Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 10 - Rahasia luka

Chapter 10 - Rahasia luka

"Maafkan aku..."

Meminta maaf, hanya itu yang bisa aku lakukan.

"Aku akan membunuhmu jika terjadi sesuatu dengan ibuku!"

Tangis ku semakin pecah apalagi saat mendengar ancaman Dimas bukan karena aku takut terbunuh tapi karena aku takut jika semua ini akan berakibat fatal kepada Dita.

Aku tidak akan sanggup jika kehilangannya.

Saat kami masih diliputi kegelisahan yang berkecamuk, seorang dokter keluar dari ruangan dengan ekspresi wajah yang tegang membuat kami bertiga ikut menjadi tegang.

"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" Tanya Pratama tanpa berbasa-basi.

"Pasien mengalami gagal ginjal, kita harus secepatnya menemukan pendonor ginjal agar nyawa pasien dapat terselamatkan karena kedua ginjal pasien sudah tidak dapat berfungsi lagi."

Seketika suasana menjadi hening, kami semua sangat terkejut mendengar kondisi Dita yang sangat buruk karena Dita tidak pernah menunjukkan rasa sakit di hadapan kami semua.

"Ini semua salah mu!" Dimas berteriak padaku sehingga aku semakin merasa bersalah.

"Ini bukanlah waktunya mencari siapa yang salah, ibu mu sedang kritis di dalam bagaimana bisa kamu menyalahkan orang lain atas kondisi ibu mu? Kamu seharusnya malu!"

Aku mengangkat pandanganku, aku sangat terkejut karena Pratama masih memihak ku.

"Sebaiknya cepat, waktu kita tidak banyak."

Pratama langsung melangkah mengikuti perawat yang akan membawa mereka menuju ruang pemeriksaan, Dimas menatapku sebelum melangkah mengikuti langkah ayahnya dengan cepat.

Dan aku sangat kebingungan sekarang, aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, ku ingin menunggu disini tapi aku ingin mengetahui tentang hasil pemeriksaan mereka, aku takut jika ginjal mereka tidak bisa memenuhi standar sehingga akhirnya aku memutuskan berlari mengejar langkah mereka.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Tubuhku tersentak saat Dimas mendorongku hingga punggungku membentur dinding ketika aku tiba.

Rasanya sangat sakit, hingga punggungku terasa nyeri.

"Pergilah! Parasit seperti mu tidak dibutuhkan disini!"

"Lepaskan dia, Dimas!"

Dengan perintah Pertama, Dimas akhirnya melepaskan tubuhku yang hanya bisa diam di tempat sementara mereka memasuki ruangan pemeriksaan.

Aku menunggu, aku menunggu sambil berdoa dan berharap jika ginjal mereka cocok sehingga Dita dapat terselamatkan tapi wajah mereka terlihat murung saat keluar dari ruangan itu.

"Bagaimana?" Tanyaku pada Pratama karena Dimas tidak akan mungkin menjawab pertanyaan ku.

Pratama hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tertunduk lesu sementara Dimas terjatuh lemas dilantai dan menangis.

"Tidak satupun dari ginjal kami yang cocok." Ucap Pratama terdengar putus asa.

Pikiranku sangat kacau, aku sungguh tidak ingin kehilangan Dita.

"Ijinkan aku mencobanya..."

"Apa kamu gila?" Dimas protes tidak terima.

"Aku mohon..."

"Aku saja tidak bisa bagaimana dengan mu?" Dimas beranjak bangun dan mencengkram lenganku dengan sangat kuat.

"Apa salahnya jika aku coba, siapa tahu..."

"Siapa tahu kata mu? Apa kamu berniat memanfaatkan situasi ini untuk mengambil simpatik ayahku sekarang?"

"Aku tidak seburuk itu, Dimas... Aku tulus menyayangi ibu mu ..."

Hatiku terasa pilu, aku tidak perduli bahkan jika aku kehilangan harga diri ku sekarang tapi sekarang aku sudah berlutut dan memohon.

Pratama menghela nafas berat dan setelah itu aku merasakan seseorang menyentuh bahuku sehingga aku mengangkat pandanganku.

"Masuklah..."

Aku langsung bangun dan memasuki ruangan itu sementara Dimas masih tetap tidak terima dan protes kepada ayahnya.

"Bagaimana bisa ayah mengijinkannya..."

"Aku tidak mengerti seberapa bodoh kamu tapi setidaknya jangan gunakan kebodohan mu itu sekarang! Aku lebih baik kehilangan dirimu daripada aku kehilangan ibu mu!"

***

Aku tidak tahu jika akan ada hal seperti ini terjadi.

Hatiku kacau, aku merasa gelisah sekaligus takut disetiap detiknya. Sambil menunggu pintu ruang operasai terbuka aku hanya bisa berdoa semoga aku bisa menyelamatkannya…

Melupakan sejenak kebencianku kepada Dimas, tanpa terasa air mataku menetes begitu Dimas tiba-tiba saja menghampiriku tepat saat para perawat baru akan mendorong ranjangku memasuki ruangan operasi.

Aku melihat kedua matanya yang terlihat cemas, ia terlihat ingin mengatakan sesuatu melalui sorot matanya namun mulutnya terkatup rapat tapi perlahan ibu jarinya menyeka air mataku dengan lembut. Ia akhirnya membuka mulutnya meskipun terlihat bergetar tapi aku ingin tahu apa yang ingin ia katakan kepadaku.

"Pak, tolong jangan halangi kami…" tapi seorang perawat terdengar menegur Dimas lalu membawaku pergi memasuki ruangan operasi membuatku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin Dimas katakan kepadaku.

Aku tidak bisa menutup kedua mataku meskipun lampu operasi telah menyala dan terlihat sangat menyilaukan. Saat dokter mulai menyiapkan suntikan untuk membiusku, aku sempat berpikir apakah ini adalah bagian dari obsesi ku untuk mendapatkan simpatik dari kedua orangtua Dimas?

Apa aku benar-benar melakukannya dengan tulus?

Aku berbaring disini bukan sedang memanipulasi perasaan mereka kan?

Air mataku kembali menetes, aku merasa sangat jahat selama ini karena sering memanipulasi kedua orangtua Dimas terutama ibunya yang telah bersikap sangat baik kepadaku selama ini.

"Aku menyayanginya seperti ibuku sendiri…" Ucap ku pelan ketika dokter menyuntikan obat bius kepadaku.

"Maka kamu akan menyelamatkannya…"

Aku dapat mendengar suara itu samar-samar, entah itu suara siapa mungkin itu adalah suara dokter tapi aku mulai sangat mengantuk sekarang sehingga kedua mataku sulit untuk terbuka dan setelah itu aku benar-benar kehilangan kesadaranku.

***

AUTHOR POV

"Aku harap kamu tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepadanya tadi."

Dimas menoleh ketika mendengar suara ayahnya yang sejak satu jam yang lalu terus bungkam.

"Sayang sekali aku belum sempat mengatakannya dan sudah di usir." Jawab Dimas yang justru memberikan jawaban yang membuat ayahnya semakin marah padanya.

Dimas tahu jika ayah dan ibunya sangat saling mencintai tapi ucapan ayahnya tadi sedikit melukai hatinya atau mungkin banyak karena itu masih terasa sesak hingga sekarang apalagi semua itu terjadi karena Laura.

Wanita yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya tapi Dimas merasa jika Laura mengambil sisa kasih sayang yang selama ini ia miliki karena ia tidak pernah mendapatkan banyak kasih sayang sejak ia menyebabkan kakaknya meninggal tujuh tahun yang lalu.

Kakaknya Bima meninggal dunia karena mencoba menyelamatkannya yang saat itu kabur dari rumah karena kedua orangtuanya menginginkannya belajar tentang bisnis agar bisa membantu Bima kelak mengurus perusahaan sementara ia ingin menjadi seorang seniman dan hari ketika ia mengabaikan panggilan Bima dan terus melangkah tanpa memperhatikan sekeliling sehingga ketika mobil truk melintas kearahnya, Dimas sama sekali tidak memperhatikan jika maut sedang mengintainya sampai terdengar suara klakson dan saat itu Dimas berpikir jika itu adalah hari terakhirnya berada di dunia ini tapi Bima datang seperti pahlawan, seperti pria yang selalu dibanggakan oleh kedua orangtuanya, Bima tanpa ragu menyelamatkannya meskipun akhirnya Bima yang harus kehilangan nyawanya.

Kematian Bima meninggalkan luka besar yang membuat Dimas selalu merasa bersalah sekaligus merasa tidak disayangi, hal yang membuatnya menjadi pembangkang dan tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya saat bekerja karena selalu merasa itu adalah tempat Bima bukan tempatnya.

"Harusnya aku yang mati kan?"

"Harusnya aku yang mati bukannya Bima…" Dimas Kembali berkata saat ayahnya kembali diam dan mengabaikannya.

"Jika Bima masih hidup maka mami tidak perlu bergantung pada wanita seperti Laura. Karena aku sama sekali tidak berguna disini, jika itu Bima pasti semua tidak akan seperti ini."

"Bisakah kamu diam?"

Teguran itu terdengar pelan, nyaris seperti berbisik tapi tatapan mata Pratama memancarkan kemarahan yang tertahan.

"Bahkan aku tidak boleh berbicara sekarang?"

"SADARLAH!!! SEMUA YANG KAMU UCAPKAN ITU…" Teriakan Pratama tertahan saat ia menyadari jika mereka masih berada di rumah sakit sekarang dan istrinya sedang sekarat. Ia tidak mengerti mengapa Dimas membicarakan tentang kematian disaat kematian itu terasa sangat dekat.

"Seharusnya…" Bibir Pratama bergetar, air matanya menetes tanpa bisa melanjutkan ucapannya.

"Pergilah…"

....