Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 6 - Pria es

Chapter 6 - Pria es

Aku membanting tubuhku ke atas kursi, terlihat bos ku sudah berada di dalam ruangannya dan semoga saja ia tidak marah padaku meskipun ia terlihat berpihak padaku tadi tapi tetap saja aku merasa ngeri karena bagaimanapun dia adalah ayah Dimas, meskipun ia selalu memarahi Dimas tapi aku yakin dia sangat menyayangi putra semata wayangnya itu.

Aku menghela nafas berat, aku tidak menduga jika Dimas mulai berani menyentuhku tanpa takut. Mungkin apa yang Pratama katakan bisa saja terjadi jika aku dan Dimas mungkin akan melucuti pakaian kami jika ia tidak datang tepat waktu.

Aku baru akan memijat pelipis ku yang terasa pening saat aku mendengar suara pintu terbuka dan aku langsung duduk tegak seakan aku tidak merisaukan apapun.

"Apa kamu sudah merindukan ku? Kita baru saja berpisah sepuluh menit yang lalu, sayang..." Ucapku dengan sengaja menyelipkan kalimat 'sayang' dengan intonasi manja saat Dimas berjalan menghampiriku.

Tapi bukan jawaban yang aku dapatkan melainkan sebuah dokumen yang ia lemparkan ke atas meja kerjaku dengan kasar dan membuat jantungku terasa akan melompat karena terkejut dan belum sempat aku menenangkan diri saat ia menggebrak mejaku dengan kedua tangannya yang menopang tubuhnya yang condong kearah ku.

Kedua mata kami bertemu dan sejajar, wajahnya sangat dekat sehingga aku dapat merasakan sengatan-sengatan kemarahan yang terpancar dari dalam dirinya.

"Ada apa dengan mu? Kamu masih penasaran dengan bibirku?" Tanyaku yang berusaha untuk tetap tenang meskipun jarak diantara kami nyaris tidak ada.

"Wanita jalang..." Ucapnya pelan namun menusuk hatiku hingga terasa pedih.

"Kembalikan cincin ku!" Ucapnya pelan, sepertinya Dimas baru tersadar tujuannya menarik ku ke dalam lift adalah untuk mengambil kembali cincin yang kini melingkar di jari manis ku.

"Aku tidak suka mengembalikan hadiah yang sudah aku pakai."

"Hadiah? Kapan aku memberikannya padamu?"

"Kamu sengaja meninggalkannya di tempatku..."

"Itu tidak sengaja terjatuh semalam!"

"Lalu?"

"Laura!!!"

Sorot mata Dimas semakin menggelap, kami memang berbisik tapi dadaku terasa sesak dengan percakapan yang menahan emosi ini.

Semakin dia berbicara semakin aku merasa rendah!

"Apa kekasihmu menghabiskan seluruh uang mu hingga kamu tidak mampu membeli cincin yang baru?" Aku sengaja bersandar pada kursi sehingga aku bisa sedikit terlepas dari tekanannya.

"Kamu tidak berhak bertanya jadi cepatlah kembalikan cincinnya atau aku akan mengambilnya dengan paksa! Aku tidak perduli jika aku mungkin akan memotong jari mu jika kamu tetap menahannya."

"Apa kamu seorang psycho? kenapa bicaramu sangat mengerikan?"

"Karena aku sama sekali tidak perduli jika kamu terluka..."

Itu menyakitkan...

Hatiku sakit, tapi rasa sakit ini tidak akan mencegah ku untuk menantang Dimas.

Seakan aku tidak perduli dengan ancamannya meskipun pada kenyataannya hatiku bergetar ketakutan, aku justru mengambil dokumen yang ia bawa dan berpura-pura memeriksanya, menutupi tatapan tajamnya dengan berkas yang kini terbuka lebar.

"Kamu sungguh menantang ku, Laura ... Aku tidak main-main kali ini!"

Dengan kasar Dimas menarik tanganku dan mencoba melepaskan cincin yang tersemat di jari manis ku dengan kasar.

"Apa yang kamu lakukan, Dimas? Sakit, Dimas!" Ucap ku sambil berusaha menarik tanganku dari cengkraman tangannya yang kuat sehingga tubuhku tertarik.

"Dimas! Lepaskan aku!" Ucapku lagi tapi Dimas sama sekali tidak perduli mendengar suaraku yang merintih kesakitan sampai akhirnya ia berhasil melepaskan cincin itu dari jariku hingga membuat jariku terluka dan berdarah.

Dimas terlihat tertegun melihat darah di jariku akibat ulahnya, aku harap ia menyesali perbuatannya sekarang tapi aku salah besar menaruh harapan yang mustahil kepada pria brengsek sepertinya karena tubuhku langsung terhempas dengan kasar ke atas kursi hingga terdorong dan membentur tembok.

"Kamu tidak seharusnya memakai apapun yang bukan milik mu!" Tukasnya sebelum melangkah dengan cepat menuju pintu tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Berhenti!"

Seperti sihir langkah kaki Dimas langsung terhenti di depan pintu yang masih tertutup rapat begitu aku memintanya berhenti.

Aku kemudian melangkah kearahnya dan memutar tubuhnya dengan kasar agar ia menghadap ke arahku.

"Laporan mu kacau, perbaiki lah secepatnya karena rapat akan segera di mulai!" Ucapku sambil mengembalikan dokumen yang sebelumnya Dimas bawa dengan kasar lalu melangkah menjauh.

"Pikir mu, kamu siapa berani mengoreksi pekerjaanku?" Suara Dimas kembali terdengar tegang, aku yakin jika tekanan darahnya naik sekarang tapi aku tidak perduli karena Dimas telah membuat jariku terluka hingga aku membuang darahku yang berharga ini sehingga aku dengan sengaja menoleh kearahnya dan menyeringai membuatnya semakin mengeratkan rahangnya yang terlihat semakin tegas.

"Ketahuilah posisiku lebih penting daripada dirimu..."

Harus aku akui jika ucapan ku baru saja mengada-ada tapi aku sudah sangat muak sehingga aku ingin terus membuatnya marah dan ucapan ku berhasil membawa Dimas kembali mendekat padaku dan mencengkram kedua lenganku dengan keras dan tentu saja menyakitkan.

"Kamu hanyalah seorang sekretaris sementara aku adalah direktur di perusahaan ini!"

"Aku adalah sekretaris ayahmu, pemilik perusahaan ini, Dimas..."

"Lalu kamu pikir seorang sekretaris bisa lebih tinggi jabatannya daripada seorang direktur? Kamu merasa memiliki perusahaan ini? Kamu sudah tidur dengan ayahku, heuh?"

Kalimat terakhir yang Dimas ucapkan sangatlah melukai harga diriku sehingga aku langsung menepis kedua tangannya dari lenganku.

"Lihatlah apa yang akan kamu dapatkan setelah ini..."

Aku menatapnya dengan tajam sebelum akhirnya aku mengambil kembali dokumen yang sebelumnya ia buang lalu membawa dokumen itu memasuki ruangan ayahnya yang berada di sebelah ruangan ku.

"Ada apa denganmu, Laura? Kamu menangis?" Tanya Pratama yang langsung menghampiriku, dia terlihat mencemaskan ku.

"Tidak... Saya baik-baik saja, pak." Jawabku mencoba tersenyum lalu memberikan dokumen laporan milik Dimas kepada Pratama.

"Pak Dimas memberikan laporan penjualan bulan ini."

Pertama kemudian mengambil dokumen itu dan memeriksanya.

"Kamu yakin baik-baik saja?"

"Saya baik-baik saja, pak. Kalau begitu saya permisi."

Aku tidak mengerti mengapa aku ingin sekali menangis sehingga aku langsung mencoba kabur dari ruangan ini tanpa menunggu Pratama selesai memeriksanya karena biasanya aku selalu menunggu hingga ia selesai membaca setiap laporan dokumen yang aku bawa kepadanya.

"Laura..." Panggil Pratama.

"Ya pak?" Jawabku tanpa menoleh.

"Katakan pada bocah bodoh itu untuk datang ke ruangan ku..."

"Baik pak..."

***

Tanpa menunggu lama aku langsung melangkah menuju ruangan Dimas yang terlihat sedang menggosok cincin yang terkena noda darahku dan langsung menghentikan pekerjaannya saat aku memasuki ruangannya tanpa permisi.

"Dimana sopan santun mu?" Tegur Dimas terlihat tidak senang dengan kelancanga ku.

"Aku meninggalkannya di rumah ku yang sudah dimasuki seorang penyusup semalam."

Dimas menghela nafas mendengar jawabanku, sepertinya dia mulai lelah menghadapi ku.

"Cepat katakan apa yang kamu inginkan?" Tanya Dimas yang kembali fokus pada cincinnya.

"Kamu..."

Dimas langsung mengangkat pandangannya begitu mendengar jawabku.

Dan sebelum ia protes padaku, aku kembali bicara, "Kamu di tunggu di ruangan ayah mu!" Ucapku sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangannya.

....