Chereads / Menikah tapi benci / Chapter 15 - Tidak ada yang berubah

Chapter 15 - Tidak ada yang berubah

"Aku akan membangunkan ayah dan ibu…" Ucap Wisnu saat mereka tiba di rumah nyaris tengah malam dan terlihat kondisi rumah yang gelap menandakan jika seluruh penghuni rumah telah tertidur.

"Tidak perlu, mereka pasti lelah. Aku juga ingin segera beristirahat." Ucap Laura yang terdengar dingin dan langsung mengambil alih kopernya yang sebelumnya Wisnu bawa dan menariknya ke dalam kamarnya, meninggalkan Wisnu yang hanya bisa diam melihat langkah Laura yang perlahan menghilang dibalik pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

Tubuh Laura bergetar hebat, ia terjatuh lemas di lantai karena tidak sangggup lagi menahan rasa sesak di dalam hatinya yang hancur tidak terbentuk. Ia tidak dapat percaya dengan kenyataan menyakitkan ini jika kedua orangtuanya bahkan enggan memberitahukan keadaaanya kepada Wisnu, mereka bahkan tidak berniat menyambut kedatangannya padahal ia sudah memberi tahu jika ia akan pulang hari ini.

Aku mengira jika semua hal akan membaik, aku mengira jika semesta akhirnya berpihak kepadaku tapi hari ini membuktikan jika semesta masih berpaling dariku.

...

Laura merasakan tubuhnya kedinginan hingga akhirnya ia terbangun dari tidurnya dan menyadari jika ia terlelap di lantai semalaman.

Dengan wajah yang lebih pucat dari kemarin, Laura melangkah ketempat tidur dan duduk di tepi ranjang. Terdiam, merasa sepi dan sendirian sampai akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuyarkan pikirannya yang kacau. Laura hanya bisa menarik nafas dalam dan berusaha untuk tersenyum saat membuka pintu.

"Bu…" Sapaan itu terdengar pelan dan ragu karena ekpresi wajah yang ditunjukan oleh ibunya terlihat dingin.

"Kapan kamu tiba?"

"Semalam,"

"Cepatlah mandi dan sarapan. Wisnu harus berangkat ke kota hari ini tapi ia menolak sarapan lebih dulu karena menunggumu jadi sebaiknya kamu cepat." Tukas Melani yang langsung pergi begitu saja tanpa menanyakan bagaiamana keadaannya atau mungkin pelukan pelepas rindu namun yang Laura dapatkan hanya sikap dingin tidak bersahabat seakan keberadaannya tidak diinginkan.

Dan sekali lagi, Laura hanya bisa menelan bulat-bulat rasa kecewanya atas sikap ibunya. Ia harus bersiap untuk mandi dan sarapan bersama seperti yang diperintahkan oleh ibunya.

"Mengapa begitu lama, kamu sengaja ingin membuat kakakmu terlambat?" Bisik Milani sambil sedikit menyeret lengan Laura saat Laura baru saja keluar dari dalam kamarnya dan seluruh anggota keluarganya telah telah menunggu di meja makan.

"Gaun mu bagus, kamu sengaja ingin pamer?" Bukan sapaan ataupun senyuman hangat, yang Laura dapatkan adalah sindiran yang terlontar dari bibir Jesica tapi Laura menanggapinya dengan tenang dan senyuman hangat, "Gaun mu jauh lebih indah."

"Tentu saja, aku bahkan lebih cantik daripada dirimu."

"Jesica, kenapa kamu begitu kasar kepada kakakmu?" Tegur Wisnu membuat Jesica langsung cemberut.

"Sudahlah, kapan kita akan mulai sarapannya, kamu tidak sengaja melewatkan jadwalmu hari ini kan? Wawancara hari ini sangat penting untuk karir politik mu agar kamu bisa menjadi anggota dewan sebelum usiamu tiga puluh tahun." Rudy menggeram, ia berhasil membuat ekspresi wajah Wisnu menggelap dan suasana meja makan menajdi terasa dingin karena seteah itu tidak ada yang berani bicara lagi.

Sebenarnya Laura menunggu, ia menunggu ayahnya atau mungkin ibunya menanyakan keadaannya tapi mereka diam seribu bahasa. Makan di tengah-tengah keluarganya harusnya membuatnya merasa hangat namun yang Laura rasakan seperti ia sedang tersesat diantara orang asing yang mengacuhkanya.

"Aku akan pulang lusa, aku harap kamu masih disini." Ucap Wisnu pada Laura sebelum memasuki mobilnya dan pergi.

"Well, sepertinya kamu sangat senang karena Wisnu perhatian padamu tapi ketahuilah, aku akan selalu menjadi adik kesayangannya." Ucap Jesica sinis, ia dengan sengaja menabrak bahu Laura saat melangkah melewatinya.

"Kamu juga akan selalu jadi adik kesayanganku." Ucap Laura membuat langkah Jesica terhenti.

"Oh ya? Bullshit!"

Laura hanya bisa menghela nafas dalam, ia tidak mengerti kenapa adik manisnya berubah drastis setelah mereka tumbuh dewasa dan itu membuat hatinya sakit.

***

"Tok.. tok… tok…"

Wendy berusaha untuk mengabaikan suara ketukan pintu itu, ia tentunya tahu siapa yang datang karena satu-satunya orang yang akan mengetuk pintu penthouse-nya alih-alih menekan bel hanyalah Dimas.

Dimas Dirgantara, pria yang sudah hampir dua minggu ini menghilang tanpa kabar dan hanya menyisaka kegundahan yang selalu membuatnya bermimpi buruk setiap malam.

Suara ketukan pintu itu tidak lagi terdengar, tapi itu justru membuat Wendy seketika menjadi panik sehingga ia langsung berlari ke arah pintu dan membukanya dengan tergesa-gesa dan wajah Dimas yang tersenyum penuh kemenangan langsung menyambutnya.

"Aku tahu kamu pasti merindukan ku…" Ucap Dimas yang langsung bergerak memeluk Wendy dengan erat.

"Aku sangat merindukan kekasihku yang menghilang bersama dengan wanita lain yang ibumu bilang adalah calon menantunya." Sahut Wendy menyindir sambil berusaha melepaskan pelukan Dimas namun Dimas malah memeluknya semakin erat.

"Oh ayolah, sayang… Jangan salah paham, Laura sama sekali bukan calon menantu ibuku, tempat itu akan selalu menjadi milik mu!"

Wendy akhirnya menyerah untuk berontak dan terdiam sambil mengangkat kepalanya agar ia bisa menatap wajah kekasih yang sangat ia rindukan itu. "Ibu mu menamparku di muka umum, Dimas! Kamu bahkan tidak melakukan apapun untuk membelaku pada saat itu!" Akhirnya setelah sekian lama memendamnya, Wendy berhasil meluapkan rasa kesalnya yang sudah ia rasakan sejak hari dimana ia dipermalukan oleh ibunya Dimas dan juga Laura.

"Aku minta maaf soal itu, aku tidak akan membiarkan semua itu terulang kembali. Aku hanya mencintaimu, kamu tahu kan?" Ucap Dimas membujuk tapi Wendy tidak langsung percaya dan memilih untuk melepaskan pelukan Dimas selagi ia lemah dan melangkah memasuki penthousenya dan mengambil segelas air dingin untuk menenangkan pikiran dan hatinya yang terasa terbakar sementara Dimas mengikutinya dari belakang dan langsung memeluknya begitu ada kesempatan.

"Jangan marah lagi padaku, ya…"

"Aku tidak ingin marah padamu, tapi ucapanmu seperti rayuan untuk menutupi kebohongan!" dan sekali lagi Wendy melepaskan tangan kekar Dimas dari perut ratanya agar ia bisa berbalik dan menatap Dimas.

"Kamu memberikannya cincin yang sudah lama aku impikan, kalian bahkan menghilang selama dua minggu secara bersamaan, jadi bagaimana caranya aku bisa mempercayai ucapanmu? Kamu membuat hatiku hancur, Dimas!"

Wendy tidak bisa lagi menahan air matanya, ia menangis dan terlihat hancur membuat Dimas langsung cepat-cepat menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya dan menyeka air matanya.

"Oh, no! Jangan menangis, sayang… Sesuatu diluar dugaan terjadi, tapi sumpah demi apapun, aku dan Laura tidak berselingkuh. Kamu jauh lebih baik segala-galanya daripada wanita manipulative itu!"

"Kamu tahu jika aku hanya memiliki mu, kamu tahu itu kan?"

Dimas mengangguk dan langsung memeluk Wendy erat. "Maafkan aku…"

"Aku mungkin akan mati jika aku harus kehilanganmu, Dimas…"

"Maafkan aku, sayang… maafkan aku… Aku berjanji tidak akan menghilang lagi."

Perlahan Dimas melepaskan pelukannya, ia mengecup kening Wendy dengan lembut.

"Aku senang karena akhirnya kamu ada disini… Ayo kita cepat menikah, sayang… Aku sangat takut jika kamu akan menikahi Laura." Bujuk Wendy yang sudah tidak perduli meskipun ia harus terdengar memohon sekarang.

"Kamu masih belum menyelesaikan kuliahmu, kita sudah sepakat jika kita akan menikah saat kamu selesai kuliah kan…" Jawab Dimas yang membuat perasaan kecewa kembali memenuhi relung hati Wendy.

"Aku tetap akan menyelesaikan kuliahku meskipun kita sudah menikah," Wendy kembali meyakinkan.

Dimas menghela nafas pelan tapi setelah itu ia tersenyum dan mengangkat dagu Wendy dengan jarinya agar Wendy dapat melihat wajahnya dengan jelas.

"Tenang saja, aku dan Laura tidak akan pernah menikah karena satu-satunya wanita yang aku cintai adalah kamu."

Ucapan Dimas berhasil membuat seluruh kegelisahan dalam hati Wendy menghilang sehingga ia pelahan menunjukan senyumannya, sebuah senyuman yang membuat Dimas ikut tersenyum.

"Lalu kemana saja kamu dua minggu ini?" Tanya Wendy seraya merapihkan rambut Dimas yang berantakan saat dimas menarik tubuhnya lebih dekat lagi hingga jarak diantara mereka nyaris tidak ada.

"Bagaimana jika kamu menjelaskan lebih dulu kenapa ponselmu tidak bisa di hubungi?" Dimas balik bertanya dan berhasil membuat Wendy cemberut. "Kamu selalu seperti itu."

"Karena kamu tidak bisa di hubungi jadi kesalahpahaman ini membesar, sayang…"

"Kamu bahkan menyalahkan ku?" Wendy kembali meninggikan nada suaranya, ia langsung memalingkan tubuhnya membelakangi Dimas.

"Bukan begitu, sayang…"

Wendy menghela nafas berat, ia masih merasa jika posisinya terancam jadi dengan terpaksa ia harus mengalah dan menjawab lebih dulu pertanyaan Dimas agar Dimas tidak merasa kesal dengannya.

"Ponselku rusak karena aku membantingnya."

"Membantingnya?"

"Kamu tidak bisa di hubungi, itu membuatku kesal jadi aku…."

"Membanting ponsel mu, begitu?"

Wendy mengangguk pelan dan sedikit merasa takut karena Dimas selalu marah saat ia merusak sesuatu karena emosional.

"Maafkan aku…" Ucap Wendy pelan.

"Lain kali kamu tidak boleh seperti itu, aku sudah mengatakan berulang kali kepadamu untuk mengendalikan emosimu saat sedang marah."

"Oh ayolah Dimas! Aku sangat kesal hari itu, ibumu menamparku, Dimas!"

"Itu karena kamu menampar Laura lebih dulu…"

Wendy tertawa tidak percaya karena Dimas sekarang terkesan menyalahkannya atas apa yang terjadi di coffee shop waktu itu.

"Laura lagi! Apa dia sudah memiliki setengah hatimu sehingga kamu merasa aku pantas mendapatkan tamparan karena aku menamparnya lebih dulu?"

....