disini jadi kita harus membeli yang terbaik untuk kamu kenakan malam ini. Kamu tidak mungkin pulang untuk mengganti pakaian mu setelah mengantarku cek kesehatan kan? Itu akan sangat merepotkan."
"Kalau begitu ijinkan aku membayarnya dengan uangku sendiri."
"Oh, Come on Laura ... Bukankah kamu sudah menganggap ku sebagai ibu mu? Jangan membuat hubungan kita terasa jauh dengn melakukan hal yang tidak perlu."
Oh andaikan ibuku sebaik dirimu...
"Baiklah, tapi hanya satu..."
"Setuju, tapi aku akan membelikannya sepatu dan juga tas ..."
"Tapi mi..."
"Please, Laura..."
Aku tahu sampai kapanpun aku tidak akan bisa menentangnya apalagi dia begitu baik padaku sehingga akhirnya aku hanya bisa menurut dan mengikuti langkahnya mencari gaun yang menurutnya terbaik diantara gaun rancangan desainer terkenal yang sejak tadi ditunjukkan oleh manajer toko yang terus melayani kami.
"Ini adalah gaun terbaru kami yang baru akan di rilis musim depan tapi karena nyonya adalah pelanggan VIP, kami menjualnya sepesial untuk anda sebelum rilis."
Dita tersenyum ketika manajer toko itu memperlihatkan gaun merah yang indah kepada kami.
Dita melihatnya dengan teliti, memperhatikan setiap sudut jahitan serta manik-manik yang terpasang menjadi motif gaun yang terlihat anggun itu namun aku memperhatikan ekspresi Dita yang sesekali terlihat seperti sedang menahan sakit.
"Are you ok, mom?"
Dita tidak menjawab dan hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang." Ucapku sedikit memaksa, aku sudah melihat keningnya mulai berkeringat sementara kerutan wajahnya semakin terlihat jelas jika ia sedang menahan rasa sakit.
"I'm Ok, Laura..." Sekali lagi Dita menjawab.
"Aku akan ambil gaun ini." Ucap Dita yang malah mengabaikan rasa khawatir ku dan memilih berjalan bersama manajer toko untuk melakukan pembayaran namun belum sampai mereka ke tempat kasir berada, Dita tiba-tiba saja menghentikan langkahnya sambil memegangi perutnya.
"Mom ..." Aku segera menyanggah tubuh Dita yang nyaris tumbang agar ia tidak terjatuh namun Dita sudah tidak sadarkan diri saat berada dalam dekapanku.
"Mami... Mami ..." Panggil ku sambil mencoba menggoyang-goyangkan tubuhnya agar Dita tersadar namun tubuh Dita sama sekali tidak merespon dan membuatku langsung menangis.
Manajer toko dengan sigap menelepon ambulance, lalu aku membawa Dita ke rumah sakit.
Sampainya di rumah sakit Dita langsung masuk ke unit darurat dan beberpa dokter terlihat ikut masuk kedalam ruangan itu di ikuti dengan beberapa perawat yang entah berapa jumlahnya.
Saat pintu ruangan itu tertutup aku hanya bisa menangis. Dengan tangan bergetar aku menghubungi Pratama dan memberitahu keadaan Dita dan tidak lama berselang Pratama datang bersama dengan Dimas.
Ekspresi wajah Pratama terlihat khawatir berbeda dengan ekspresi wajah Dimas yang terlihat marah.
"Bagaimana keadaan Mami?" Tanya Pratama khawatir.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil terus menangis takut. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Dita.
"Aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali untuk tidak mengajak ibu ku pergi! Dia sudah terlihat tidak sehat sejak beberapa hari yang lalu dan kamu terus saja mengajaknya berbelanja!" Teriak Dimas memarahiku.
Aku tidak mampu menjawab namun kali ini aku tidak berpura-pura tidak berdaya, aku sungguh tidak berdaya. Aku sangat menyesal karena tidak berhasil membujuk Dita lebih awal mengecek kesehatannya. Aku menyesal karena semua ini terjadi saat aku seharusnya bisa membujuknya lebih keras lagi.
"Maafkan aku..."
...